Homo Deus, Sinar Terang yang Muram

Gambar: gq.com

Buku pertama Harari, Sapiens – A Brief Histoy of Humankind (2014), setelah diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris, langsung melejit masuk dalam daftar perbukuan dunia papan atas. 

Tokoh seperti Obama, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg terpukau serta memberi rekomendasi agar buku ini dibaca semua kalangan. Dalam usia yang relatif muda buat ukuran sejarawan, Harari kemudian menjadi a popular sage, seorang Alvin Toffler untuk era digital.

Sekuel Sapiens terbit di akhir tahun lalu dengan judul yang tak kurang menarik, Homo Deus – A Brief History of Tomorrow. Harari tampaknya akan mendulang sukses sekali lagi. 

Kekuatan Harari dalam buku ini masih terjaga: sintesis dan integrasi, dengan gaya bercerita yang terang, mengalir, cerdas. Sayangnya, berbeda dengan buku sebelumnya, Homo Deus menyampaikan perkembangan yang lumayan kelam, cenderung distopian, dengan spekulasi terlalu jauh.

Cerita Harari bergerak pada tataran peradaban. Dalam hal ini kita bisa berkata: zaman bertemu penulisnya. 

Salah satu penulis favorit saya, Will dan Ariel Durant, menulis sebelas jilid tebal, The Story of Civilization (1954), untuk melakukan hal yang sama. Itu pun hanya terbatas pada peradaban Eropa sampai  era Napoleon.

Berbeda dengan pasangan filsuf-historian ini, Harari, lebih seperti Hegel dan Marx dalam bentuk populer, tidak membahas sejarah sebagai rangkaian peristiwa. Ia langsung menukik pada esensi atau prima causa di balik pergerakan sejarah, merangkainya secara kreatif dalam bangunan cerita yang dibuatnya sendiri.

Metode ini memungkinkan Harari hanya dalam satu atau dua buku menguraikan 75.000 tahun perjalanan homo sapiens sejak migrasi keluar dari padang perburuan Afrika, tanpa kehilangan alur Big History yang ingin dijelaskannya. 

Barangkali, di era Twitterland dan Republik Facebook, di mana atensi manusia menjadi lebih pendek dengan fokus yang hampir tak terhingga, Harari mengisi sebuah ruang kosong yang kini memang dibutuhkan. Siapa lagi selain kaum historian profesional yang mau membaca atau menjadikan referensi sebelas jilid buku tebal untuk mengikuti sejarah perjalanan manusia? 

Profesor muda di Universitas Hebrew ini adalah seorang penulis dengan bakat besar. Dalam melakukan sintesis dan integrasi, Harari mengumpulkan begitu banyak temuan yang berserakan di berbagai disiplin ilmu, menyatukannya dari sebuah sudut yang kerap tak terduga. 

Tidak heran jika Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi 2002, berkata bahwa Harari adalah seorang penulis yang sanggup “menghibur, mengejutkan, memberi cara pandang yang belum terpikirkan sebelumnya”.

Dalam hal yang terakhir ini, misalnya, sejak halaman-halaman pertama Homo Deus, kita sudah diberi woro-woro yang penuh gusto: sepanjang sejarah, manusia menghadapi tiga persoalan fundamental, yaitu kelaparan, penyakit, dan perang. Sekarang kelaparan memang masih ada, tetapi jumlah orang meninggal karena obesitas sudah jauh lebih besar. 

Perang demikian pula: “Di tahun 2012, perang menewaskan 120 ribu orang, sementara angka bunuh diri sudah mencapai 800 ribu orang.” Mesiu dan agresi kini bertukar tempat dengan melankoli dan depresi sebagai faktor penyebab kematian homo sapiens dalam jumlah besar.

Masih dalam bagian awal pula, Harari menjelaskan bahwa setelah berhasil mengatasi ketiga persoalan fundamental tadi, manusia kini menetapkan sebuah agenda besar yang lebih berani lagi.

(H)umanity’s next targets are likely to be immortality, happiness and divinity…(W)e will now aim to overcome old age, and even death itself... And having raised humanity above the beastly level of survival struggles, we will now aim to upgrade human into gods, and turn homo sapiens into homo deus.

Walaupun Harari menyajikan banyak hal menarik dalam menjelaskan semua itu, konsepsi dasar yang menjadi penopang buku ini sesungguhnya relatif sederhana, yaitu otak dan kemampuan kognisi manusia yang terus berkembang tanpa batas. Konsep ini sebenarnya juga melandasi buku sebelumnya (karena itu, bagian pertama Sapiens adalah The Cognitive Revolution).

