Evolusi Tatanan Politik

Bagaimana manusia bisa hidup bersama dan berbagi kesejahteraan dengan jutaan bahkan milyaran manusia lainnya di dunia ini? Apa prasyarat kehadiran tatanan politik yang memungkinkan pertumbuhan dan penyebaran kesejahteraan itu, dan bagaimana tatanan politik itu berevolusi dari organisasi politik primitif masyarakat awal manusia?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengiang di ruang serbaguna Wisma Proklamasi Freedom Institute di awal Ramadhan, 4 Agustus 2011. Buku baru Francis Fukuyama, The Origins of Political Order (April 2011) dibahas oleh Akhmad Sahal dan Rizal Mallarangeng dalam diskusi yang dipimpin oleh moderator Ulil Abshar Abdalla dan dihadiri oleh sekitar 120 peserta.

Akhmad Sahal mula-mula menyinggung latar lalu meringkas buku Fukuyama itu. Sahal menggarisbawahi dua pertanyaan pokok buku itu. Pertama, mengapa ada sebagian masyarakat bisa mencapai demokrasi dan pada saat yang sama mampu merawat tata politik yang stabil, sementara masyarakat yang lain tidak? Dan apakah demokrasi bisa beradaptasi berhadapan dengan tantangan-tantangan baru?

Bagi Fukuyama, demokrasi modern baru bisa tumbuh kalau mempunyai tiga unsur ini: negara kuat, rule of law, dan pemerintahan yang akuntabel. Masalahnya, dalam sejarah peradaban manusia, tiga hal tersebut tidak selalu ada bersama, dan sering kali terpisah satu sama lain. Baru di Inggris mulai abad 16-an tiga unsur tersebut hadir bersama-sama, dan saling menguatkan.

Penjelasan atas hal tersebut di atas dilakukan Fukuyama dengan melacak sejarah asal muasal pembentukan masyarakat dan negara. Manusia, menurut Fukuyama, sejak awalnya selalu punya hasrat untuk mengorganisir diri ke dalam kelompok. Masalahnya, pengelompokan yang terjadi pada periode purba cenderung berdasarkan ikatan/solidaritas sempit, seperti ikatan kekerabatan. Kriteria kita dan mereka juga ditentukan dengan prinsip ini. Inilah yang oleh Fukuyama disebut sebagai tyranny of cousins.

Untuk mengatasi kekakuan tyranny of cousins maka diperlukanlah negara yang kuat (otoritas politik yang sentralistik). Cina memang punya tradisi panjang membangun negara kuat. Problemnya, negara yang dikembangkan oleh dinasti-dinasti kerajaan Cina terlalu menekankan negara kuat tapi tak ada kedaulatan hukum, sementara di India dan Timur Tengah, kedaulatan hukum berkembang tapi sonder negara kuat.

Inggris jadi istimewa karena proses transformasi sosial historis yang dipicu oleh rule of law dan pemerintahan yang akuntabel bisa berjalan seiring dan saling menguatkan.

Akhmad Sahal juga mengatakan bahwa buku baru Fukuyama ini, selain diilhami oleh karya Samuel Huntington, juga banyak dipengaruhi oleh gurunya yang lain, Alexander Kojeve. Dalam pandangan Fukuyama, motor penggerak sejarah manusia bukanlah sekedar naluri dan dorongan material melainkan, mengutip tafsir Kojeve atas dialektika Hegel, hasrat akan pengakuan (desire for recognition). Dalam sejarah, mula-mula muncullah the First Man, sekelompok orang yang bertarung untuk mendapatkan pengakuan tersebut dengan cara memperbudak sekelompok orang lain.Tapi dalam perkembangannya, kaum budak dan kalangan bawah yang punya hasrat akan pengakuan, juga tak henti-henti berjuang untuk mendapatkan pengakuan juga. Perjuangan mereka akhirnya berhasil dengan munculnya demokrasi. Singkat kata, demokrasi adalah semacam universalisasi desire for recognition yang bisa dinikmati semua orang.

Sahal selanjutnya menyatakan, Kojeve membaca dan menafsirkan dialektika Hegel sebagai suatu proses yang akan berhenti di suatu titik puncak, yakni demokrasi liberal. Hal yang sama juga terjadi pada Fukuyama. Masalahnya, Fukuyama banyak mengacu pada teori evolusi Darwin untuk memperkuat kisahnya, meski dia juga mengakui ada perbedaan antara evolusi alam dengan evolusi institusi politik. Ini menarik, karena Darwin justru menampik adanya telos (terminal akhir) dalam proses evolusi. Lalu kenapa evolusi institusi politik mesti secara deterministik mengarah pada satu titik, yakni demokrasi liberal dengan tiga pilarnya: negara kuat, rule of law, dan accountable government?

