Berburu Lebah Ratu

Nirwan Dewanto meluncurkan buku kumpulan puisi pertama pekan lalu. Laksana menyaksikan sebuah arak-arakan. Sebuah himpunan bukanlah sebuah ikatan. Sebuah himpunan adalah wadah yang menampungi, tapi tak mengurung atau merangkai-rangkai apa yang ada di dalamnya. Himpunan puisi Jantung Lebah Ratu (Gramedia Pustaka Utama) yang diluncurkan Nirwan Dewanto pekan lalu ini pun adalah sebuah ruang longgar semata, tanpa pusat, tanpa penguasa. Dari sini kita bisa mulai menjelajahi ruang itu tanpa bekal simpul atau kunci, peta atau kompas, tanpa berniat sampai ke mana-mana atau mampir di mana-mana.

Pembaca menjadi ”perenang”, lincah seperti ikan dan licin seperti ubur-ubur, liat seperti terumbu karang, meliuk-liuk seperti sungai yang mengular. Atau ia bisa menjadi pemburu yang menggelegak oleh hasrat, tapi mesti mengintai sabar meski nyalang. Apa pun pilihannya, ia tak lebih dari seorang buta yang harus meraba karena tak melihat—”tak kuasa membedakan malam dari mangsi hitam seluas laut”.

Puisi punya kemiripan dengan himpunan. Puisi adalah ruang: tak bersisi, tak berdinding, tapi tetaplah mewadahi. Di ruang puisi, kemerdekaan hakiki dijumpai. Di situ orang bisa mengatakan apa saja, dengan cara apa saja, kepada siapa saja. Tak ada kewajiban bagi kata untuk bermakna ataupun bagi amanat untuk sampai ke alamat.

Puisi bisa menjadi parade panjang sejarah dan tradisi, semacam panorama yang rentangnya melampaui batas mata; tapi ia juga bisa menjadi relung kecil yang pribadi dan diraih lewat penghayatan panjang atas perjalanan hidup penyair sendiri. Tak perlu ada orang lain untuk hadir dan mengerti.

Puisi tak hanya menjadi ruang longgar tapi juga lenggang. Di situ, penyair menyatu dengan dirinya, tak hendak bercerita tentang apa-apa, karena ia tahu kita tak bakal paham: Maafkan aku tak bisa kuceritakan diriku:dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanya samaranku. ... sebab kata sesungguh kata tak bisa mengena jika kau masih juga separuh-membaca separuh-buta Dan sepertinya ia juga tahu, kita akan sibuk sendiri dengan kata, yang sejatinya hanya ”samaran”, tapi kini menjadi dinding-dinding ruang puisi yang semestinya tak bersisi. Kita dan penyair dipisahkan oleh kata yang semestinya mempertemukan.

Kita membaca kata-kata, alih-alih membiarkan diri hanyut dalam sungai puisi yang terus mengalir tanpa tepian. Kita seperti perenang, hendak melawan arus dan menguasai air; seperti pemburu, yang mata dan nalurinya nyalang mencari di antara belukar kata di mana gerangan buruan itu bersembunyi. Tapi di manakah makna bisa dicari? Membaca Jantung Lebah Ratu adalah perburuan atas makna di ruang berjurang dan berpalung tapi tak bertepi. Jantung lebah ratu bukan milik siapa-siapa dan tak dibiarkannya siapa pun memilikinya. Bilik-biliknya mudah ditandai, ada spektrum wewarna yang memburat keluar dari dalamnya—warna-warni yang semula lahir dari putih yang purba menjadi biru, kuning, dan merah.

Namun, wewarna ini tak lagi dapat kembali ke ”mutih”-nya yang asali. Imaji dalam Jantung Lebah Ratu bukanlah kata-kata ajaib yang suaranya belum pernah kita dengar dalam syair-syair lama. Hanya, peleburan antara imaji-imaji itu dan penjelajahan pribadi penyair begitu rapat dan kita tak bisa sekenanya ”memuntahkan peluru” tafsir. Mungkin saja penyair hendak mencoba bersentuhan dengan yang hanya: hanya bentuk, hanya gambar, hanya bunyi. Bisa jadi pula ia ingin melihat tanpa memandang—dengan ”mata tengah malam”—tanpa membentuk, yang ”membiarkan wujudmu tak berjawab nun di luar sana”.

Entahlah. Dunia puisi memang hanya dunia serba ”barangkali”, serba ”mungkin”, dan serba ”bisa jadi”. Dan penyair paham bahwa di situ tak ada yang dapat ia atau kita petik ”dari rerupaan dan lukisan yang mana pun”. Sebab, puisi sejati, menurut dia, adalah ”tak bermazhab.” Tak berbentuk, karena bentuk adalah dinding. Tak bermakna, karena makna adalah kunci. Lalu apa yang bisa kita lihat jika demikian halnya? Jika membaca bukanlah pintu masuk ke dalam ruang yang aneh ini? Setidaknya, kita melihat arak-arakan, tapi bukan kaleidoskop.