Dalam Homo Deus, konsep ini menjadi lebih eksplisit dan lebih terinci, dibahas persinggungannya dengan banyak elemen peradaban lainnya, seperti agama, negara, sistem ekonomi, serta bagaimana ia – kemampuan kognisi manusia – berubah dalam dirinya sendiri.

*

Otak dan perkembangan kognisi: di sinilah kita harus memperhatikan lebih saksama penjelasan Harari, memisahkan yang pokok dari cerita kembangan yang menghanyutkan. Pada intinya adalah ini: dalam mengejar agenda besar tadi, menurut Harari, manusia harus makin bersandar pada ilmu dan teknologi baru, khususnya biologi dan ilmu komputer, beserta berbagai cabangnya, seperti ilmu saraf, life sciences, dan artifical intelligence. 

Makin berkembang, ilmu-ilmu baru ini akan makin menyingkap tabir yang selama ini masih misterius, yaitu cara kerja otak manusia, proses berpikir, dan mekanisme subjektivitas manusia (perasaan, jiwa, kesadaran). Inilah yang Harari sebut sebagai the Sapiens black box.

Untuk melampaui tahap-tahap sebelumnya, yaitu revolusi pertanian dan industri, revolusi humanisme dan demokrasi, puncak-puncak ilmu baru ini belum terlalu diperlukan, atau dalam kata-kata Harari, they are not yet practical. Tapi sekarang ini, dalam menghadapi agenda baru seperti tuntutan keabadian hidup serta kebahagian terus-menerus, aplikasi ilmu-ilmu baru tersebut sudah tak terhindarkan, serta harus senantiasa dikembangkan. 

Singkatnya, karena tuntutan riil, manusia mulai membuka mahkotanya sendiri yang selama ini masih berupa misteri. Dan sejauh ini, apa yang mereka temukan di sana? (T)hey discovered there neither soul, nor free will, nor self – but only genes, hormones and neurons that obey the same physical and chemical laws governing the rest of reality.

Perhatikan anak kalimat terakhirnya: “…mengikuti hukum-hukum fisika dan kimia yang selama ini juga mengatur realitas di sekeliling kita.” Implikasi temuan ini, menurut Harari, bersifat fundamental. Otak dan cara berpikir manusia ternyata sama dan serupa dengan cara kerja prosesor komputer.

Bahan dasarnya memang berbeda, yang satu karbon, yang satunya lagi silikon. Namun keduanya bekerja secara algoritmik, sama-sama memanfaatkan gelombang listrik sebagai medium pembawa informasi.

harai58294.jpg

Yuval Noah Harari

Dengan kata lain, algoritme yang digunakan Google dan Amazon sesungguhnya sama dengan algoritme yang terjadi dalam sistem kognitif homo sapiens setiap kali manusia berpikir atau mengambil keputusan sehari-hari. Bedanya hanya pada kompleksitas, tidak lebih. 

Namun masalah ini adalah persoalan teknis semata. Makin ilmu berkembang, makin perbedaan ini akan teratasi – bahkan sekian tahun silam, komputer IBM, Deep Blue, sudah sanggup mengalahkan grand master catur terkemuka, Garry Kasparov.

Pada suatu titik, kemampuan algoritme dalam komputer dan life sciences akan berkembang sedemikian rupa sehingga melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan, bukan hanya di meja catur.

Apalagi, internet kini makin terhubung dalam berbagai perangkat digital serta membentuk sebuah sistem yang populer disebut “Internet of Things” (IoT). Lewat sistem inilah data atau informasi terus mengalir, terakumulasi menjadi Big Data yang berisi segala hal, mulai dari kehidupan manusia yang paling pribadi hingga transaksi perdagangan dan komunikasi satelit. 

Jaringan digital seperti ini sekarang baru berumur sekitar satu dekade. Tak terbayangkan berapa banyak informasi yang akan terakumulasi menjadi Big Data dalam dua atau tiga dekade ke depan.

Lewat semua itulah Harari kemudian masuk dalam poinnya yang terpenting: dengan makin berkembangnya kemampuan algoritme pada jaringan komputer, dengan makin berkembangnya life sciences dan ilmu saraf, apa yang terjadi pada algoritme “mini” yang beroperasi di dalam homo sapiens?

