Ahmad Sahal : Israel antara Shake speare dan Chekov

Gambar oleh Walkerssk dari Pixabay

Penulis: Ahmad Sahal

Bidang Kajian: Teori Politik, Negara, dan Kebebasan Sastrawan Israel, Amos Oz, pernah menyebut­ konflik Israel dan Palestina sebagai tragedi da­lam arti yang sesungguhnya, karena yang terjadi adalah benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau mengalah. Untuk mengakhiri tragedi semacam ini, kata Oz, hanya dikenal dua cara: penyelesai­an model Shakespeare atau Chekov. Pada model Shakespeare, konflik berakhir ketika semua pihak yang terlibat saling menghabisi, sehingga pada akhir cerita semua mati terbunuh. Ingat babak akhir lakon Hamlet? Duel antara Hamlet dan Laertes tidak hanya berujung pada kematian keduanya, tapi juga menyeret ibunda Hamlet, Gertrude, dan Raja Claudius ke liang lahad. Sebaliknya, pada model Chekov, konflik diselesaikan melalui resolusi yang sama sekali tidak memuaskan siapa pun, mengecewakan, bahkan mungkin menyisakan sakit hati, tapi semua yang terlibat tetap hidup.

Selain sebagai novelis, Amos Oz adalah pendiri gerakan Shalom Achshav (Damai Sekarang), yang gencar menentang kebijakan pemerintahnya menyangkut wilayah pendudukan. Wajar kalau kemudian dia berharap negerinya memilih model Chekov dan bukan Shakespeare dalam menangani perseteruan dengan Palestina. Artinya melalui jalan perundingan dan bukan jalan militer. Sebab, menurut dia, sejelek-jeleknya kompromi tetap lebih baik daripada perang habis-habisan ala duel Hamlet.

Namun harapan Oz tampaknya tenggelam oleh semakin kuatnya arus kanan, yang disertai dengan menyusutnya arus kiri di Israel. Harap diingat, dikotomi kanan-kiri dalam nomenklatur politik Israel lebih banyak terkait dengan isu keamanan nasional ketimbang ekonomi. ”Kanan” di sini bukan berarti liberalisme, melainkan sikap haw­kish yang mengandalkan jalan militer dan antikompromi menyangkut tanah pendudukan. Sedangkan ”kiri” tidak mengacu pada sosialisme, tapi pada sikap dovish yang mengutamakan negosiasi, dan juga kesediaan melepas Gaza dan Tepi Barat kepada rakyat Palestina demi perdamaian.

Gejala ”kananisasi” itu secara nyata tecermin dalam pe­milu Israel pada 10 Februari ini. Lepas dari siapa yang akhirnya memimpin Israel, fakta bahwa tokoh seperti Benjamin Neta­nyahu atau Avigdor Lieberman semakin meroket popularitasnya menunjukkan betapa sikap hawkish sedang laku keras di Israel. Netanyahu, yang kini memimpin Partai Likud, jelas-jelas menyatakan hendak mempertahankan wilayah pendudukan. Sedangkan Lieberman, pemimpin partai baru Yisrael Beitenu, merupakan politikus ultranasionalis yang tema kampanyenya memojokkan warga Arab-Israel sebagai musuh dalam selimut karena dianggap lebih loyal terhadap Palestina. Selain itu, perang Gaza yang didukung mayoritas warga Yahudi Israel bisa juga dibaca sebagai taktik Olmert atau Livni atau Barak untuk ”tampil kanan” agar bisa menang dalam pemilu. Dengan kata lain, pemilu Israel sekarang adalah semacam perlombaan menjadi kanan.

Dalam pandangan Israel, ”kananisasi” ini dipicu oleh militansi Hamas yang bertekad menghancurkan Israel. Karena itulah Israel berdalih serangannya ke Gaza baru-baru ini adalah perang demi membela diri. Tapi argumen membela diri ini sebenarnya absurd karena Hamas pun bisa mengklaim hal yang sama, misalnya dengan berdalih serangan roketnya ke Israel juga demi membela diri dari blokade ekonomi dan sosial yang diberlakukan Israel atas Gaza. Lagi pula militansi Hamas bukanlah gejala yang bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah panjang konflik Israel dan Palestina.

Akar masalahnya sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Hamas lahir, tepatnya setelah Israel menang perang melawan Mesir, Yordania, dan Suriah pada Perang 1967. Sebelum 1967, Israel praktis mengacu pada konsep ”tembok besi” yang dirumuskan oleh salah seorang perintis Zionis bernama Vladimir Jabotinsky. Nama ini memang sering diasosiasikan dengan Zionisme revisionis yang menjadi sumber inspirasi partai sayap kanan Likud. Tapi esainya berjudul ”Tembok Besi: Kita dan Arab” yang terbit pada 1920-an menunjukkan pandangan Zionis kelahiran Rusia ini lebih kompleks daripada yang selama ini dikira.

