Demokrasi dan Kapitalisme: Kasus Asia Timur dan Asia Tenggara

Gambar oleh Human CultureX dari Pixabay

Mengapa demokratisasi terjadi?Negara-negara Asia Timur dan Tenggara mungkin memberi kita beberapa pelajaran untuk menjawab pertanyaan ini.

Untuk tujuan saya di sini, tiga negara bisa dianggap penting: Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand. Pembangunan kapitalisi sangat berhasil selama sekitar dua dekade di ketiga negara ini. Rezim-rezim militer memainkan peran yang penting da­lam sebagian besar sejarah modern mereka.

Korea Selatan dan Thailand sekarang ini demokratis. In­donesia, meskipun keterbukaan politik telah sering disuarakan sela­ma hampir satu dekade, tidak mengalami gerakan politik yang riil ke arah demokrasi. Indonesia, dalam perbandingan ini, dengan demikian bisa dianggap sebagai kasus kontrol, yang sa­ngat berguna bagi kita untuk memahami mengapa sebuah per­ekonomian kapitalis yang berhasil gagal melakukan demo­kra­tisasi.

Di sini ‘pembangunan kapitalis’ tidak berarti bahwa pemerintah tidak memainkan peran dalam perkembangan ekonomi. Hal ini berarti bahwa mekanisme pertukaran dasar dalam ekonomi diorganisasi terutama berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, dan pada saat yang sama hak milik pribadi diakui. Kecuali Hong Kong, semua perekonomian yang berhasil di Asia memperlihatkan bahwa pembangunan kapitalis yang cepat terjadi meskipun pemerintah tetap memegang peran yang signifikan. Dari tiga negara yang dibahas di sini, pemerintah Thailand merupakan peme­rintah yang paling kurang intervensionis.

Argumen saya di sini adalah bahwa kapitalisme merupakan syarat yang diperlukan bagi demokrasi. Namun, ia bukan syarat yang memadai, karena demokratisasi memerlukan lebih dari sekadar infrastruktur sosio-ekonomi.

Ulasan Teoretis: Kapitalisme dan Demokrasi
Banyak masyarakat kapitalis yang bukan merupakan demokrasi. Se­mua demokrasi adalah kapitalis. Tidak satu pun masyarakat sosialis yang pernah memiliki demokrasi

Fakta-fakta sederhana ini mungkin merupakan pernyataan empiris terkuat yang bisa diberikan seseorang untuk mem­perlihatkan bagaimana kapitalisme dan demokrasi berhubungan secara positif. Namun, untuk yakin, diperlukan lebih dari se­ka­dar eksposisi faktual: hubungan antara kapitalisme dan de­mokrasi perlu diteguhkan dalam teori.ii

Dalam hal ini, tiga kelompok argumen dari para teoretisi ka­pitalisme, seperti F. A. Hayek, Milton Friedman, Joseph Schumpeter, Peter Berger, dan Max Weber, merupakan argumen-argumen yang paling menarik. Kelompok-kelompok ar­gumen ini tentu saja saling terkait, namun pembedaan kon­sep­tual diperlukan untuk memperlihatkan kekuatan masing-masing.

Argumen pertama bertolak dari premis bahwa negara modern (otoriter atau tidak) merupakan “penggumpalan kekuasaan terbesar dalam sejarah manusia”.iii Argumen ini menyatakan bah­­wa karena kekuasaannya yang begitu besar, negara modern cen­derung semakin memperluas dirinya ke dalam masyarakat, ke­cuali jika ia dibatasi oleh pembatasan-pembatasan insti­tu­sional.

Sebuah perekonomian kapitalis, pun yang tunduk pada bera­gam regulasi, menciptakan zona sosialnya sendiri yang meng­hadapi negara sebagai suatu realitas yang relatif inde­penden.iv Apapun kontrol negara yang lain, hal itu tidak sepenuhnya mengontrol zona ini, yang “ipso facto membatasi kekuasaan negara”.v Dengan kata lain, zona ini mempermudah pemberian batas-batas terhadap kecenderungan inheren negara modern untuk semakin memperluas kekuasaannya ke dalam masyarakat. Karena itu—karena demokrasi pada dasarnya meru­pakan sebuah sistem yang membatasi kekuasaan negara kapitalisme mendorong perkembangan demokrasi.