Jawaban Harari agak datar, tanpa ironi: keduanya akan bergabung, pada awalnya di permukaan saja, namun makin lama makin mendalam serta pada akhirnya akan menyatu dalam sistem kognitif yang sama. Pada saat itulah homo sapiens will disintegrate from within, bukan punah seperti homo neanderthalensis, tetapi berubah bentuk menjadi homo deus, manusia yang (menyerupai) Tuhan.

Di tengah transformasi besar ini, segala hal berubah. Dalam politik, misalnya, Harari berkata bahwa demokrasi akan runtuh: Liberal habits such as democratic elections will become obsolete, because Google will be able to represent even my own political opinion better than I can.

*

Harari masih menjelaskan banyak hal lagi, tetapi kira-kira itulah gambaran dasar yang ada dalam buku setebal 513 halaman ini. Perlu kita ingat juga bahwa Harari memberi catatan yang ditulisnya berulang-ulang bahwa Homo Deus bukanlah sebuah buku untuk menyampaikan prophecy, only probability, bukan kepastian atau ramalan, melainkan kemungkinan.

Catatan demikian tentu saja cara berkelit yang tidak cukup meyakinkan untuk menutupi suasana muram di balik rangkaian penjelasannya yang mengalir dengan gairah. Pada esensinya, dia mengulang kembali cerita lama tentang tragedi manusia. Homo sapiens di Abad ke-21 adalah Ikarus, putra Daedalus dalam mitologi Yunani, dengan sayap baru berlapis silikon, terbang penuh semangat mendekati matahari.

Harari dalam beberapa hal mengingatkan saya pada Francis Fukuyama. Dalam tulisan singkatnya yang juga menghentak, The End of History? (1989), dia menjelaskan bahwa sejarah pertarungan gagasan untuk mencari bentuk masyarakat ideal telah berakhir dengan kemenangan ide liberal dan sistem demokrasi. 

Namun, setelah sejarah berakhir, “...tidak akan ada lagi seni dan filosofi... hanya tindakan abadi untuk merawat museum manusia… abad-abad penuh kebosanan.”      

Fukuyama dan Harari: apakah setiap penulis dengan pendekatan yang sama, melihat gerak sejarah lewat satu atau dua faktor fundamental, dan kemudian mencari the end point of everything, harus selalu berakhir dengan muram dan kelam? 

Hegel sendiri, filsuf Jerman dua abad silam yang mengawali pendekatan semacam ini, berkata bahwa the owl of Minerva hanya mungkin mengembangkan sayap setelah terbenamnya matahari. Pengetahuan dan kearifan kita dapatkan setelah sejarah “melengkapi tugas-tugasnya”.

Dengan kata lain: suasana muram itu, the doom and gloom itu, apakah semuanya merupakan sebentuk kearifan – a kind of wisdom in twisted form – untuk menghindari malapetaka di masa depan?

Harari tentu setuju. Tapi saya tidak yakin. Barangkali masalahnya melekat pada pendekatan atau cara pandang terhadap sejarah itu sendiri – Hegel versus Thucydides dan Will Durant: siapa yang lebih mendekati kebenaran? 

Atau mungkin juga soalnya bukan itu, tetapi lebih pada cara seorang penulis dalam melihat fakta-fakta yang belum selesai atau pada proses yang sedang berlangsung, sebelum pada akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan besar.  

Ilmu komputer terus berkembang. Demikian pula modifikasi cara kerja algoritme pada Google, Facebook, Amazon, dan lainnya. Susunan saraf serta cara kerja otak manusia juga sedang diteliti intensif dan saat ini masih dalam taraf awal. Spekulasi atau proyeksi tentu bagian dari kreativitas berpikir manusia dalam memberi makna proses perkembangan ini.

Tetapi kalau dengan itu semua kita kemudian meloncat terlalu jauh, lalu menyimpulkan bahwa itulah the end point yang akan mengubah peradaban, termasuk membelokkan pola evolusi panjang manusia yang terjadi sejauh ini – semua itu saya kira hanya membuktikan satu hal: Sang Penulis sudah memiliki pendapat sendiri, dan kemudian mengambil setiap fakta yang ada, memerasnya, menyeleksinya to prove his or her point.

Terhadap Harari, mungkin itulah yang bisa kita katakan setelah menutup halaman terakhir Homo Deus.

  • Judul Buku: Homo Deus – A Brief History of Tomorrow
  • Pengarang: Yuval Noah Harari
  • Jumlah Halaman: 513
  • Tahun Terbit: 2016

Sumber: qureta.com

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles