Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah

Pembicara:
Ahmed An-Na’im (AA)
Ulil Abshar Abdalla (UAA)

Moderator:
Ihsan Ali-Fauzi (IAF).
IAF: Selamat malam. Assalamualaikum. Malam ini kita akan berdiskusi dengan Profesor An-Naim dan Ulil Abshar Abdalla sebagai penanggap. Pertama-tama izinkan saya menjabarkan proyek anda. Profesor Annaim ini datang dalam rangka suatu proyek yang dia beri judul “Islam and Secular State: Negotiating the Future of Syariah”.

Ada sebuah buku yang baru saja diterbitkan oleh Mizan. Buku ini merupakan terjemahan dari proyek yang dikerjakan oleh An-Naim. Maksudnya adalah untuk menyebarkan gagasan-gagasan agar mendapatkan respons. Nah, untuk alasan itu juga, Profesor An-Naim keliling ke mana-mana, termasuk ke Aceh dan Makasar. Dan juga bukan hanya ke Indonesia, tapi juga ke Turki, Asia Tengah dan lain-lain untuk menyebarkan gagasan ini. Termasuk juga di Amerika sendiri. Kita sangat beruntung malam ini kita bisa berdiskusi dengan dia. Saya tidak akan memperpanjang perkenalan ini. Tapi saya perlu memperkenalkan sedikit tentang Profesor Naim. Beliau lahir di Sudan. Dia memperoleh gelar bidang Hukum di Sudan, kemudian melanjutkan ke Cambridge.

Kemudian pindah ke Edinburgh University. Kemudian dia kembali ke Sudan untuk mengajar di Sudan. Dan sejak 10 tahun terakhir ini beliau mengajar di Amerika Serikat. Ada sejumlah mahasiswa Indonesia yang belajar dengan beliau. Mereka ikut membantu proyek dia ini. Mungkin para mahasiswa pernah membaca buku karya Annaim. Judul bahasa Indonesianya adalah Toward An Islamic Reformation. Di situ dia mencoba melihat universalitas Human Rights dilihat dari sudut pandang Islam dan International Law.

Beliau ini adalah murid dari Muhammad Thoha, seorang pemikir besar Sudan, yang memiliki pemikiran yang dianggap oleh pemerintah Sudan sebagai pemikiran yang aneh dan karena itu beliau dibawa ke pengadilan dan kemudian digantung. Para pengikutnya juga dikejar-kejar oleh rezim pemerintah waktu itu. Organisasi yang didirikan oleh Muhammad Thoha adalah Republican Brotherhood. Dan profesor Annaim ini juga menulis sebuah buku yang berjudul The Second Massage of Islam. Dan saya kira buku itu sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya tidak akan membuang-buang waktu. Mari kita dengarkan Profesor Annaim memberikan presentasinya. Silahkan Profesor Annaim.

AA: Selamat malam. Assalamualaikum. Saya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, tapi saya kira Ihsan sudah memberi pengantar tentang siapa saya dan dari mana saya berasal. Saya berasal dari Sudan. Misi saya datang ke Indonesia ini adalah membantu Indonesia untuk menghindari pengalaman yang sudah terjadi di Sudan. Pengalaman Sudan harus dilihat secara hati-hati. Saya adalah seorang aktivis, saya berharap saya adalah seorang scholar, tapi pada dasarnya saya adalah seorang aktivis. Ini berarti saya percaya kesarjanaan bisa mengubah masyarakat. Seorang sarjana harus terlibat dalam isu-isu publik. Saya adalah pendukung negara sekular. Saya mendukung sekularisme. Saya menganggap bahwa saya perlu negara sekular untuk menjadi seorang Muslim. Ide negara Islam merupakan suatu yang kontradiktif.

Negara adalah institusi politik. Islamic state adalah suatu kontradiksi. Istilah Islamic di situ digunakan secara ceroboh. Jadi gagasan itu merupakan suatu gagasan yang sangat tidak koheren. Itu adalah suatu kesalahan sejarah. Ide negara Islam adalah suatu ide pasca-kolonial. Ini bukan ide yang muncul dari sejarah Islam. Negara adalah institusi politik dan birokratik dengan suatu hierarki dan kekuasaan yang ekspansif yang mengontrol hampir semua aspek kehidupan kita, terlepas dari apakah kita menyukai hal ini atau tidak. Syariah adalah sistem norma dalam Islam. Otoritasnya adalah religius dan bukan sekular.

