Anggur Lama dalam Botol Baru

Photo by Sigmund on Unsplash

PERDEBATAN DALAM KEPUSTAKAAN ekonomi politik, dari sudut pandang tertentu, mirip dengan perdebatan lama antara realisme dan idealisme. Perdebatan lama tersebut mencoba untuk memecahkan persoalan-persoalan seperti: apa watak dasar hubungan antar negara? Siapa aktor utama dalam politik dunia? Apa yang harus dilakukan negara-negara?

Realisme, dalam upayanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, “menekankan keutamaan negara dan keamanan nasional” (Gilpin, 1987: 42). Kalangan realis, mulai dari Thucydides hingga Pangeran Henry de Rohan, mulai dari Matternich hingga Henry Kissinger, selalu percaya bahwa “sistem internasional itu anarkis, tanpa otoritas menyeluruh yang memberikan keamanan dan keteraturan” (Zakaria, 1993). Dalam keadaan anarkis ini, masing-masing negara—aktor utama—dengan demikian harus bersandar pada dirinya sendiri untuk bertahan dan berkembang. Kepentingan negara merupakan sesuatu yang utama dan konstan; musuh dan sahabat hanya bersifat sementara. Akumulasi kekuasaan adalah kepentingan obyektif negara.

Sebaliknya, idealisme, melihat negara sebagai pengejawantahan ideal-ideal moral. Hubungan antarnegara dengan demikian harus mencerminkan ideal-ideal ini. Dunia sangat mungkin disempurnakan. Apa yang harus dilakukan negara adalah—dalam bahasa Kantian—mencari landasan utama yang menjadi tumpuan di mana “perdamaian terus-menerus” (perpetual peace) bisa diwujudkan. Idealisme percaya bahwa, pada akhirnya, negara hanyalah serangkaian lembaga yang menyediakan mekanisme-mekanisme yang dibutuhkan manusia untuk mewujudkan kemanusiaan mereka (Fukuyama, 1992). Komunitas dunia dan hukum internasional diyakini oleh kaum idealis mampu mengarahkan jalannya politik dunia.

Dalam perdebatan “baru” di wilayah ekonomi politik tersebut, kaum merkantilis dan, sampai tingkat tertentu, kaum Marxis, bisa dianggap sebagai kaum realis dalam selubung baru. Memang, merkantilisme, tidak seperti Marxisme dan liberalisme, bukan merupakan suatu kumpulan teori ekonomi dan politik yang koheren dan sistematis. Ia (hanya) “serangkaian tema atau sikap” (Gilpin, 1987: 31). Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa terdapat beberapa gagasan utama yang pada dasarnya bisa disebut merkantilis. Inti gagasan-gagasan ini adalah keyakinan bahwa aktivitas ekonomi harus digunakan untuk meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan keamanan negara.

Bagi kaum merkantilis, hubungan internasional hanyalah sebuah tahap di mana berbagai negara atau bangsa bersaing demi mendapatkan sumberdaya untuk bertahan hidup, menjadi kaya, kuat, dan besar. Proteksionisme, misalnya, dilihat sebagai suatu alat yang sah untuk memperkuat negara. Negara harus menjual sebanyak mungkin barang ke dunia luar—dan pada saat yang sama ia harus mencoba semaksimal mungkin untuk mengurangi impor. Jelas bahwa seperti kaum realis, negara bagi kaum merkantilis merupakan pemain utama: kelangsungan hidup dan kekayaannya harus menjadi perhatian utama dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Karena itu, di sini kita dapat melihat bahwa merkantilisme, sebagaimana yang ditulis Gilpin, “didasarkan pada doktrin realis tentang hubungan internasional” (1987: 42).

Marxisme tentu saja merupakan doktrin yang lebih sistematis dan menyeluruh dibanding merkantilisme. Marxisme adalah sebuah cara pandang, sebuah teori besar, yang memuat suatu posisi flosofs yang jelas tentang hubungan bukan saja antar-negara, melainkan juga antara manusia dan masyarakat. Selain itu, Marxisme, tidak seperti merkantilisme dan realisme politik, memiliki semacam kesulitan dalam melihat negara sebagai sebuah badan yang otonom dalam sepak-terjangnya di kancah internasional. Bagi kaum Marxis, secara teoretis kelas sosial merupakan aktor utama, dan negara hanyalah alat kelas borjuis untuk mengejawantahkan kepentingannya.

Namun, setelah Lenin, Marxisme menambahkan berbagai sarana analitis yang sangat kuat pada tradisi intelektualnya, yakni teori imperialisme dan negara.63 Di sini perdagangan internasional dilihat hanya sebagai tahap di mana negara-negara kapitalis bersaing untuk memperluas pasar dan menaklukkan pemain-pemain yang kurang kuat (Heilbroner, 1986). Perdagangan internasional pada dasarnya merupakan kancah yang penuh tipu muslihat di mana kekuasaan adalah matauang yang sebenarnya. Pertempuran kelas di dalam negeri diubah menjadi pertempuran internasional di antara berbagai negara demi mendapatkan kekuasaan dan kekayaan: negara (kapitalis), dan bukannya kelas-kelas sosial, telah menjadi pemain utama dan unit analisis. Dengan demikian, di sini kita bisa berkata bahwa kaum Marxis-Leninis, seperti kaum merkantilis, menerima doktrin lama kaum realis.