Sosialisme, sebaliknya, sangat memperkuat kekuasaan negara modern yang sudah kuat dengan membiarkannya menjadi pengontrol sebagian besar perekonomian. Ia tidak mendedahkan pe­misahan (ekonomi) dasar antara negara dan masyarakat, yang tanpanya tindakan politik yang independen dari yang terakhir ini menjadi mustahil. Semakin besar negara diberi kontrol terhadap perekonomian, semakin kecil kemungkinan demokrasi untuk berjalan, hingga hal ini mencapai titik tertentu di mana demokrasi akan menjadi samasekali mustahil. Jadi, seba­gaimana yang dengan tepat dikemukakan Hayek, semakin Anda mensosialiskan keseluruhan perekonomian, maka Anda akan semakin dekat pada “jalan perbudakan”.vi

Argumen kedua menjelaskan bahwa dari rahim kapitalisme kaum borjuis terlahir, dan menuntut hal-hal tertentu untuk berkembang, seperti legalitas dan usaha individu otonom. Tuntutan-tuntutan ini (dalam kata-kata Schumpeter, “skema hal-ihwal [kaum] borjuis”), jika kaum borjuis tersebut menjadi le­bih besar dan lebih kuat sebagai sebuah kelompok, akan meng­­­hamparkan batas-batas pada negara menyangkut apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan. Schumpeter menge­mu­kakan­­nya sebagai berikut:

Skema hal-ihwal [kaum] borjuis membatasi wilayah politik dengan membatasi wilayah otoritas publik; pemecahannya ada dalam ideal negara yang ramping yang hadir terutama untuk menjamin legalitas borjuis dan memberikan kerangka yang kuat bagi usaha individu yang otonom di semua bidang.vii

Kapitalisme dengan demikian mendorong demokrasi dengan melahirkan kaum borjuis. Marx, dalam 18th Brumaire, me­­nyatakan bahwa dalam keadaan tertentu (yakni krisis), kaum borjuis akan menyerahkan dirinya kepada Leviathan, sebuah negara Bonapartis, untuk bertahan hidup. “Untuk me­nyelamatkan hartanya, ia harus mengorbankan mahkotanya.”viii Schumpeter, tentu saja, tidak menyangkal hal ini. Namun, baginya, di masa “normal”, skema hal-ihwal borjuis tersebut akan me­munculkan dorongan ke arah demokratisasi.

Penting untuk dicatat bahwa para teoretisi demokratisasi belakangan ini tidak banyak bicara tentang kaum borjuis lagi. Sebaliknya, mereka menggantinya dengan jenis orang-orang baru dengan istilah baru: kelas menengah, masyarakat sipil. Ba­gai­manapun, ini bukan suatu penyimpangan konseptual yang substansial dari Schumpeter. Hal itu hanya merupakan suatu perluasan konsep kaum borjuis, dari penekanan semata-mata pada kepemilikan sarana produksi ke sesuatu yang lain (misalnya, jumlah penghasilan, tingkat pendidikan, kepemilikan barang-barang tertentu, dll.). Hal-hal yang lain sama: kelas menengah tersebut menuntut hal-hal yang sama sebagaimana yang diinginkan oleh kaum borjuis Schumpeter.

Argumen ketiga menyatakan bahwa kapitalisme bekerja se­cara lebih baik dalam sebuah lingkungan politik yang rasional dan dapat diprediksikan. Ia menghendaki administrasi rasional-legal. Pemerintahan non-demokratis, dalam jangka panjang, dalam istilah Weber, akan merusak “dasar kalkulabilitas” yang sangat penting bagi kapitalisme.ix

Pemerintahan otoriter mungkin memberikan rasionalitas dan kepastian (kadang lebih baik ketimbang yang diberikan sebuah pemerintahan demokratis), yang membantu mengembangkan kapitalisme. Namun, sampai titik ketika kapitalisme menjadi semakin kuat, logika rasionalitas, kepastian, legalitastersebut akan menciptakan dinamikanya sendiri yang akan meruntuhkan cengkeraman otoritarianisme. Sebuah rezim otoriter yang mengakui supremasi hukum,x yang tidak meng­ubah aturan-aturan dasarnya setiap hari, yang mengizinkan diskusi-diskusi rasional tentang isu-isu ekonomi penting, hanya perlusatu langkah kecil menuju demokratisasi.

Diperlukan Lebih dari Sekadar Kapitalisme
Argumen-argumen di atas bersifat struktural (secara ekonomi deterministik). Gagasan dasar mereka adalah bahwa kapitalisme per­lu bagi demokrasi; kapitalisme memberikan prasyarat-pra­syarat sosio-ekonomi bagi kebebasan politik untuk ber­kem­bang.