Dalam esai tersebut, Jabotinsky pertama-tama meng­akui adanya pertautan alamiah antara bangsa Palestina dan tanah kelahiran mereka, ”seperti halnya pertautan bangsa Aztecs pada Meksiko atau suku Sioux pada tanah rerumputan mereka.” Karena itu, bisa dimaklumi kalau mereka menentang berdirinya negara Yahudi di Palestina, yang mereka anggap sebagai kolonisasi. Kata Jabotinsky, ”Seandainya kita Arab, kita akan menentangnya juga.”

Dari situ ia kemudian menegaskan bahwa bangsa Arab tidak akan dengan sukarela mengakui kehadiran negara Yahudi di Palestina. Karena itu, menurut dia, untuk merealisasi proyek Zionisme, kaum Yahudi mesti membangun kekuatan militer yang betul-betul kokoh laksana tembok besi, sehingga setiap usaha bangsa Arab untuk menghancurkannya akan berakhir dengan sia-sia. Jabotinsky meyakini kegagalan terus-menerus yang diderita bangsa Arab akan membuat mereka lambat-laun jadi kompromistis dan akhirnya menerima kehadiran Israel. Dengan kata lain, buat Jabotinsky, kekuatan militer bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana pemaksa agar pihak Arab bersedia berunding dengan Israel.

Tapi, setelah Israel berhasil menduduki Gaza, Tepi Barat, dan wilayah Arab lain menyusul kemenangannya pada Perang 1967, strategi tembok besi pun segera ditinggalkan. Israel tidak lagi menempatkan kompromi sebagai tujuan akhir seperti disarankan Jabotinsky. Sikap antikompromi ini menjadi semakin keras dengan adanya dukungan dari kelompok yang senantiasa bersinergi. Yang pertama adalah kelompok fundamentalis Yahudi yang tergabung dalam Gush Emunim, yang meyakini Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa Yahudi di Israel dan, karena itu, ”haram” hukumnya dikembalikan ke bangsa Arab. Yang kedua adalah Partai Likud, yang sejak awal getol memperjuangkan gagasan tentang ”Israel Raya” yang mencakup keseluruhan wilayah Israel dan Pa­lestina.

Sikap antikompromi inilah yang terbukti selalu menjadi batu sandungan bagi setiap pembicaraan damai antara ­Israel dan pihak Arab sampai sekarang. Pada 2002, misalnya, Liga Arab dengan juru bicara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi menawarkan hubungan penuh dengan Israel asalkan Israel mau kembali ke wilayahnya sebelum Perang 1967. Tapi dengan ketus Israel menolaknya. Bahkan Hamas juga pernah menawarkan gencatan senjata 30-40 tahun dengan catatan Israel menarik diri dari pendudukan. Israel lagi-lagi menampiknya.

Dengan begitu, yang mengandaskan harapan Amos Oz agar Israel menempuh jalan Chekov ketimbang Shakespeare bukanlah terutama pengaruh faktor luar, melainkan produk dalam negeri Israel sendiri.

Parahnya lagi, perang Gaza baru-baru ini menunjukkan Israel kini didera oleh mentalitas terkepung, yang senantiasa melihat sekelilingnya sebagai ancaman. Ini terjadi karena Israel adalah negara dengan kekuatan militer yang tak tertandingi di Timur Tengah dan mendapat dukungan yang hampir total dari Amerika. Namun, pada saat yang sama, negara Yahudi ini selalu memposisikan diri sebagai korban. Problemnya, kombinasi kekuatan yang tak tepermanai yang dimiliki Israel plus persepsi diri sebagai korban pada akhirnya menyebabkan responsnya terhadap apa yang disebut ancaman sering sangat tidak proporsional. Rasanya ungkapan ”Jika yang Anda punya hanya palu, segalanya akan tampak seperti paku” tepat sekali melukiskan perilaku Israel. Tidak aneh kalau Israel ngotot menumpas Hamas dengan cara menggempur Gaza, meski ini berarti 1,5 juta penduduk kawasan itu menderita.

Dilihat dari sudut pandang Zionisme, apa yang terjadi pada Israel sekarang terasa ironis. Ketika Theodor Herzl mencetuskan ide negara Yahudi pada akhir abad ke-19, ia mencita-citakan bangsa Yahudi bisa hidup normal ”seperti bangsa-bangsa lain”. Menurut Herzl, 2.000 tahun lamanya bangsa Yahudi hidup abnormal, yakni terpencar dalam diaspora tanpa negara. Karena itu, mereka rentan menjadi target serangan antisemitisme di Eropa. Ide negara Yahudi oleh Herzl dimaksudkan agar bangsa Yahudi keluar dari abnormalitas kehidupan diaspora dan mulai hidup normal sebagai bangsa yang mempunyai negara sendiri. Harapannya adalah agar ancaman antisemitisme menghilang.

Tapi, setelah 60 tahun lebih berdiri, Israel mengidap sindrom mentalitas terkepung yang akut. Apakah itu hidup normal seperti bangsa-bangsa lain seperti diimpikan ­Herzl? Entahlah. Yang pasti, mentalitas terkepung dan ”kananisasi” mendorong Israel condong kepada model Shakespeare dan menjauhi model Chekov.

TEMPO Edisi. 29/XXXIX/16 - 22 Februari 2009"

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.