Liberalisme, tidak seperti merkantilisme dan Marxisme, datang dari arah yang berbeda. Sebuah sebuah doktrin humanistik, liberalisme percaya bahwa manusia itu rasional: mereka tahu apa yang baik bagi diri mereka sendiri. Sebagai sebuah doktrin ekonomi, ia percaya bahwa pasar, jika dibiarkan bebas, akan menguntungkan semua pihak. Mulai dari Smith, Hayek, hingga Friedman, kaum liberal percaya bahwa perdagangan bebas merupakan satu-satunya jalan bagi dunia untuk meningkatkan kekayaannya. Sebagaimana yang dikemukakan Hayek (1988: 38-45), pasar, melalui mekanisme harga yang “rasional”, tahu bagaimana mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya yang langka dengan cara yang paling efsien. Negara dilihat sebagai keburukan yang diperlukan. Negara akan membahayakan kepentingan semua pihak jika ia mencoba untuk mengatur pasar terlalu jauh. Bagi kaum liberal, aktor-aktor utama dalam perdagangan internasional bukan negara melainkan para produsen dan konsumen.

Seperti idealisme politik dalam politik internasional, liberalisme didasarkan pada beberapa asumsi moral, yang mengatasi dunia praktis atau “riil”, dan yang, sebagaimana dikemukkan Gilpin (1987: 27), tidak bisa diverifkasi secara empiris. Bagi kaum liberal, rasionalitas manusia mengandaikan bahwa manusia tahu bagaimana memaksimalkan keuntungan mereka, dan bagaimana membuat keputusan-keputusan yang baik—apa yang diperlukan manusia adalah suatu keadaan yang damai dan masuk akal untuk mengejawantahkan kemampuan alamiah ini. Seperti kaum idealis, kaum liberal juga percaya bahwa lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan GATT mampu membantu memajukan dunia ke tingkat yang lebih kaya dan sehat.

Jadi, kita telah melihat bahwa, sampai tingkat tertentu, perbedaan antara merkantilisme dan Marxisme di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, mencerminkan perbedaan antara realisme dan idealisme. Tampak bahwa asumsi-asumsi dasar teori-teori ekonomi politik internasional tidak bergerak terlalu jauh dari asumsi-asumsi dasar realisme dan idealisme. Dengan demikian, dalam hal ini kita bisa berkata bahwa perdebatan dalam kepustakaan ekonomi politik hanya mengulangi permainan lama “pada lapangan permainan baru”.

Meskipun demikian, tidak benar jika kita berkata bahwa perdebatan “baru” di wilayah ekonomi politik tersebut tidak memberi kita banyak pemahaman yang bermanfaat tentang dunia. Kita banyak belajar tentang dunia dari perdebatan yang terus-menerus terjadi di antara berbagai aliran pemikiran di bidang ini. Kaum liberal, misalnya, dalam usaha mereka untuk meyakinkan kita tentang manfaat-manfaat perdagangan bebas, memperlihatkan bagaimana di dunia baru tersebut negara menjadi semakin tidak relevan. Kenichi Ohmae (1990), misalnya, menyatakan bahwa dunia kini menjadi “tidak berbatas” (dalam hal keuangan dan produksi), dan karena itu sulit untuk tidak percaya bahwa kemampuan negara untuk menjalankan kebijakan telah sangat terkikis.

Di sisi lain, Marxisme memperlihatkan suatu kenyataan yang menarik bahwa, sebagaimana yang dijelaskan Giovanni Arrighi (1991), ketika perdagangan internasional menjadi semakin terglobalkan, ketidaksetaraan pendapatan dunia meningkat. Para aktor (swasta) global gagal untuk memperbaiki kehidupan negara-negara miskin. Arrighi memperlihatkan pada kita bahwa persoalan keadilan dan kesetaraan menjadi semakin rumit dipahami, apalagi dipecahkan, ketika kompleksitas perdagangan dunia meningkat.

Demikianlah, kita diberi berbagai pemahaman baru tentang bagaimana dunia (baru) berjalan. Perbedaan dalam asumsiasumsi dasar merkantilisme, Marxisme, dan liberalisme tentu saja tetap tidak berubah. Namun dalam usaha mereka untuk menajamkan argumen-argumen mereka, kita disodori berbagai fakta, perspektif, dan nuansa baru yang memperkaya pemahaman dan pandangan kita.

Daftar Rujukan

  1. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton Univ. Press.
  2. Zakaria, Fareed (1993), "Is Realism Finished?", The National Interest, Spring 1993.
  3. Heilbroner, Robert (1986), The Worldly Philosopher: The Lives, Times, and Ideas of the Great Economic Thinkers, Simon and Schuster.
  4. Fukuyama, Francis (1992), The End of History and The Last Man, The Free Press.
  5. Hayek, Friedrich (1988), The Fatal Conceit, edited by W.W. Bartley III, The Univ. of Chicago Press.
  6. Arrighi, Giovanni (1991), "World Income Inequalities and the Future of Socialism", New Left Review, Sept/Oct 1991.
  7. Ohmae, Kenichi (1990), Borderless World: Power and Strategy in the Interlink Economy, HarperCollins Publisher.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.