Dalam arti ia tidak ada dalam wewenang negara. Dengan kata lain, negara menyimpang jika ia menerapkan syariah. Esensi Al-Quran berada di atas pemahaman manusia. Ketika Quran dituliskan dalam bahasa manusia, maka ia masuk ke dalam sejarah. Tidak ada pemahaman syariah yang abstrak, universal dan transendental. Setiap pemahaman syariah adalah bersifat historis. Dengan kata lain, ia sekular. Ia berasal dari dunia ini. Dengan kata lain, proyek saya adalah mendemistifikasi gagasan tentang syariah.

Para pendukung negara Islam cenderung memistifikasi pandangan atau pemahaman tentang syariah. Jika syariah itu transenden dan abstrak, maka ia tidak lagi relevan dengan kehidupan kita. Negara adalah institusi politik. Dia tidak boleh menjadi religius. Apakah dia sekular atau tidak, hal itu bergantung pada apa yang kita maksud dengan sekular. Setiap negara tidak religius. Dalam pengertian itu setiap negara adalah sekular. Saya akan menjelaskan apa yang saya maksud dengan negara sekular.

Negara sekular adalah negara yang netral dalam hal doktrin-doktrin keagamaan. Dia tidak berpihak pada agama tertentu. Dia juga tidak mendukung atau memusuhi agama tertentu. Kenetralan negara dalam hal doktrin keagamaan inilah yang membuat agama mungkin berkembang dalam masyarakat. Karena hanya masyarakat yang merupakan tempat di mana agama bisa berkembang dan berada. Kebebasan beragama meniscayakan adanya kemungkinan untuk tidak-percaya. Jika saya tidak boleh untuk disbelieve, saya tidak dapat believe. Jika believe merupakan satu-satunya pilihan, maka itu tidak bisa dianggap sebagai believe.

Dengan kata lain, kemungkinan heresi merupakan sesuatu yang inheren dalam pengalaman keagamaan. Jika saya tidak boleh menjadi seorang yang heretik, maka saya tidak mungkin menjadi believer. Secara logis hal itu harus berjalan bersama-sama. Tidak bisa salah satunya yang dipaksakan. Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu. Tapi saya akan menyatakan satu proposisi saya yang mungkin menantang anda. Islam dan politik tidak boleh dipisahkan. Hal itu merupakan suatu paradoks. Bagaimana kita bisa memisahkan negara dan Islam, sementara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan.

Pernyataan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan bukan hanya pernyataan menyangkut Islam, tapi itu berkaitan dengan semua agama. Semua agama bisa mengklaim hal yang serupa. Sifat agama menjadikan orang yang beriman akan bertindak secara politik sebagai orang yang beriman. Perilaku orang beriman akan diresapi dengan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka. Hal ini berlaku untuk semua negara, Amerika, Sudan atau Indonesia. Ada perbedaan mendasar antara agama dalam ruang publik dan agama dalam negara. Apa yang saya tentang adalah agama dalam institusi negara. Karena itu menurut saya merupakan suatu korupsi doktrin-doktrin keagamaan. Terakhir, saya menghimbau kepada anda yang ada dalam negara sekular untuk melihat wacana keagamaan secara serius. Dan bagi mereka yang ada dalam negara religius, untuk memikirkan masalah sekularisme secara serius. Wassalamualaikum.

IAF: Terima kasih Profesor Naim. Sebelum memberikan kesempatan kepada Ulil, izinkan saya meringkaskan beberapa poin di sini. Profesor Naim mulai dengan menyatakan bahwa proyek ini bermula dengan pengalaman pribadinya. Dia tidak ingin pengalaman yang terjadi di Sudan terulang di Indonesia. Pada 1990 beliau menerbitkan bukunya, Toward an Islamic Reformation. Di situ masih tidak begitu jelas posisi beliau tentang apa yang disebut sebagai negara sekular.

Namun pada beberapa tahun terakhir dia banyak mengkaji tentang negara dan negara sekular, dan dia sampai pada kesimpulan bahwa kita justru memerlukan negara yang sekular untuk menjadi Muslim yang baik. Menurutnya tidak ada yang disebut sebagai negara Islam itu. Negara adalah sebuah institusi politik yang harus dipisahkan dari agama mana pun. Wacana tentang negara Islam adalah wacana pascakolonial. Dan syariah merupakan suatu mahluk yang lain sama sekali. Kemudian dia masuk ke dalam penjelasan apa yang dia maksud sebagai syariah. Dia membedakan syariah sebagai konsep dan syariah sebagai isi.

