Karisma Obama?

Photo by History in HD on Unsplash

Dalam serentetan pemilihan internal partai, primary elections, tahun ini untuk pencalonan presiden Amerika, Barack Obama berkali-kali mengalahkan lawannya, Hillary Clinton. Baru pada tanggal 4 Maret di Negara Bagian Rhode Island, Ohio, dan Texas, Senator Clinton meraih kemenangan dan memberi kesan bangkit kembali.

Meski kita belum bisa memastikan siapa yang bakal dicalonkan, bagi saya, munculnya Obama sebagai calon yang mampu menyaingi Clinton adalah suatu keberhasilan luar biasa dan mengejutkan. Bagaimana menjelaskannya? Alasan yang paling sering dikemukakan teman-teman saya (termasuk dari Indonesia) adalah karisma, daya tarik luar biasa yang dimiliki seseorang sebagai bakat bawaan. Bagi saya, penjelasan itu lebih mengaburkan ketimbang mencerahkan.

Konsep karisma diperkenalkan kepada dunia ilmu sosial awal abad lalu oleh sosiolog terkenal Jerman, Max Weber, yang bermaksud menyoroti sejenis kekuasaan istimewa yang dimiliki hanya oleh para nabi dan raja yang mampu merombak total dunia mereka. Dengan sendirinya, konsep itu sulit diterapkan pada sistem politik mapan masa kini, tempat para pemain adalah manusia biasa yang dibatasi berbagai rintangan dan kendala.

Meski saya akui peran sifat-sifat pribadi politisi, munculnya seorang great man dalam pengertian historis sulit dibayangkan dalam masyarakat modern.

”Demand and supply” Kerangka analitis yang lebih masuk akal adalah kerangka demand and supply, tuntutan dan penawaran politik yang memengaruhi dan dipengaruhi setiap aktor. Dalam kasus Amerika Serikat, para calon presiden dituntut untuk memecahkan sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah. Tantangan paling umum adalah keluhan massa yang kian luas dan dalam, menurut hasil polling ilmiah, bahwa our govern- ment is on the wrong track, pemerintahan kami sudah berada di luar rel yang benar.

Keluhan umum itu tentu bisa dirinci. Sebagian besar warga Partai Demokrat (dan banyak anggota Partai Republik serta kaum independen) menolak keterlibatan tentara Amerika Serikat di Irak.

Namun, kami menyadari, Presiden Bush tidak bersedia mengubah kebijakannya. Kami juga tahu, calon penggantinya dari Partai Republik, Senator John McCain, ingin bertahan di Irak, bahkan bila mungkin selama seratus tahun dengan tujuan politik yang kian buram dan ongkos, manusia dan materi, yang tak terhitung jumlahnya.

Masalah pekerjaan Bagi banyak anggota Partai Demokrat, masalah paling pelik yang dihadapi langsung adalah kehilangan pekerjaan. Mungkin mayoritas anggota partai percaya, arus globalisasi ekonomi selama pemerintahan Bush berdampak buruk bagi kaum buruh dan kelas menengah bawah, basis utama Partai Demokrat.

Kaum buruh yang masih bekerja mengeluh, pendapatan bos-bos mereka melejit tinggi sementara upah mereka sendiri cenderung stagnan atau menurun terpukul inflasi. Tambahan pula, asuransi kesehatan untuk semua warga belum dijamin negara. Bagi yang kehilangan pekerjaan, asuransi mereka ikut hilang dengan sendirinya.

Apa yang ditawarkan Barack Obama kepada warga Partai Demokrat, dan masyarakat Amerika Serikat pada umumnya, sampai ia mampu mengungguli Hillary Clinton? Jawaban spesifik tentang berbagai usul kebijakan tentu ada. Namun, jawaban tuntas dan memuaskan harus menyentuh gaya dan visi yang secara sengaja diciptakannya. Hal-hal itu lebih sulit dipegang secara empiris, tetapi jelas menentukan.

Tentang perang Irak, Obama termasuk suara langka pada tahun 2003 yang mencurigai adanya weapons of mass destruction, senjata pemusnah massal, di negara yang masih dikuasai Saddam Hussein saat itu. Lagi pula, ia meyakini, masyarakat Irak sulit menciptakan negara-kebangsaan yang utuh serta demokratis mengingat sejarahnya sebagai negara buatan dengan banyak konflik suku dan agama.

Sebaliknya, Hillary Clinton mendukung perang itu, terdorong ambisi berlebihan untuk menjadi presiden dan mungkin termakan propaganda Bush. Tantangan ekonomi Mengenai tantangan-tantangan ekonomi, Obama dan Clinton tidak banyak beda meski Clinton mengklaim bahwa tawaran solusinya jauh lebih baik dari usul-usul Obama. Dalam kenyataannya, keduanya mengerti— meski sama-sama enggan mengakui secara terang-terangan— bahwa arus globalisasi harus ditunggangi, bukan dibendung.

Mereka juga sepakat, buruh yang terpinggirkan harus dibantu dengan program-program pendidikan, pelatihan, dan asuransi kesehatan universal memadai. Namun, Obama menyadari sesuatu yang tidak dimengerti oleh Clinton. Pemilih Partai Demokrat (dan mungkin pemilih Amerika Serikat umumnya) ternyata mengharapkan sesuatu yang lebih dahsyat ketimbang hanya beberapa kebijakan baru. Kami mengharapkan sebuah Amerika yang tidak terpolarisasi lagi oleh pemisahan ras, kelas, dan politik partisan yang setajam sekarang. Tak kurang penting, kami mengharapkan sebuah kebijakan luar negeri yang lebih peka dan terbuka terhadap kemauan dan kepentingan bangsa lain.

Obama berjanji, dia akan memulai proses pembaruan yang kami tuntut. Ia dipercayai banyak orang karena tiga hal. Gaya pidatonya memukau. Kehidupan pribadi dan politiknya terbukti menjembatani kesenjangan hitam-putih, miskin-kaya, dan Demokrat-Republik. Terakhir, ia masih muda sehingga pendekatan dan ide-idenya lebih segar dan tingkat energinya tinggi. Namun, umur belianya mengingatkan kita, dia populer antara lain karena belum berbuat banyak, belum sempat menciptakan segerombolan musuh seperti Clinton. Alhasil, tanpa terjebak kepastian berlebihan tentang masa depan, untuk sementara ini kita bisa bersikap optimistis.

R William Liddle
Profesor Ilmu Politik, The Ohio State University, Columbus Amerika Serikat

sumber: Opini Kompas Sabtu, 8 Maret 2008

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.