Demokratisasi, sebagai sebuah hasil politik, terjadi di tempat, waktu, dan situasi tertentu. Ia merupakan suatu proses (seringkali panjang dan menyakitkan) yang dengannya prasyarat-prasyarat struktural diaktualisasikan menjadi realitas politik. Dengan demikian, diperlukan lebih dari sekadar faktor-faktor struktural bagi berkembangnya demokratisasi.xi Hayek, Weber, Schumpeter: Argumen-argumen mereka dengan de­mi kian harus disertai oleh argumen-argumen yang lebih menjelaskan tentang proses-proses demokratisasi tertentu di tempat, waktu, dan situasi tertentu.

Dalam hal ini, argumen-argumen kaum “transisionis” (misalnya, Juan Linz, Huntington) mengisi gap tersebut. Bagi mereka, demokratisasi, sebagai sebuah proses, melibatkan lebih banyak faktor seperti strategi, tindakan, para pemimpin, pilihan, keberuntungan.

Kelemahan utama kaum transisionis telah umum dikenal: mereka cenderung berbicara tentang terlalu banyak faktor. Ketika kita membaca karya-karya beberapa transisionis, akan sangat beruntung jika kita tidak tersesat dalam “belantara faktor”. Untuk menghindari hal ini, secara konseptual kita perlu memilih hanya dua atau tiga faktor dalam penjelasan kita.

Di sini faktor-faktor yang saya yakin merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam menjelaskan demokratisasi ada­lah kepemimpinan, lembaga politik (sistem kepartaian, parlemen), dan persoalan-persoalan sosial (termasuk perang dan perpecahan sosial).

Kepemimpinan karena proses mengubah sistem politik, pada puncaknya, selalu diikuti oleh berbagai jenis krisis—dan periode krisis, sebagaimana ditegaskan Ralf Dahrendorf, adalah periode di mana para pemimpin lebih penting ketimbang ketika berada dalam masa normal.

Lembaga-lembaga politik karena realitas kekuasaan terejawantah dalam (atau tersalurkan melalui) jabatan eksekutif, militer, dan partai-partai.xii

Persoalan-persoalan sosial karena sebuah bangsa yang begitu terpecah-belah dalam hal-hal yang fundamental memberi kesempatan bagi para demagog dan elite-elite politik konservatif un­tuk mengarahkan kepentingan rakyat ke tujuan-tujuan tertentu yang tidak kondusif bagi demokrasi.

Bersama kapitalisme, perpaduan ketiga faktor ini sangat mungkin akan menentukan apakah demokrasi akan berkembang atau tidak.

Tingkat Satu: Peran Kapitalisme
Demokratisasi terjadi di Korea Selatan pada akhir 1980-an, di Thailand pada awal 1990-an. Bagaimana kita menghubungkan hal ini dengan kapitalisme dalam suatu cara sebagaimana yang diandaikan oleh teori di atas? Pertama-tama kita dapat menyatakan bahwa ketika Park Chung-hee dan para pelaku kudeta Thailand merebut ke­kuasaan, mereka tidak menundukkan semua bagian masyarakat di ba­­­wah kontrol negara, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh ka­um revolusioner Marxis. Mereka memperkuat negara melalui sarana-sarana otoriter, namun kontrol mereka samasekali ti­dak total.

Sistem yang mereka ciptakan, meminjam istilah Robert Scalapino yang menarik, adalah sistem otoritarian pluralis.xiii Mereka menerapkan peraturan-peraturan yang sangat keras untuk menjaga persatuan dan memobilisasi dukungan, namun mereka tidak sepenuhnya membunuh pluralisme sosial. Dan yang paling penting: mereka membiarkan sebagian besar perekonomian kapitalistik.