Syariah sebagai content itu sebenarnya merupakan suatu hal yang sekular. Dia turun dalam situasi historis tertentu, dst. Tidak ada sesuatu yang sifatnya sakral di situ. Quran juga diturunkan dalam bahasa manusia. Oleh karena itu proyeknya sekarang juga bisa disebut sebagai demistifikasi syariah. Syariah itu tergantung pada manusia mengambilnya seperti apa. Jadi bergantung pada manusia. Jadi ada dua hal besar. Pertama mengenai syariah, yang ditafsirkan ulang. Yang kedua adalah tentang sekularisme.

Sekularisme itu sesuatu yang sebenarnya netral agama. Bukan benci agama. Dalam salah satu bab bukunya dia menunjukkan bahwa sekularisme itu meskipun wujud dasarnya adalah pemisahan agama dan negara, tapi wujud konkretnya berbeda dari satu ke lain negara. Kira-kira itu proyek besar dari Prof. AnNaim. Butir-butir pokok pemikirannya adalah: pertama, Islam dan negara itu secara institusional harus dipisahkan. Bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama lain.

Tetapi, dan ini yang kedua, Islam dan politik tidak boleh dipisahkan. Prof. AnNaim berusaha keras menjelaskan mengapa politik itu harus dibedakan dari negara. Orang beriman itu akan dan harus berpolitik sebagai orang beriman. Kalau dia dilarang berpolitik sebagai orang beriman, itu artinya negara mendiskreditkan hak dia sebagai orang yang memang beriman. Oleh sebab itu dia memisahkan apa yang dia sebut sebagai religion in public space dengan religion in the state. Yang kedua ini tidak boleh. Kemudian dia berbicara tentang buku ini, isinya seperti apa. Negara tidak boleh menjadi negara Islam. Untuk itu, orang beriman jika ingin berpolitik sebagai orang beriman, maka dia harus menggunakan public reason. Jangan bawa-bawa agama ke dalam argumen publik.

Dengan poin itu dia menutup diskusinya tadi. Sekarang saatnya untuk memberikan kesempatan kepada Ulil. Saya kira semua orang sudah tahu Ulil, sehingga saya tidak perlu memperkenalkannya lagi. Silahkan Ulil.

UAA: Assalamualaikum. Terima kasih kepada Prof. Naim karena sudah mempresentasikan gagasannya yang menantang tentang hubungan antara syariah dan negara modern, serta bagaimana umat Islam harus menghadapi masalah ini. Saya setuju dan sekaligus tidak setuju dengan pendapat anda. Secara umum saya setuju dengan pemikiran anda tentang soal ini.

Gagasan bahwa hukum Islam harus dinegosiasikan dengan melalui public reason, hanya mungkin dengan berdasarkan pada satu asumsi. Dan asumsi ini bukan hanya modern tapi juga sekular. Agama sebagaimana dipahami oleh Muslim bukan hanya masalah doktrin dan norma. Tapi agama juga masalah institusi. Fungsi negara sebenarnya adalah untuk melayani agama. Karena agama adalah bos. Dan negara budak. Dengan demikian negara hanya sah bila ditopang oleh nilai-nilai keagamaan.

Ini adalah salah satu tanggung jawab negara menurut para sarjana Muslim di era klasik. Dan saya kira ini bukan hanya masalah Islam. Ini adalah juga masalah agama-agama lain. Jadi agama seperti suatu payung besar yang memayungi semua hal yang ada di dunia. Dan segala sesuatu harus tunduk pada payung ini. Jadi semua hal di bawah agama. Syariah itu sekular jika dia berkenaan dengan hal-hal yang sekular. Dan ia religius jika dia berkenaan dengan hal-hal yang religius, seperti ritual dan sebagainya.

Pembedaan ini menurut saya baru dan sangat menantang. Saya setuju dengan konsep ini. Ketidaksetujuan saya dengan Prof. Naim berkenaan dengan klaim dia bahwa tidak ada negara Islam dalam sejarah. Saya menentang pendapat ini karena Prof. Naim cenderung meproyeksikan gagasannya ke belakang, ke sejarah. Saya kira Ali Abdurraziq dan juga Prof. Naim hidup dalam era yang berbeda. Kita hidup dalam era pascakolonial. Kita suka atau tidak, sekarang ini kita semua adalah anak-anak Pencerahan Eropa.

