Laporan Diskusi Ke-2 Klub Sains Klub Sains: Otak dan Moralitas

Seri ke-2 dari diskusi Sain Klub Freedom Institute melanjutkan diskusi seri pertama dengan pokok bahasan neurosains. Diskusi yang diadakan pada 20 juli 2011 ini mengangkat topik peranan otak dalam membentuk pola moralitas pada tiap individu manusia.

Moral selama ini lebih sering dianggap sebagai keadaan yang dibentuk oleh lingkungan dan merupakan hal yang sepenuhnya bisa dikendalikan secara rasional lewat pendidikan dalam berbagai bentuknya. Pengetahuan tentang proses terbentuknya sistem moral dalam diri seseorang menjadi sangat penting karena ini akan berimplikasi dalam menyikapi sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat secara lebih rasional.

Pembicara dalam diskusi ini adalah dr. Beny Atmadja SpBS, seorang ahli bedah saraf dan noeurosaintis yang tinggal di Bandung. Beny Atmadja membuka presentasinya dengan mengetengahkan pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf dan otak manusia sejak awal kehidupannya hingga saat otak seseorang mencapai fungsi maksimalnya. Tidak ketinggalan dijelaskan juga proses evolusioner terbentuknya otak beserta sistem-sistem dan sirkuit-sirkuitnya, di mana otak manusia telah mengalami proses evolusi sehingga beberapa fungsi sistemnya berkembang bagus, sementara ada juga fungsi yang tidak berkembang karena memang tidak terlalu dibutuhkan. Sebagai contohnya fungsi penglihatan manusia berkembang bagus sementara fungsi penciumannya tidak sebagus pada anjing. Hal ini terjadi karena selama proses evolusi otak manusia, seleksi alam lebih memilih manusia dengan sistem penglihatan yang berkembang bagus. Sementara seleksi alam lebih berpihak kepada anjing dengan penciuman yang tajam ketimbang yang penciumannya kurang berkembang baik. Sudut pandang genetika juga diajukan untuk menjelaskan bagaimana gen-gen dalam kromosom barperan besar dalam terbentuknya berbagai macam kecenderungan perilaku manusia.

Secara umum perilaku semua spesies didorong dan diarahkan oleh kerja dopamine dalam berbagai sirkuit di otaknya. Tapi hanya pada primata saja yang secara evolusioner berkembang sirkuit moral di otaknya. Tak ada binatang lain yang mengenal konsep moralitas selain primata. Konsep moralitas yang timbul pada otak primata ini merupakan hasil dari kerja korteks orbitofrontal yg secara evolusioner berkembang baik. Kerja sirkuit ini mendorong individu primata untuk melakukan tindakan-tindakan altruistik, tindakan yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang baik. Sirkuit moral di otak primata ini bertentangan secara langsung dengan sirkuit pahala di nucleus accumbent. Pertentangan antara kedua sirkuit ini terjadi setiap saat secara dinamis, kecenderungan individu untuk melakukan tindakan bermoral berbanding lurus dengan apakah sirkuit moral lebih dominan ketimbang sirkuit pahala di otaknya.

Lebih jauh Beny menjelaskan bagaimana sitem-sistem di dalam otak manusia bekerja melalui berbagai macam sirkuit-sirkuit perilaku yang saling berhubungan satu dengan yang lain secara rumit. Secara garis besar manusia mengambil keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan kerja otak emosional dan otak rasionalnya. Namun demikian, sirkuit moral di otak ternyata bekerja bukan berdasar rasionalitas semata tapi didorong juga oleh otak emosional. Alih-alih ditimbang secara jernih dan obyektif oleh rasionalitas, keputusan moral ternyata lebih mirip dengan selera estetika yang cenderung subyektif itu. Pada saat kita melihat sebuah lukisan tertentu, mungkin seketika itu juga kita bisa merasakan daya tarik lukisan itu, yang tentu saja sangat subyektif. Dan kalau kita ditanya mengapa kita menganggap lukisan itu menarik, maka kita baru mencari-cari alasannya. Demikian juga keputusan moral di otak: alasan mengapa tindakan itu baik atau tidak, cenderung baru dicari belakangan.