Pembicara kedua, Rizal Mallarangeng, dengan menarik mengangkat pembahasan buku Fukuyama ini ke langit perbandingan pencapaian besar teori-teori sosial politik, sekaligus membumikannya dengan mengaitkannya pada konteks Indonesia. Rizal menilai Fukuyama berhasil mensintesakan ilmu pengetahuan modern, khususnya biologi evolusioner ke dalam kerangka filsafat pemikiran ekonomi-politik dan sosiologi modern untuk membaca kesejarahan evolusi pengaturan masyarajat. Rizal pun menunjukkan betapa tepat telaah Fukuyama untuk dipakai melihat sejarah modern Indonesia yang bergulat untuk membangun negara kuat dan rule of law sebelum sampai pada pemerintah yang akuntabel.

Rizal juga menggarisbawahi pertanyaan Fukuyama, kenapa ada pencapaian hebat dalam pembangunan sistem politik di sekian banyak negeri demokratis modern, namun banyak juga negeri gagal tanpa tata pemerintahan yang berfungsi baik di sebagian wilayah Asia dan Afrika di zaman ini? Adakah masa depan demokrasi liberal semakin bisa dipastikan untuk berkembang baik dan sintas dengan berkaca dan belajar dari sejarah panjang pengaturan masyarakat modern?

Dalam pandangan Fukuyama, jawaban atas semua pertanyaan di atas harus dicari dalam awal-mula terbentuknya pengaturan masyarakat ke dalam lembaga yang disebut negara. Fukuyama menegaskan bahwa perkembangan trinitas Negara kuat tersebut harus dibaca secara sekuensial, demikian disampaikan Rizal, yang sepakat dengan pandangan Fukuyama bahwa tanpa Negara, tidaklah orang bisa mendiskusikan perlunya ketertundukan Negara terhadap hukum, demikian pula tanpa kedaulatan hukum seperti itu, tak ada pula pemerintah yang akan bertanggung-jawab kepada rakyatnya.

Kaum liberal, demikian Rizal, tidak perlu berpikir romantis bahwa nilai-nilai pencerahan seperti keutamaan individualisme, toleransi, kebebasan sipil dan politik, kebebasan ekonomi dan sebagainya, haruslah lebih dulu disemai sebagai prakondisi bagi tegaknya demokrasi liberal. Pandangan demikian barulah relevan jika kekuasaan negara sudah terlebih dulu diperkuat, karena kebebasan yang harus diperjuangkan bukanlah kebebasan satu atau dua kelompok orang saja namun 230 juta orang, untuk mengambil contoh Indonesia. Pernyataan Rizal ini ia keluarkan untuk menanggapi komentar Ulil Abshar Abdalla bahwa pandangan Fukuyama cenderung bertentangan dengan libertarianisme yang lebih menitikberatkan pada pentingnya nilai-nilai kebebasan individu sebagai yang mengawali perumusan tentang cakupan negara.

Yang jelas, tanpa negara kuat, kebebasan individu tak bisa dipertahankan, demikian penegasan Rizal. Inilah pandangan yang disintesakan oleh Fukuyama dari penelusurannya atas sejarah munculnya negara pertama di Cina (namun masih tanpa kedaulatan hukum dan akuntabilitas), dan kedaulatan hukum (namun tanpa Negara dan akuntabilitas) di India dan Turki. Faktor kebetulan sejarah semata di Inggris, demikian Fukuyama, menyatukan untuk pertama kalinya trinitas negara kuat ini. Inilah yang kemudian berkembang di negeri Barat hingga kini dan tampaknya paling bertahan. Inilah sistem pengaturan masyarakat manusia yang, setidaknya hingga saat ini, paling mampu mengendalikan dua sifat dasar manusia yang lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga (nepotisme) sekaligus melembagakan kecenderungan alamiah lain seperti altruisme dan resiprokalitas, sifat-sifat yang secara meyakinkan telah terungkap dari berbagai studi mutakhir biologis evolusioner.

Dalam sesi tanya jawab, Nirwan Arsuka melontarkan dua pertanyaan: pertama, kalau dalam The End of History Fukuyama menandaskan bahwa motor sejarah pada level individu adalah hasrat akan pengakuan, maka apa motor sejarah pada level organisme sosial? Kedua, jika evolusi Darwinian di ranah biologis telah menghasilkan kehidupan dan keanekaragaman hayati yang begitu menakjubkan, maka apa yang mungkin akan muncul dari evolusi di ranah sosial politik yang dikaji Fukuyama itu? Rizal, dan terutama Sahal, berharap semoga pertanyaan ini akan dijawab Fukuyama dalam karyanya yang akan datang.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.