Dan Pencerahan mengandaikan bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Orang-orang yang hidup dalam era sebelum pencerahan, tidak percaya pada konsep ini. Saya tidak setuju dengan Prof. Naim hanya karena ia mendasarkan gagasannya pada sejarah. Saya setuju dengan gagasannya tapi saya tidak setuju dengan cara dia membaca sejarah. Demikian tanggapan saya terhadap Prof. Naim. Terima kasih.

IAF: Terima kasih Ulil, bagus sekali dan ringkas. Poin besar dari Ulil adalah bahwa pemisahan negara dan agama itu sesuatu yang sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat Muslim karena mereka percaya bahwa agama itu mencakup bukan hanya politik tapi juga negara. Dan bahwa negara dalam Islam itu tugasnya mengabdi kepada agama. Pandangan Prof. Naim itu menurut Ulil adalah pandangan yang total break dari pandangan yang lama. Kemudian Ulil membicarakan tentang era pasca-Pencerahan Eropa yang gagasan-gagasannya memengaruhi kita semua. Di sini negara menjadi distinc.

Sebelumnya, agama itu seperti udara. Dilihat dari segi itu maka pandangan Prof. Naim ini adalah suatu total break. Jadi kira-kira poin besar Ulil seperti itu. Ulil tidak setuju pandangan Prof. Naim bahwa dalam sejarah Islam tidak ada yang disebut sebagai Negara Islam. Menurut Ulil, prof. Naim ini membacakan pikirannya ke dalam sejarah. Jadi tidak melihat sejarah apa adanya. Sebelum saya meminta anda berkomentar, saya akan meminta Prof. Naim untuk memberi tanggapan kepada Prof. Naim.

AA: Kita selalu membaca sejarah sebagaimana adanya kita. Tidak ada pembacaan sejarah yang obyektif. Kita mengorganisir sejarah menurut konsep-konsep kita. Jadi bukan hanya saya yang melakukan ini. Setiap orang melakukan hal ini. Pemahaman kita bergantung pada pengalaman kita. Karena itu, kapan pun kita membaca, kita membaca berdasarkan siapa kita dan apa pengalaman kita. Ini masalah umum. Namun poin utama bagi saya adalah bahwa klaim saya bahwa tidak ada itu Negara Islam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pemahaman dan gagasan saya. Demikian tanggapan saya untuk Ulil. Terima kasih.

IAF: Terima kasih, Prof. Naim. Ok, sekarang waktunya anda memberi komentar atau mengajukan pertanyaan. Saya akan membuka termin pertama. Silahkan.

Penanya I: Assalamualaikum. Terima kasih. Saya sangat bahagia bisa berada di sini karena saya mendapatkan pemikiran baru. Saya ingin bertanya tentang pandangan anda bahwa Islam dan negara harus dipisahkan, sementara Islam dan politik harus disatukan. Saya ingin menerapkannya pada konteks Indonesia. Di sini ada banyak partai Islam. Pertanyaan saya bagaimana meyakinkan partai-partai ini dalam kaitannya dengan pandangan anda tadi. Karena partai Islam merupakan sesuatu yang boleh di Indonesia, kita tidak boleh melarang mereka ada. Ini karena kita demokrasi. Demikian pertanyaan saya. Terima kasih.

IAF: Ok. Terima kasih. Silahkan yang lain.

Penanya II: Terima kasih. Saya akan pakai bahasa Indonesia. Ada dua pertanyaan. Untuk Prof. Naim dan Ulil. Pertama, sekarang ini apakah ada negara yang berhasil menerapkan proyek yang sekarang ini anda angkat. Kedua buat Ulil. Apakah menurut anda proyek ini bisa diterapkan di Indonesia. Dan jika proyek ini diterapkan di Indonesia, apa yang akan terjadi. Terima kasih.

IAF: Ok. Terima kasih. Silahkan selanjutnya. Ok, silahkan Trisno.