Fakta-fakta ini penting dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi berikutnya. Di Cina dan Vietnam di bawah kaum sosialis (sebelum reformasi ekonomi), kontrol negaratotal. Dengan mensosialiskan seluruh perekonomian, mereka menempatkan baik politik maupun ekonomi dalam satu tangan. Karena itu, dalam kata-kata Bergerian, mereka sangat menggelembungkan kekuasaan negara, dan dengan demikian mengi kis kemungkinan berkembangnya kekuatan-kekuatan tandingan, yang sangat penting bagi demokratisasi. Apa yang terjadi pada rakyat Cina dan Vietnam di bawah kekuasaan komunis adalah “ketidak-bebasan” sepenuhnya. Di Korea Selatan dan Thailand bukan itu yang terjadi. Kapitalisme, sebagaimana yang diperlihatkan oleh teori kita di atas, memelihara zona-zona sosial yang di dalamnya interaksi-interaksi yang otonom di antara ber­bagai orang dimungkinkan. Individu-individu membentuk perusahaan-perusahaan bisnis, melakukan perjalanan ke luar negeri, mengembangkan karier, mengundang para ahli asing, bekerja untuk perusahaan-perusahaan internasional: semua ini bisa dilakukan tanpa terlalu banyak campur-tangan negara.

Mereka mungkin tidak bisa mengkritik otoritas, namun mereka (atau setidaknya sebagian besar dari mereka) bebas melakukan hal-hal yang lain. Untuk berhasil dalam kehidupan mereka, mereka tidak harus menjadi pelayan negara sebagaimana yang terjadi pada rakyat Cina dan Vietnam.

Dengan kebebasan yang relatif cukup di wilayah ekonomi dan sosial, dapat dikatakan bahwa akan lebih mudah bagi Korea Selatan dan Thailand untuk menjadi demokratis. Kebebasan, sebagaimana yang dikemukakan Milton Friedman, dalam jangka panjang tidak mungkin dipilah-pilah. Begitu kita memiliki kebebasan di wilayah ekonomi, kita cenderung mencari jalan untuk meraih kebebasan di wilayah politik.

Selain fakta tentang sistem otoriter-pluralis ini, kita juga bisa menyatakan bahwa para jenderal di Korea Selatan dan Thailand tidak secara pasif membiarkan kapitalisme berjalan; mereka mendorongnya untuk berkembang sampai tingkat yang tak terbayangkan pada 1960-an dan awal 1970-an. Keberhasilan besar Korea Selatan dan Thailand sekarang ini telah umum dikenal. Dari 1965 hingga 1970, rata-rata pertumbuhan GDP di Korea Selatan adalah 9,5%, Thailand 7,2% (dari 1980 hingga 1987 pertumbuhan tersebut adalah 8,6% dan 5,6%).xiv Bersama dengan kemajuan ini, struktur dasar perekonomian mereka berubah. Pertanian semakin kurang memiliki andil terhadap total produksi domestik mereka. Industri-industri manufaktur dan sektor jasa tumbuh lebih kuat dan menyerap para pekerja lebih banyak ketimbang yang terjadi dua dekade yang lalu.

Pada akhir 1980-an, GNP per kapita Korea Selatan hampir mencapai $3.000, dan Thailand sedikit kurang dari $1.000. Kemajuan pembangunan kapitalis ini dapat dipastikan memperkuat posisi kaum kapitalis. Hal ini sangat jelas di Thailand: pada 1963 tidak ada satu pun pengusaha di kabinet; namun pada 1969 proporsi para pengusaha di kabinet adalah 4%, pada 1974 9,7%, dan pada 1986 (dalam kabinet kelima Jenderal Prem) 47,7%.xv

Selain itu, pembangunan kapitalis ini dengan cepat memperluas kelas menengah (yang, sebagaimana dijelaskan Schumpeter di atas, seringkali membutuhkan suatu “skema hal-ihwal” yang tidak cocok dalam sistem otoriter apapun). Sebuah survei pada 1987 mencatat bahwa sekitar 65% rakyat Korea Se­latan menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelas me­ne­ngah.xvi

Di Bangkok, Thailand, terdapat 1.800.000 orang yang bisa dianggap sebagai kelas menengah (31% dari populasi kota itu, 1986).xvii

Sekali lagi, Thailand merupakan contoh yang paling jelas dari konsekuensi politik perluasan kelas menengah ini. Pada Februari 1991, dipimpin oleh Jenderal Suchinda, militer memaksa Perdana Menteri Chatichai untuk turun, dan sekali lagi memperluas apa yang dalam sejarah negeri itu umum dikenal sebagai lingkaran politik yang keji. Kudeta Suchinda tersebut mengakhiri satu dekade rezim semi-demokratis dan (ketika pada April 1992 ia akhirnya menjadi perdana menteri dan menempatkan iparnya sebagai pemimpin militer) menggantinya dengan sebuah pemerintahan yang lebih otoriter yang dijalankan oleh suatu elite kekuasaan yang lebih seragam.