Dalam sesi tanya jawab, lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan baru yang disinggung, yang ternyata berbeda dengan anggapan umum bahwa moralitas adalah keputusan yang sepenuhnya rasional. Dalam sudut pandang neurosains yang dibangun dari berbagai penelitian empiris, pengambilan keputusan moral ternyata berbeda dari konsep yang dilontarkan oleh para filsuf mulai dari Plato, Leibniz, Descrate atau Kant. Para filsuf ini menganggap bahwa moral sepenuhnya terbebas dari perasaan dan emosi, bahwa berbuat baik adalah konsekwensi dari bertindak logis dan bahwa amoralitas adalah merupakan hasil pemikiran yang tidak logis. Menurut hasil riset neurosains, sebenarnya tidak ada proses yg dikendalikan oleh otak rasional dalam pengambilan keputusan-keputusan moral. Semuanya ada dalam kendali otak emosional.

Konsep moralitas dalam kelompok primata pun berbeda-beda tingkatannya pada tiap spesies, sesuai dengan perkembangan evolusi otaknya, dan manusia ternyata bukanlah yang paling altruistik dibanding primata-primata lain. Pada otak bonobo, sirkuit moral berkembang jauh lebih dominan sehingga dalam masyarakat bonobo hampir tidak dikenal kekerasan. Solidaritas yang diperlihatkan bonobo tampak juga pada pada simpanze, tapi simpanze masih sering melakukan penyerangan bahkan penyerangan yang mematikan - kepada kelompok simpanze lain. Penyerangan mematikan ini tidak pernah teramati pada masyarakat bonobo. Bahkan kecenderungan masyarakat bonobo menghindari konflik bisa begitu besar sehingga mereka bisa melakukan tindakan yang tampak tidak alami. Jika, misalnya, terjadi ketidakseimbangan populasi jantan dan betina, maka agar tidak terjadi perkelahian karena perebutan pasangan dalam kelompoknya, beberapa bonobo memilih untuk melakukan homoseksualitas.

Untuk mendapatkan pasangan, yang mungkin juga hanya sekedar pasangan tambahan saja, manusia bukan saja sanggup untuk berdusta dan berkhianat. Demi pasangan sexual, manusia bahkan sanggup menumpahkan darah dan mengobarkan perang yang memusnahkan nyawa banyak manusia, sebagaimana yang terekam dalam sejumlah catatan sejarah dan dalam banyak karya sastra yang dianggap agung.

Untuk menunjukkan peran otak yang sangat penting dalam menentukan perilaku manusia, moderator Ryu Hasan yang juga seorang ahli bedah saraf, bercerita tentang seorang mahasiswi Jepang yang prestasi akademiknya sangat cemerlang dan perilaku moralnya cukup terpuji. Suatu saat, mahasiswi teladan ini mengalami pertumbuhan tumor di otaknya. Prestasi akademiknya menurun dan tindak-tanduk seksualnya menjadi liar tanpa kendali. Meski demikian, pengujian psikiatris yang dikenakan padanya menunjukkan bahwa ia tetap mengetahui hal-hal yang dianggap benar dan tidak benar. Ketika tumor kecil di otaknya berhasil diangkat, si mahasiswi kembali menunjukkan prestasi akademik yang cemerlang dan perilaku sosial yang menggembirakan.

Diskusi yang dihadiri oleh sekitar 90 peserta ini berjalan dinamis dan variasi pertanyaan yang diajukan juga sangat beragam. Salah satu pernyataan yang menarik sejumlah tanggapan adalah bahwa moralitas bukanlah apa-apa yang diajarkan oleh para pendahulu, tetapi apa yang diturunkan secara genetik, dan itu mengatur kecenderungan seseorang untuk menjadi bermoral atau amoral.

Diskusi dinamis ini akan dilanjutkan pada diskusi neurosains seri ketiga pada Jumat 19 Agustus, dengan pembicara Ryu Hasan dan Jalalludin Rakhmat, seorang ahli psikologi komunikasi yang juga seorang pengamat perkembangan sains modern. Diskusi ini akan didahului dengan buka puasa bersama dan akan berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00. Terbuka untuk umum dan gratis.

 

dokumen audiovisual diskusi Otak dan Moralitas klik

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.