Penanya III: Terima kasih banyak. Saya ingin bertanya tentang dua hal tentang pemisahan negara dan agama. Dalam tradisi Kristen saya, saya bisa memahami anda sepenuhnya dan saya setuju sepenuhnya dengan anda. Tapi saya punya masalah saat melihat pada pengalaman Islam. Dalam Islam, tidak ada institusi seperti agama Katolik Roma, misalnya. Sehingga menjadi sulit untuk memisahkan agama dan negara. Itu poin saya yang pertama. Pertanyaan saya yang kedua, saya kira dalam Islam, apa yang terjadi lebih seperti apa yang terjadi dalam tradisi Protestan. Dalam Protestan tidak ada hierarki universal. Itu poin saya yang kedua. Untuk teman saya Ulil, saya kira gagasan Islam sebagai din wa dauat merupakan gagasan yang modern. Karena setahu saya, gagasan itu pertama kali digelontorkan oleh Ridha sebagai senjata untuk melawan kolonialisme. Demikian komentar saya. Terima kasih.

IAF: Ok. Terima kasih Trisno. Segitu dulu, ya. Prof. Naim akan menjawab kemudian akan dilanjutkan oleh Ulil. Silahkan.

AA: Saya mulai dengan pertanyaan Ja’far. Dengan netralitas saya tidak memaksudkannya berlaku untuk semua bidang tapi dalam kaitannya dengan doktrin keagamaan. Berdasarkan doktrin keagamaan, Amerika Serikat adalah negara yang netral. Amerika Serikat tidak mengambil satu posisi doktrin keagamaan. Amerika Serikat sebagai republik yang konstitusional lebih baik dari negara Islam karena lebih terbuka dan toleran. Di Amerika Serikat saya bisa menjadi Muslim sesuai dengan yang saya yakini.

Di Amerika Serikat saya tidak bisa menjadi Muslim sesuai dengan apa yang saya yakini. Sekarang tentang bahasa dan tentang yang profan. Ya, bahasa manusia merupakan suatu keterbatasan. Karena itu setiap konsep ilahiah yang sampai pada manusia menjadi tidak lagi ilahiah. Ia telah menjadi sekular dan ia juga telah menjadi profan. Syariah sebagaimana kita tahu sekarang ini itu inkonstitusional. Karena ia mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan, juga mendeskriminasi antara Muslim dan non-Muslim. Kemungkinan akan adalah hak yang setara merupakan suatu hal yang mustahil dalam syariah. Pertanyaan selanjutnya. Saya kira Islam, berbeda dari Katolik, sangat demokratis. Tidak ada hierarki. Tidak ada institusi ulama, tidak ada institusi fatwa. Gagasan tentang institusi ulama itu tidak islami dari sudut pandang keagamaan saya. Namun, secara sosiologis, umat Islam cenderung membuat institusi keagamaan. Dan itu kemudian menjadi suatu kelompok ulama. Saya kira anda benar tentang apa yang anda katakan menyangkut Protestan. Demikian, terima kasih.

IAF: Ok. Terima kasih Prof. Naim. Sekarang kesempatan untuk Ulil, silahkan Ulil.

UAA: Ada dua pertanyaan bagi saya. Pertama, bagaimana konsep yang dikatakan oleh Prof. Naim diterapkan di Indonesia, dan jika hal itu diterapkan, apa yang akan terjadi. Saya kira, apa yang dikatakan oleh Prof. Naim adalah apa yang sekarang ini terjadi dalam kehidupan kita setelah runtuhnya Orde Baru. Kita sekarang ini melihat bagaimana nilai-nilai Islam dan norma-norma Islam diperdebatkan dan dibahas secara hangat. Saya kira public reason atau civic reason seperti yang dikatakan oleh Prof. Naim sekarang ini dipraktikkan oleh orang-orang di Indonesia sekarang ini. Contoh yang menarik adalah sekarang ini banyak kabupaten dan daerah di Indonesia yang menerapkan Perda Syariah. Saya kira kesalahan sebagian besar umat Islam di Indonesia sekarang ini adalah bahwa mereka memistifikasi hukum Islam seolah-olah hal itu sepenuhnya ilahiah tanpa adanya keterlibatan manusia dalam formulasinya. Padahal sesungguhnya ada intervensi manusia dalam hukum itu. Ini komentar saya untuk pertanyaan pertama. Untuk pertanyaan kedua dari Trisno. Ia bertanya tentang konsep din wa daulat. Ia menganggap bahwa itu adalah konsep modern dan bukan konsep klasik. Secara sosiologis, ada perbedaan pemahaman tentang negara dalam masa modern dan pra-modern. Dalam era pra modern, negara dan agama adalah satu hal. Tidak ada distingsi di situ. Jadi distingsi ini adalah sesuatu yang modern.

Jadi pernyataan Ridha merupakan suatu reaksi modern Islam terhadap situasi pasca-kolonial. Kekaisaran Kristen di era pra-Pencerahan, itu terstrukturkan sedemikian rupa sehingga agama dan politik dan negara itu satu kesatuan. Saya percaya bahwa sejarah negara dalam masyarakat Islam tidak begitu berbeda dari yang terdapat dalam masyarakat Kristen, terlepas dari kenyataan bahwa dalam Islam tidak ada struktur eklektisikal seperti dalam agama Katolik Roma. Sejarah agama dan negara dalam Islam dan Kristen menurut saya sama. Kita ini anak-anak Pencerahan Eropa, karena gagasan masa ini menyebar ke mana pun, terlepas dari apakah anda suka atau tidak.

IAF: Saya ingin memberi kesempatan untuk Prof. Naim berkomentar. Mungkin satu atau dua menit. Silahkan.

AA: Dalam bab pertama buku saya, saya mengatakan bahwa kita membaca sejarah sebagaimana adanya kita. Sebagaimana pemahaman dan konsep kita tentang hal itu. Saya kira obyektivitas merupakan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh manusia. Manusia tidak bisa obyektif. Manusia tidak bisa menjadi netral. Orang-orang Eropa bisa berpretensi bahwa mereka bisa bersikap ilmiah menyangkut sejarah. Saya kira itu merupakan suatu hal yang nonsense.

IAF: Saya akan membuka terma baru lagi. Silahkan ke depan.

Penanya IV: Terima kasih. Naman saya Maria. Saya ingin berbicara dan berkomentar tentang bagaimana anda membaca sejarah. Saya kira anda, menurut kategori Walter Benjamin, telah melakukan over-interpretation. Saya juga akan berkomentar tentang Syariah. Saya ingat teman saya di Belanda, yang satu dari Sudan dan yang satu lagi dari Palestina. Mereka bilang bahwa saya sangat beruntung datang dari Indonesia, karena anda tidak memiliki institusi syariah dan anda tidak memiliki negara syariah. Dan mereka kemudian berbicara tentang hudud law dan sebagainya. Ok, demikian, terima kasih.

IAF: Silahkan yang kedua. Berdiri saja.

Penanya V: Saya Sali. Terima kasih. Saya menangkap bahwa Prof. Naim menganggap bahwa syariah sebagai content, itu berseberangan dengan hak asasi manusia, hak sipil, dan kesetaraan laki-laki perempuan. Bagaimana pendapat Prof. Naim tentang reinterpretasi syariah yang dilakukan oleh banyak ulama, termasuk para sarjana Islam di Indonesia untuk mengendurkan ketegangan antara keduanya. Terima kasih.

IAF: Terima kasih. Saya persilahakan Prof. Naim untuk memberikan komentarnya. Silahkan.

AA: Ya. Saya membuat pembedaan antara politik dan negara. Vatikan bisa disebut sebagai negara pada dirinya sendiri. Namun dalam kaitannya dengan Italia, ia bukan bagian dari negara Italia. Atau dengan kata lain ia bukan negara Italia itu sendiri. Poin saya adalah tentang pemisahan agama dan institusi negara. Agama dan politik tidak harus dipisahkan. Tentang interpretasi syariah. Interpretasi apa pun tentang syariah hanya merupakan suatu penafsiran baru atas syariah dan karena itu tidak dapat diterapkan oleh negara. Yang kita perlu tafsirkan ulang adalah dukungan kita terhadap konstitusi, hak asasi manusia, dan kesetaraan manusia. Konsep tentang citizenship dalam era pra-modern tidak ada. Kaum muslim adalah subyek dari penguasa, mereka bukan warga negara. Dalam era pra-Pencerahan kita tidak berbicara tentang warga negara. Kita juga tidak berbicara tentang konstitusi. Kita juga tidak berbicara tentang hak-hak asasi manusia, atau kesetaraan manusia. Ideologi sekular bisa menjadi totalitarian, dan ideologi Marxis adalah contohnya. Agama juga bisa menjadi totalitarian. Totalitarianisme sebagai cara berpikir bisa ada pada ideologi sekular dan juga pada ideologi keagamaan. Ada kaum fundamentalis sekular dan ada juga kaum fundamentalis keagamaan. Jadi fundamentalisme adalah state of mind. Ia ingin membentuk dunia berdasarkan imej-nya. Totalitarianisme bisa diinspirasikan oleh ideologi sekular seperti di Rusia zaman Stalin, atau diinspirasikan oleh ideologi keagamaan seperti yang terjadi di Iran dan Sudan.

IAF: Terima kasih Prof. Naim. Kita masih punya waktu 20 menit. Saya akan buka satu termin lagi. Silahkan maju ke depan.

Penanya VI: Nama saya Ali. Assalamualaikum. Selamat malam. Anda mengatakan bahwa agama dan negara harus dipisahkan, sementara agama dan politik boleh tidak dipisahkan. Sedangkan Ulil mengatakan bahwa orang-orang Islam di dunia mayoritas yakin bahwa Islam dan negara tidak bisa dipisahkan. Bagaimana anda melihat hal ini. Terima kasih.

IAF: Silahkan berikutnya.

Penanya VII: Terima kasih. Nama saya Hayadin. Saya akan singkat saja. Saya ingin bertanya pada Prof. Naim. Anda ke mengatakan ingin menegosiasikan masa depan syariah. Namun anda tidak ingin menegosiasikan masa depan Islam. Apakah dengan demikian anda dalam proyek ini ingin mengatakan bahwa Islam Yes, Syariah No. Dan ini terlihat dari hubungan antara agama dan negara.

IAF: Saya berikan dulu pada Ulil, kemudian baru komentar Prof. Naim. Silahkan, Ulil.

UAA: Komentar singkat saja. Tanggapan untuk Prof. Haidir. Prof. Naim dan saya setuju pada satu kesimpulan bahwa kita tidak memerlukan negara Islam sekarang ini. Tapi bagaimana kita sampai pada kesimpulan ini merupakan suatu hal yang berbeda. Prof. Naim berusaha untuk mendemistifikasi atau mendekosntruksi konsep tentang negara Islam. Untuk itu dia perlu juga mendemistifikasi sejarah Islam. Pada titik ini saya tidak setuju dengan dia. Jika orang menggunakan sejarah Islam untuk mendukung suatu konsep yang ia dukung di masa modern, komentar saya adalah bahwa tidak semua hal dalam sejarah Islam bisa diadopsi sekarang ini. Kita hidup dalam keadaan dan masa yang sangat berbeda. Demikian tanggapan saya, terima kasih.

IAF: Silahkan Prof. Naim.

AA: Saya akan singkat saja. Ada masa ketika orang-orang percaya bahwa bumi ini datar. Poinnya adalah bahwa kepercayaan orang-orang itu berubah. Dan itu semua berubah karena tindakan kita, agensi kita. Gagasan tentang negara Islam merupakan suatu gagasan yang sangat berbahaya. Kita harus mengubah keyakinan tentang hal ini pada siapa pun. Jika anda membiarkan hal ini terjadi, maka hal ini akan menghancurkan kehidupan anda. Dan ini adalah wacana abad 20. Karena itu upaya ini bukan hanya dalam teori, tapi juga harus dilakukan dalam praktik. Saya melakukan hal ini karena saya punya pengalaman di Sudan.

Terakhir, tentang mengapa masa depan syariah dan bukan masa depan Islam, poin saya adalah bahwa syariah selalu merupakan bagian dari Islam yang kita pahami. Syariah tidak melingkupi Islam, tapi bagian darinya. Saya mengatakan Syariah Yes, tapi dalam politik, bukan dalam negara.

IAF: Ok. Saya pikir kita harus berterima kasih banyak kepada anda Prof. Naim karena energi anda, dan karena usaha keras anda untuk datang ke sini dan memberi presentasi yang sangat menarik. Sekali lagi terima kasih. Kita berharap proyek anda berjalan dengan baik. Kita juga sangat senang jika anda datang lagi ke sini di masa yang akan datang. Indonesia masih akan sama ketika anda datang ke sini, mungkin malah akan menjadi lebih baik. Terima kasih juga buat teman-teman. Mari kita beri tepuk tangan sekali lagi buat Prof. Naim dan Ulil. Selamat malam. Assalamualaikum.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.