Pada April-Mei 1992 sesuatu yang baru terjadi dalam politik Thailand: rakyat (yang selama berdekade-dekade di­anggap pasif, apolitis) turun ke jalan-jalan Bangkok memprotes Suchida dan menuntut demokrasi. Militer menghantam, namun ak­hir­nya, setelah 3 hari terjadi kekerasan, para demonstran tersebut menang dan Suchida turun tahta, yang membuka jalan bagi demokratisasi sebenarnya.

Siapa orang-orang yang melawan para pelaku kudeta militer dari jalan-jalan Bangkok tersebut? Menurut sebuah survei, 60% dari orang-orang itu bergelar sarjana muda, 50% bekerja di perusahaan-perusahaan swasta, 50% berpenghasilan sebulan di atas 10.000 baht.xviiiPendeknya, mereka adalah para anggota kelas menengah.xix

Di Korea Selatan, sebagaimana yang dikemukakan Hee-min Kim, kelas menengah merupakan kelompok terakhir yang bergabung dengan koalisi anti-pemerintahan otoriter.xx Koalisi tersebut terdiri atas para mahasiswa radikal, para pekerja, dan para politisi (dua Kim) yang memelopori gerakan demokratis. Namun, salah satu alasan penting mengapa Jenderal Chun Doo-hwan tidak sepenuhnya menumpas gerakan ini sejak permulaan, kecuali dalam persoalan Kwanju, adalah kecemasan akan munculnya reaksi luas dari kalangan kelas menengah yang menentang tindakan seperti itu. Dan pada titik kritis transisi demokratis tersebut, kelas menengah-lah yang mendu­kung koalisi Kim Young-sam dan Roh Tae-woo untuk memenangkan pemilu.

Demikianlah kelas menengah di Thailand dan Korea Selatan membantu mendorong demokrasi berkembang. Karena itu, pada titik ini, kita bisa melihat dalam bentuk yang lebih langsung bahwa kapitalisme (rahimnya sangat subur untuk mela­hirkan kelas menengah) berhubungan dengan demokrasi.

Sebagian pengamat mungkin menyatakan bahwa kadang kelas menengah, untuk menjaga stabilitas, memilih untuk berdiri di belakang seorang penguasa yang otoriter, paling tidak untuk jangka pendek. Hal ini mungkin benar, dan hal ini membawa kita kembali pada perbedaan antara Marx dan Schumpeter tersebut. Karena kita telah mengulas hal ini di atas, kita tidak perlu mengulang lagi di sini.

Apa yang bisa kita katakan di sini adalah bahwa meskipun hal itu benar, sebuah sistem otoriter yang menerima sebagian nilai dan standar kelas menengah sebagai imbalan dukungan politik jauh lebih mudah untuk terdemokratiskan nantinya dibanding suatu sistem yang didasarkan pada gagasan ambisius dan pseudo-ilmiah dari segelintir elite neurotik yang hanya memikirkan dukungan terhadap polisi rahasia, partai, dan apa­rat birokratis mereka. Bayangkanlah perbedaan antara Singapura di bawah Lee Kuan Yew dan Uni Soviet di bawah Stalin (lupakan sejenak perbedaan-perbedaan dalam hal eko­nomi).

Tingkat Dua: Peran Faktor-faktor Lain
Sebelum kita bergerak lebih jauh, menarik untuk melihat kasus Indonesia. Soeharto, seperti Park Chung-hee, Chun Doo-hwan, dan para jenderal Thailand, tidak bertindak sebagaimana kaum Marxis ketika ia merebut kekuasaan pada akhir 1960-an. Sampai tingkat tertentu, konsep “otoriter-pluralis” juga bisa diterapkan pada rezim yang ia bangun. Dan, sebagai hasil dari pembangunan kapitalis yang berhasil, kelas menengah negeri itu juga berkembang dengan cepat.

Dengan demikian, prasyarat-prasyarat struktural bagi demo­kratisasi ada di sana. Namun Jakarta belum pernah mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar janji-palsu keter­bukaan. Di sini argumen kita berlaku: kita perlu lebih dari se­ka­dar penjelasan struktural untuk memahami sepenuhnya pro­ses demokratisasi.

