Kine Klub Proklamasi : Membaca Cinta

Gambar oleh Dariusz Sankowski dari Pixabay

Di minggu ketiga Februari 2011, tanggal 21 dan 22, Kine Klub Proklamasi menayangkan dan mendiskusikan film-film bertema cinta. Atmosfir Valentine Day dan status Kine Klub Proklamasi sebagai bagian dari Perpustakaan Umum Freedom Institute yang pengunjungnya sebagaian besar muda-mudi itu, ikut mempengaruhi program diskusi film ini. Saras Dewi, penyanyi dan penulis fiksi sekaligus pengajar filsafat pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, meramaikan diskusi sebagai pembicara.
   
Moderator Nirwan A. Arsuka membuka diskusi dengan menyingung sekilas tiga film yang sudah ditayangkan sebelumnya. Tiga film tersebut masing-masing adalah The English Patient (Anthony Minghella, 1996, 162 menit) yang diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Ondaatje. Film kedua adalah Wings of Desire (Wim Wenders, 1988, 127 menit) yang menghadirkan kakater malaikat yang jatuh cinta dan menolak keabadian agar ia bisa jadi manusia biasa saja. Film terakhir adalah The Road Home (Zhang Yimou, 1999, 85 menit) yang berkisah tentang cinta seorang perawan desa kepada  guru sekolah culun yang datang dari kota.

Saras Dewi menyajikan makalah sepanjang 6 halaman yang berjudul  “Membaca Cinta”. Warna filsafat tentu saja hadir cukup kental dalam sajian Saras. Ia mengulas cinta dan sejumlah karakternya. Sambil mengutip Kierkegaard dan Fromm, ia menyebutkan bahwa cinta itu sabar, dan hal ini ditunjukkan dengan baik oleh karakter Zhao Di dalam film The Road Home. Ia juga menunjukkan bahwa cinta itu absurd, sebagaimana yang diperlihatkan Count Lazlo de Almasy dalam  The English Patient. Watak absurd ini ia perjelas dengan beberapa topangan dari Camus dan Marcell.  Di bagian akhir makalahnya, Saras mengulas cinta sebagai eksistensi. Film Wings of Desire ia jadikan ilustrasi sekaligus pengukuh argumen. Sejumlah monolog dari Damiel, sang malaikat yang bercita-cita besar untuk jadi manusia itu, diulas cukup panjang lebar.  

Bagian pertama  sesi tanya jawab diramaikan antara lain oleh komentar dokter bedah otak  Ryu Hasan. Ia mengatakan bahwa berbagai jenis cinta yang demikian menyita energi para seniman dan filsuf itu, sebenarnya cuma masalah yang sepele saja. Semua itu hanyalah soal kerja otak dan komposisi cairan kimiawi tubuh. Semuanya berujung pada kebutuhan untuk reproduksi dan kelangsungan hidup species. Saras menanggapi balik bahwa sekalipun dorongan reproduksi bekerja dalam proses bernama cinta itu, namun perwujudannya ternyata tidak sederhana. Mereka yang jatuh cinta toh tidak asal-asalan memilih pasangan hanya agar bisa beroleh keturunan. Ada pilihan-pilihan tertentu, ada arah yang dituju, yang sama sekali tidak sepele, dalam proses-proses biokimia yang tampak tak punya tujuan selain reproduksi itu.

Bagian kedua sesi tanya jawab lebih banyak diisi dengan perbandingan antar ketiga film dan jenis-jenis cinta yang ditonjolkannya. Dibicarakan misalnya bagaimana para kartografer di The English Patient yang bekerja untuk kepentingan ilmu yang melintasi batas-batas negara terpaksa harus mengalami kehancuran cinta karena nasionalisme yang bertikai, nasionalisme yag membuat sang tokoh tetap bisa mengingat segala hal tapi tak ingat namanya sendiri. Dibicarakan juga tentang ditinggalkannya posisi agung dan kekal sang malaikat hanya untuk hal-hal sepele dan duniawi, dalam Wings of Desire. Juga tentang bertautnya kembali cinta anak pada orang tua, cinta murid pada guru, cinta isteri pada suami, cinta tetangga pada sesamanya, dalam The Road Home. Moderator menutup diskusi dengan menegaskan bahwa bertautnya berbagai jenis cinta di The Road Home,  dan hadirnya tradisi upacara antar jenazah yang menemukan maknanya dalam kehidupan modern, semua itu terjadi karena ulah seorang perempuan desa buta huruf yang hanya tahu satu hal: mencinta sepenuh hati.

Download"  21/03/11

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.