Blok Cepu, Mission Accomplished

Gambar oleh Hany Alashkar dari Pixabay

KESEPAKATAN BLOK CEPU adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakannya, kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat di­manfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.

Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Mereka memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana 1950-an dan 1960-an. Tokoh se­­perti Kwik Kian Gie bahkan pernah berkata: kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapapun ongkosnya. Kita seolah-olah berada dalam dunia hitam-putih. Yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat, sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.

Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen sema­cam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tapi pikiran se­bagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz mungkin harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Ja­karta.

Saya ingin mengingatkan, salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada 1970-an dan pertengahan 1980-an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain, adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan guru.

Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor pada akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.

Mengapa? Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto, produksi minyak kita jauh di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1,6 juta barel perhari, sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0,25 juta setiap hari. Selisih itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi pada zaman Orde Baru, terutama dari awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurun­an. Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati.

Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net ex-porter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.

Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp200-300 triliun, atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun?

Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggungjawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012. Itu pun jika kita menang dalam perkara ini di pengadilan arbitrase inter­nasional.

Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, tim negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tapi dari se­muanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil (PH), dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak In­donesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Pertamina.

Perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen head of agreement (HOA) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50 persen, dan dengan pembagian hasil 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai, pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50 persen x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).

Tanggungjawab yang dibebankan kepada tim negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya yang dituangkan dalam HOA. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gertak-menggertak.

Setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola pembagian hasil: sistem adjusted split diperkenalkan. Dengan sistem itu, pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, yaitu 93,25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ke tingkat sangat rendah, katakanlah US$30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86,5 persen. Artinya, perolehan Exxon dapat kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6,7-13,5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata, kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.

Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan PH), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat.

Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam praktiknya, Exxon yang akan bertindak sebagai manajer umum, namun dalam melakukan aktivitasnya ia harus menyertakan Pertamina.

Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berpelat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar (perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina). Perusahaan ini juga mendapat rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapapun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.

Sebagai seorang yang pernah terlibat dalam tim negosiasi, saya merasa bangga bahwa perundingan yang melelahkan itu berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidak pastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian dari masa lalu. Pada akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.

Terus terang, saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir orang-orang yang mengkritik hasil perundingan itu. Sebagian dari mereka hanya melihat pada satu isu, yaitu operatorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya. Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputarbalikkan, yaitu cost recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis.

Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu. Dalam operasi, Pertamina akan terlibat aktif. Pengawasan biaya pun akan dilakukan berlapis-lapis.

Adanya suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring mengingatkan saya pada sebuah ungkapan dari Dr Samuel Johnson: nationalism is the last refuge of scoundrels. Saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa men­jadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, me­man­faatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.

Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau ke­percayaan terhadap satu atau beberapa perusahaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih. Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.

27 Maret 2006

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.