Seorang strukturalis yang keras kepala dapat dipastikan akan mengemukakan dua argumen. Pertama, pembangunan kapitalis di Indonesia bagaimanapun tidak sangat berhasil sebagaimana di Korea Selatan dan Thailand. GNP per kapita negeri ini hanya sekitar 3/5 GNP Thailand dan 1/5 GNP Korea Selatan. Indonesia masih harus mencapai suatu tingkat kemak­muran agar kebebasan menjadi suatu pilihan yang lebih realis­tis.

Kedua, demokratisasi yang sebenarnya mungkin belum terjadi, namun jelas salah jika mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada tekanan ke arah itu. Sebagaimana yang dikemukakan Andrew MacIntyre, karena pembangunan kapitalisnya yang cepat, kaum borjuis negeri itu menjadi lebih kuat dan semakin ingin menentang kebijakan pemerintah. Juga terdapat kompetisi (in­ternal) yang lebih besar di kalangan elite dalam proses pembuatan keputusan.xxi Kelas menengah sekarang ini lebih asertif dan atmosfer perdebatan publik lebih baik dibanding sepuluh tahun yang lalu. Pendeknya, kapitalisme yang semakin luas tersebut telah memunculkan berbagai tekanan ke arah demokratisasi. Bersama waktu, tekanan-tekanan ini hanya mungkin menjadi lebih besar.

Argumen-argumen ini masuk akal, dan semua ini sangat mem­perkuat posisi sang strukturalis yang keras kepala tersebut.

Namun, untuk memperlihatkan bahwa posisi eklektik kita lebih baik dan lebih kaya, kita harus menjabarkan kasus-kasus khusus di mana faktor-faktor seperti kepemimpinan, lembaga politik, dan persoalan-persoalan sosial penting.

Dalam hal ini, mari kita kembali ke Thailand dan Korea Selatan. Di Thailand, terdapat para pemimpin oposisi seperti Chamlong Srimuang dari Palang Dharma (yang dulunya adalah gubernur Bangkok) yang bersedia untuk berada di pinggiran mempertaruhkan hidup mereka demi memperjuangkan kebebasan. Pada saat genting ketika Jenderal Suchinda nyaris menang, Chamlong turun ke jalan, hampir sendirian, menuntut bahwa ia tidak akan makan apapun kecuali jika demokrasi di pulihkan. Tindakan Chamlong yang berani dan a la Gandhi ini mem­ba­ngunkan kelas menengah Bangkok, yang kemudian meleng­serkan Suchinda.

Di Korea Selatan, kita memiliki Roh Tae-woo dan dua Kim. Kim Dae-jung dan Kim Young-sam, sejak era Park Chung-hee, merupakan simbol dan panji oposisi. Keduanya terus menjaga api perubahan bahkan di masa-masa paling sulit di bawah pemerintahan otoriter. Jenderal Roh Tae-woo, bagian dari kekuasaan yang kemudian menjadi seorang reformis, berhasil memimpin negerinya sepanjang jalan sempit transisi: di satu sisi, dia memberi jaminan stabilitas pada militer, sehingga reaksi keras terhadap para demonstran bisa sangat dikurangi; di sisi lain, ia menerima tuntutan-tuntutan dasar koaliasi anti-peme­rintahan otoriter tersebut (dengan menawarkan “delapan poin kompromi”) yang menjadi pembukaan terbesar demo­kratisasi. Roh, dengan kata lain, membuka kemungkinan bagi suatu jenis perubahan yang disebut Profesor Huntington seba­gai “transplacement”.xxii

Di akhir The Third Wave, Huntington menulis: “Pem­bangun­an ekonomi memungkinkan demokrasi; kepemimpinan politik menjadikannya nyata.” Roh Tae-woo, dua Kim, Chamlong Srimuang: tindakan-tindakan mereka merupakan salah satu contoh bagaimana kepemimpinan penting. Mereka membantu mengubah prasyarat-prasyarat sosio-ekonomi menjadi realitas politik.

Dalam hal lembaga-lembaga politik, kita bisa melihat bahwa di Thailand militer, sebagai sebuah lembaga politik kunci, terbagi ke dalam dua faksi, yakni Kelompok 5 dan Kelompok 7. Perpecahan ini memperlemah cengkeraman otoritarianisme dan membuka ruang bagi berbagai gerakan dan gerakan tandingan di kalangan elite berkuasa yang mengundang reaksi dari orang-orang luar untuk bergabung, dan dengan demikian memperluas arena partisipasi politik.

Selain perpecahan militer ini, kita memiliki faktor kelembagaan lain yang penting, Kerajaan dan Rajanya yang bijak dan kharismatik. Bersama Juan Carlos I dari Spanyol, Raja Bhumibol mungkin bisa disebut sebagai contoh terbaik dalam sejarah politik abad ke-20 tentang bagaimana sebuah lembaga lama bisa memainkan peran konstruktif dalam membantu neg­erinya menghadapi pergolakan politik besar. Raja Bhumibol membantu negeri itu untuk tidak tenggelam ke dalam titik-titik ekstrem; ia dengan demikian memberikan suatu kerangka stabilitas yang mungkin berfungsi sebagai dasar bagi terobosan politik penting, yang benar-benar ia lakukan pada April-Mei 1992.

Di Korea Selatan, dengan matinya Park Chung-hee pada 1979, legitimasi koalisi yang berkuasa merosot. Militer ternyata tidak solid dan kuat di bawah Chun Doo-hwan. Chun memang mampu membubarkan partai-partai politik dan membubarkan para pemimpinnya. Namun sebagai gantinya ia harus memberikan semacam kompromi, yakni bahwa ia hanya akan berada di tampuk kekuasaan selama 7 tahun, dan bahwa di akhir masa jabatannya ia akan memastikan bahwa pemilu yang bebas dilaksanakan untuk memilih pemimpin negeri itu berikutnya. Sebagaimana yang kemudian terjadi, pemilu yang bebas memang dilaksanakan; Roh Tae-woo memenangkan pemilu itu, dan kemudian, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, memimpin negeri itu masuk ke dalam demokrasi.

Dengan membandingkan Thailand dan Korea Selatan dengan Indonesia, penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor kepe­mimpinan dan kelembagaan dalam yang pertama hampir tidak ada dalam kasus yang kedua. Militer sebagai sebuah lembaga tetap solid, padu di bawah satu orang.xxiiiTerutama karena hal ini, Soeharto, tidak seperti Chun Doo-hwan, tidak pernah terpaksa untuk menerima pembatasan apapun terhadap kekuasaannya.

Indonesia masih menunggu munculnya seorang pemim­pin seperti Roh Tae-woo. Hingga dua atau tiga tahun yang lalu sebagian orang berharap bahwa figur-figur kuat seperti Benny Moerdani, atau Eddy Soedradjat, atau Rudini, akan menjadi seorang pembaharu dan, dari dalam, mengikis kekuasaan Soeharto dan, dengan bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan demokratis di luar pemerintah, menggiring negeri itu menuju jalan “trans-placement”. Sekarang kita sadar bahwa harapan tersebut hanyalah ilusi.

Selain itu, Indonesia mengalami satu hal yang tidak di alami oleh Thailand maupun Korea Selatan: perpecahan masyarakat yang mendalam berdasarkan garis primordial. Inilah faktor problem sosial yang menjadikan demokratisasi, meskipun bukannya tidak mungkin, agak sulit berjalan maju. Persoalan ini terlalu sering ditulis, dan karena itu tidak perlu diulangi di sini.

Tentu saja kita bisa menyebut berbagai tindakan, peristiwa, dan kejadian lain yang lebih banyak untuk menjelaskan demokratisasi. Namun, pada titik ini, apa yang telah dijabarkan di atas mungkin memadai dalam mendukung argumen eklektik kita.

i. Di sini ‘pembangunan kapitalis’ tidak berarti bahwa pemerintah tidak memainkan peran dalam perkembangan ekonomi. Hal ini berarti bahwa mekanisme pertukaran dasar dalam ekonomi diorganisasi terutama berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, dan pada saat yang sama hak milik pribadi diakui. Kecuali Hong Kong, semua perekonomian yang berhasil di Asia memperlihatkan bahwa pembangunan kapitalis yang cepat terjadi meskipun pemerintah tetap memegang peran yang signifikan. Dari tiga negara yang dibahas di sini, pemerintah Thailand merupakan peme­rintah yang paling kurang intervensionis.

ii. Di sini, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Mengapa sebuah perekonomian pasar bebas mendorong kebebasan berbicara? Mengapa lembaga hak milik pribadi menyediakan “ruang” bagi masyarakat untuk melawan sentralisasi kekuasaan dalam satu badan?

iii. Peter Berger, The Capitalist Revolution, Basic Book, 1986, hlm. 79.

