Ancaman Kolektivisme, terjemahan The Road to Serfdom F.A. Hayek

Pembaca bahasa Indonesia akhirnya dapat menikmati terjemahan The Road to Serfdom karya Friedrich A. Hayek (1899-1992), dengan judul Ancaman Kolektivisme. Buku termasyur Hayek yang pertama kali terbit pada 1944 ini memperingatkan bahaya perencanaan terpusat demi keadilan sosial dan pemerataan ekonomi ala sosialisme.

Diskusi buku ini di Wisma Proklamasi pada Kamis, 28 Oktober lalu membahas sejauh mana karya Hayek ini masih relevan untuk publik Indonesia. Pembicara dalam diskusi ini: sejarawan ekonomi Thee Kian Wie (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan intelektual Islam Ulil Abshar Abdalla (Direktur Program Freedom Institute). Moderator diskusi: Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni lokakarya liberalisme dasar Akademi Merdeka. Jumlah peserta sekitar 100 orang.

Thee dan Ulil menilai buku Hayek ini tetap relevan untuk pembaca Indonesia, terutama karena masih sering disalahpahaminya paham liberalisme di Indonesia. Bahkan para pendukung paham ini sering dinistakan sebagai antek kapitalisme, bahkan anti-Islam, demikian menurut mereka.

Menurut Thee, sebagai pendekar kebebasan individu, Hayek secara efektif menunjukkan mengapa dan bagaimana sosialisme membuka jalan ke fasisme. Hayek mendiskusikan naiknya Nazisme di Jerman dan Fasisme Mussolini di Italia pada 1920an hingga 1930an, suatu fenomena yang menurut pengamatan Hayek tampaknya sedang berulang di Inggris pada masa itu. Waktu itu, kaum intelijensia Inggris gencar mendorong intervensi pemerintah ke pasar lewat kebijakan perencanaan ekonomi terpusat untuk mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi yang lebih merata dan berkeadilan sosial.

Hayek berpandangan bahwa perencanaan terpusat boleh jadi efektif di masa-masa perang, saat masyarakat disatukan oleh nilai kebersamaan dalam menghadapi musuh yang mengacam; mereka juga bisa memaklumi ketika sebagian kebebasan mereka dikorbankan pemerintah demi mengalahkan musuh. Namun, kebijakan demikian jelas tidak jalan di dalam sistem politik demokratis pada masa damai. Alasannya: pasti akan terjadi ketidaksamaan nilai yang mengakitbatkan perbendaan pandangan di kalangan para politisi tentang bagaimana rencana terpusat itu mesti dijalankan. Perbedaan semacam ini akan berujung pada deliberasi yang tak habis-habisnya di parlemen.

Akibatnya kemudian, lanjut Hayek, terjadi suasana ketidakpastian politik, memburuknya keadaan ekonomi, meningkatnya ketidaksabaran massa akan pemenuhan tuntutan keadilan sosial seperti yang sebelumnya disuarakan kaum sosialis (yang kemudian ragu-ragu terhadap jalan otoriterisme untuk mewujudkan rencana). Lalu: Tuntutan terhadap pemimpin kuat muncul, seiring nyaringnya populisme ekstrem baik dari politisi Kanan (nasionalis-chauvinis) maupun Kiri (komunis) dan menyatunya kalangan massa lugu berpendidikan rendah membentuk partai bersama para politisi populis itu, merebut kekuasaan (secara demokratis maupun tidak) dan kemudian memberangus kebebasan dan bahkan nyawa jutaan manusia. Itulah jalan kekuasaan Nazisme di Jerman dan Fasisme di Italia, seperti yang ditunjukkan oleh Hayek.   Menurut Thee, kaum pengkritik neo-liberalisme di Indonesia mesti membaca peringatan Hayek ini agar mereka bisa menangkap bagaimana esensi kebebasan individu liberalisme terancam hilang jika ekonomi bebas dan kompetitif yang sudah berlaku sekarang diberangus dan diganti dengan ekonomi perencanaan terpusat, walaupun cita-cita mulianya adalah kesejahteraan bersama.

Karya Hayek ini, menurut Thee, memang dipengaruhi oleh pengalaman dia hidup di dua dunia yang memiliki kecenderungan serupa: Di Austria di mana dia berhadapan langsung dengan eksperimen Nazisme yang sedang naik daun di Jerman saat itu, dan Inggris di mana dia menyaksikan maraknya suasana kolektivistik yang mendorong intervensi pemerintah dan perencanaan terpusat. Munurut Thee, situasi seperti dialami oleh Hayek pada tahun 20an dan 30an sudah tak ada lagi saat ini. Tetapi, bagi Thee, peringatan Hayek akan jebakan kolektivisme tetap relevan untuk terus didengar.

Sementara itu, Ulil menyoroti pandangan Hayek tentang betapa tidak kompatibelnya paham kolektivis dan sistem politik demokratis.
Untuk konteks Indonesia, Ulil mengingatkan bagaimana sebenarnya ada kesamaan cita-cita antara liberalisme, sosialisme dan Islamisme, yakni keadilan dan kesejahteraan. Yang berbeda adalah cara yang ditempuh. Jika liberalisme percaya dengan pasar bebas dan kompetitif serta penjaminan kebebasan individu, maka sosialisme maupun Islamisme menginginkan kolektivisme dan pemberangusan hak kepemilikan pribadi. Beda dengan liberalisme, sosialisme dan Islamisme hanya bersedia menempuh jalan demokratis demi merebut kekuasaan dan lalu memberangus demokrasi itu.

Paham demokrasi ala sosialis dan Islamis seperti itulah yang dalam perkembangan ilmu politik setelah Hayek dikenal sebagai one-stop democracy (one man, one vote, one time), suatu pandangan yang tampaknya dianut oleh kaum Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbuth Tharir. Menurut Ulil, Islamisme seperti sosialisme hidup di alam demokrasi yang melindungi kebebasan individu (dalam hal ini kebebasan politik mereka) namun memperjuangkan agenda-agenda yang dengan atau tanpa sadar akan memberangus kebebasan individu itu.

Buku Hayek ini, demikian tandas Ulil, secara cergas menunjukkan keunggulan sistem ekonomi bebas, yang menyediakan sarana bagi individu untuk menyalurkan energi kreatif mereka tanpa terlalu mengandalkan pemerintah yang merencanakan itu untuk mereka. Satu-satunya perencanaan yang diharapkan Hayek dari pemerintah adalah menciptakan kondisi-kondisi yang cocok (lewat kedaulatan hukum) bagi berlangsung sistem ekonomi bebas dan kompetitif, demikian Ulil.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.