Dalam kumpulan 46 puisi yang ditulis sepanjang 2005-2007 itu, ada kelebat pelipur lara purba tanpa nama yang melantunkan pantun, terzina, dan kuatrin. Amir Hamzah yang liris, Chairil Anwar yang lugas, bisikan Pujangga Baru yang mendayu; ada Soebagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono. Namun, di situ juga ada sejagat tradisi syair dunia. Semua bersirkulasi dalam kantung-kantung jantung dan membasuh nadi-nadi. Mereka hadir sebagai saksi sekaligus pelaku dalam penjelajahan penyair melintasi bidang dan masa. Ia melihat, bukan mencari. Dan puisinya adalah penghayatan atas penglihatan itu.

Di situ ada kegirangan, sungkawa, hening. Ada dekorum, simetri dan asimetri, Apollo dan Dionysius. Tapi, sekali lagi, ini bukan kaleidoskop, bukan juga ensiklopedia. Ini penjelajahan. Di Jantung Lebah Ratu, penyair bukan pencipta. Ia lebih mirip flaneur, mengikuti ke mana jalan membawanya, menikmati tanpa menggumuli orang, benda, peristiwa yang berlalu di depan matanya. Jika kini penyair yang flaneur ini menyajikan sesuatu di depan mata kita, sebuah ”tanda mata dari seabad lalu”, ia sesungguhnya sedang mencoba membentang sepucuk jembatan mawar, yang rapuh sekaligus berduri, agar kita dapat turut melihat, menghayati—menubuhnya pengalaman estetis-ekstatis—yang ia alami.

Namun, pada akhirnya, baik sang penyair maupun sang pembaca ”hanya penerima karangan kembang di garis belakang”, tanda mata sebuah tradisi dan evolusi puitika yang terangkum dalam sebuah jantung, yaitu jantung puisi. Dan layaknya sebuah tanda mata, ia adalah sebuah ikon. Ia nyata tapi tak pernah merujuk pada dirinya sendiri. Ia menunjuk pada sesuatu yang amat berarti tapi tak hadir sendiri dalam ketubuhan.

Dalam ”Lebah Ratu” penyair melihat bahwa ia dan pembacanya tak lebih dari sepasang ”kembaran” yang terkurung dalam ruang segi enam ilusif yang membutakan mata dari realitas ruang puisi yang tak bersegi dan tak berbatas itu. Tapi keduanya adalah kembaran yang terceraikan begitu jauh, tidak dalam dimensi waktu ataupun ruang, tapi dalam dimensi kesadaran, dan satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan keduanya kembali adalah setangkai sirotol mustakim berduri yang tak mengizinkan siapa pun melangkah di atas dirinya tanpa risiko terluka... terbunuh. Dalam ”Lebah Ratu” penyair sadar atas kuasa palsunya atas kata.

Sayangnya, para pembacanya, ”ribuan peminang” yang ”mengepung ia setiap waktu”, tak sadar akan itu. Sementara itu, para ”dayang yang gemar mengaji”, para pengawal normatif puisi, tak henti mencoba membuatnya melihat apa yang mereka lihat pada dirinya: kenyataan palsu yang dipalsukan. Mereka pun terperangkap dalam bidang segi enam, tak beda nasibnya dengan pembaca pada umumnya. Sebab, mereka turut andil menciptakan realitas semu itu. Mereka adalah bagian dari tradisi yang berlalu tapi kukuh mewariskan bayang-bayang. Penyair punya kuasa membunuh. Tapi itu kuasa yang mustahil untuk ”menjadi” dan hanya bisa ”mengada”. Sebab, membunuh berarti membunuh diri. Sebab, ia dan pembacanya adalah kembaran. Sebab, ia mencintai mereka, ada karena mereka.

Maka penyair hanya bisa ”membunuh” dengan skeptisisme penuh cinta ketika ia berkata, ”Maafkan aku. Aku akan menyimpan kalian dalam museum sebab kalian telah menari dan tikam-menikam demi aku. Akan kuingat selalu bahwa setiap kali aku hendak mematikanmu, aku jatuh berahi.” Jantung yang dipuja dan diperebutkan itu adalah replika atas replika atas replika: puisi yang lahir di atas karbon sejarah puisi.

Siapa pun kini yang mengklaim diri sebagai penyair sesungguhnya adalah pelukis di atas karbon itu. Jika ada satu hal yang dapat menyelamatkannya dari ”binasa”, itu adalah kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari bangunan semu sebuah abstraksi bernama puisi. Kesediaan untuk tidak berpretensi, untuk tak tergoda epik kepalsuan.

Manneke Budiman, pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Majalah Tempo 37/IX/21 - 27 April 2008



 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.