iv. Dalam zona ini, seseorang memberikan dan mendapatkan nilai-nilai (barang dan jasa) yang ia anggap penting di luar kontrol negara. Perlu kita ingat, aktivitas pertukaran bebas ini merupakan salah satu dasar paling penting dari masyarakat sipil. Tidak ada masyarakat sipil yang bisa berjalan jika para anggotanya bergantung pada pemberian dan keputusan negara, atau harus bekerja untuk negara, mengejar kariernya untuk negara, dst.

v. Peter Berger, ibid.

vi. Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, Chicago, 1944.

viiJoseph Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, Harper & Row, 1962, hlm. 297.

viii. Karl Marx, “The 18th Brumaire of Louis Bonaparte”, dalam Marx and Engels: Basic Writing on Politics and Philosophy, ed. Lewis S. Feuer, Fontana, 1969, hlm. 373. Kutipan ini merupakan salah satu sumber intelektual paling penting bagi para pemikir kiri baru yang menulis tentang kapitalisme dan dunia berkembang dari 1960-an hingga awal 1980-an. O’Donnel, misalnya, menjelaskan bahwa karena tekanan-tekanan populis yang dihamparkan dalam proses penguatan industri, kaum borjuis menyerahkan dirinya ke dalam kerangka otoritarianisme birokratis. Ia melakukan hal tersebut untuk menjamin bahwa stabilitas akumulasi modal tidak terancam. Di sini apa yang dilakukan O’Donnel hanyalah menyesuaikan Marxisme lama agar cocok dengan konteks dunia berkembang abad ke-20.

ix. Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, The Free Press, 1964, hlm. 357.

x. “Rezim otoriter yang mengakui supremasi hukum bukan merupakan suatu oksimoron”. Singapura adalah contoh yang baik. Jika ia melarang sebuah surat kabar, misalnya, ia melakukannya melalui proses hukum. Hukum tersebut (yang menempatkan keamanan nasional di atas kebebasan individu) mungkin tidak demokratis, namun itu di luar persoalan. Bandingkan ini dengan Soeharto dari Indonesia, yang memiliki kebiasaan melarang pers tanpa pengadilan. Keduanya otoriter. Namun kita tidak memahami persoalan jika kita menyamakan begitu saja Lee dari Singapura dengan Soeharto dari Indonesia.

xi. Ini menjelaskan mengapa terdapat masyarakat-masyarakat kapitalis maju yang non-demokratis.

xii. Ralf Dahrendorf, Transitions: Politics, Economics, and Liberty, The Washington Quarterly, Summer 1990, hlm. 140.

xiii. Robert Scalapino, The Politics of Development: Perspectives on Twentieth-CenturyAsia, Cambridge, 1989

xiv. World Bank, World Development Report, dikutip dalam James W. Morley, ed., Driven by Growth: Political Change in the Asia-Pacific Region, East Gate Books, 1993, hlm. 6.

xv. Anek Laothamatas, "Business and Politics in Thailand", Asian Survey, April 1988, hlm. 454.

xvi. Sung-joo Han dan Yung-chul Park, "South Korea: Democratization at last", dalam James W. Morley, Driven by Growth, hlm. 185.

xvii. Sukhumbhan Paribatra, "State and Society in Thailand", Asian Survey, September 1993, hlm. 884.

xviii. Sukhumbhan Paribatra, "State and Society in Thailand", ibid., hlm. 889. Paribatra melihat bahwa di kalangan para pemimpin gerakan Bangkok, banyak di antaranya adalah para pemimpin revolusi mahasiswa 1973, yang pada 1980-an mulai membangun perusahaan-perusahaan swasta atau bekerja di sektor swasta.

xix. Mereka bisa dibandingkan dengan para demonstran Makati di Filipina yang, dari jalan-jalan Manila, membantu melengserkan Presiden Marcos pada Februari 1986.

xx. Hee-min Kim, "A Theory of Geovernment-Driven Democratization: The Case of Korea", World Affairs, Winter 1994, hlm. 138.

xxi. Andrew MacIntyre, Business and Politics in Indonesia, Allen & Unwin, 1990.306 Bab III: Pedang Saleh Afiff.

xxii. Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Oklahoma Press, 1991.

xxiii. Memang militer pernah terpecah ke dalam dua atau tiga faksi yang berseberangan (1974, 1988-.9). Namun ketika perpecahan tersebut mulai membahayakan ke­kuasaannya, Soeharto melakukan tindakan-tindakan tegas dan memulihkan kesatuan tulang-punggung politiknya tersebut.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.