Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial

Photo by Candice Seplow on Unsplash

KONFLIK antaragama di Maluku telah berlangsung setahun le­bih. Korban yang tewas sudah lebih seribu jiwa, sementara jumlah penduduk yang terpaksa mengungsi, menurut kabar terakhir, setidaknya sudah dua ratus ribu orang. Hingga sekarang tanda-tanda perdamaian masih simpang-siur.

Kita juga tahu bahwa bukan cuma di Maluku hal demikian pernah terjadi. Di beberapa daerah bentuk dan skala konflik memang berbeda-beda, tetapi tingkat keberingasan berbagai kon­flik itu hampir sama. Satu kelompok menyerang, membakar, atau membantai kelompok lain. Lupus est homo homini, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Pertanyaan Tak Terjawab

Bagaimana kita menjelaskan munculnya konflik-konflik itu? Mengapa saat ini berbagai kelompok dalam masyarakat begitu garang terhadap kelompok lainnya? Kenapa perseteruan atas dasar agama dan etnik kembali bermunculan seperti cendawan di musim hujan, baik di pelosok-pelosok desa maupun di kota-kota yang relatif besar seperti Ambon, Sambas, bahkan Jakarta? Mengapa ia terjadi sekarang, sebuah periode di mana justru Sang Demos harus bersuka-cita menyambut datangnya era baru dan lepasnya mereka dari belenggu sistem otoriter?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat penting untuk dijawab sekarang. Dalam jangka panjang, berbagai persoalan yang ada akan sulit diselesaikan secara tuntas kalau kita tidak me­ngerti apa yang sesungguhnya terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana proses terjadinya. Tanpa penyelesaian yang tuntas, konflik-konflik seperti itu, seperti kata Goenawan Mohamad beberapa saat lalu, pada akhirnya akan melemahkan da­sar-dasar sistem demokrasi yang baru saja mulai kita kembangkan. Masyarakat akan kecewa pada demokrasi, dan diam-diam mulai merindukan kembalinya zaman lama yang tenteram dan teratur.

Namun sayangnya, kalau kita membaca berbagai media massa dalam setahun terakhir ini, bahkan sejak beberapa tahun sebe­lumnya saat berbagai konflik semacam itu mulai bermunculan, di Situbondo dan Tasikmalaya misalnya, penjelasan-penjelasan yang ada sangat lemah dan cenderung berputar-putar di tempat.

Dari segi tanggungjawab keilmuan, kaum ilmuwan sosial-lah yang sebenarnya harus tampil ke depan dan memberi jawaban-jawaban yang memuaskan. Tetapi sampai sekarang semua itu masih berupa harapan. Ironisnya, banyak di antara mereka malah mengambil jalan pintas dengan ikut-ikutan memakai teori konspirasi dan menyerukan adanya hantu-hantu provokator di balik segala perkara yang kita hadapi. Penjelasan seperti ini hanya mencerminkan kemalasan berpikir dan secara politik sebenarnya cukup berbahaya, sebab ia justru semakin mendorong terciptanya sebuah situasi di mana setiap orang akan saling menuduh dan mencurigai.

Ilmuwan sosial memang telah berusaha mendudukkan masalah dengan lebih baik. Tetapi penjelasan-penjelasan yang di­kemukakan terus mengulang apa yang sudah dikatakan berkali-kali. Mereka cenderung berkata bahwa akar masalah segala perkara yang ada terletak pada soal kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa Orde Baru. Tema-tema semacam inilah yang terus di bolak-balik tanpa dirinci lebih jauh.

Lebih jauh lagi, dihadapkan pada fakta-fakta sederhana, jawaban-jawaban seperti itu dengan cukup mudah bisa ditolak. Misalnya, dari fakta umum menurut indikator tertentu (Indeks Gini) kita tahu bahwa selama 25 tahun terakhir, sebelum jatuhnya Soeharto, distribusi ekonomi cenderung konstan, tidak membaik atau memburuk, berkisar antara 0,32 dan 0,35. Dalam soal ini, seorang ekonom kawakan Australia, Prof. Hal Hill, pernah berkata bahwa apa yang dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari dua dekade merupakan a resounding success.

Selain itu kita juga tahu bahwa persoalan kesenjangan justru lebih tajam di kota-kota besar, bukan di daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Ternate, Sambas, Tasikmalaya, dan Situbondo. Dan selama krisis ekonomi dalam dua tahun terakhir, justru daerah yang jauh dari pusat-pusat industri dan perdagangan, seperti Halmahera dan Kepulauan Maluku umumnya, yang secara relatif diuntungkan, sebab basis perekonomian mereka masih sangat bersifat agraris.

Tentu saja para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi masih bisa berkelit. Mereka, misalnya, bisa berargumen bahwa jika indikator yang digunakan berbeda, kesenjangan ekonomi di mana konflik sosial terjadi sebenarnya memburuk. Namun soalnya adalah kaum ilmuwan yang berpendapat begini tidak pernah memberi penjelasan terinci apa yang mereka maksudkan dengan indikator alternatif itu dan bagaimana ia dihubungkan dengan konflik-konflik etnoreligius.

Katakanlah konsentrasi ekonomi, atau yang lebih spesifik lagi, akses ke dalam dunia perbankan lokal adalah yang dimaksudkan sebagai indikator alternatif itu. Tetapi adakah seorang ilmuwan sosial yang pernah mencoba memberi penjelasan empiris tentang indikator-indikator seperti ini di Maluku? Apakah mereka sudah mencoba membuktikan bahwa kelompok Islam di Ambon misalnya, sudah semakin menguasai akses dunia perbankan lokal, dan karena itu memicu perasaan penolakan dari kaum Kristen yang mayoritas? Sejak terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya beberapa tahun lalu, pernahkah para ilmuwan sosial penganut penjelasan kesenjangan ekonomi berusaha mengumpulkan fakta-fakta di lapangan yang bisa mendukung ar­gumen mereka? Saya khawatir jawaban terhadap semua pertanyaan ini adalah negatif, tidak jauh berbeda.

Kaum ilmuwan sosial penganut penjelasan “semua ke­salahan Orde Baru” pun tidak jauh berbeda. Berbagai jawaban yang mereka kemukakan terlalu bersifat umum dan cenderung hanya menghujat masa lalu secara agak sembrono. Mereka sering lupa bahwa buat seorang ilmuwan sikap kritis dan pe­nolakan terhadap represi politik adalah satu hal, dan upaya untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sosial secara obyektif adalah hal lain lagi. Dari mereka kita akan sukar mengerti persisnya tindakan kesalahan seperti apa dari pemerintahan Soeharto yang berhubungan langsung dengan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini.

Katakanlah kita sepakat bahwa salah satu kesalahan besar Orde Baru adalah represi militer yang berlangsung bertahun-tahun. Secara logis kita juga bisa memperkirakan bahwa tingkat represi semacam ini bervariasi di berbagai kota dan daerah, tergantung pada kemungkinan tantangan dan perlawanan yang dapat diberikan oleh penduduk di kota itu. Jadi di Surabaya, misalnya, sebuah kota besar dengan aktivitas buruh, mahasiswa, dan kelas menengah yang cukup dinamis, tingkat represi militer cenderung lebih tinggi ketimbang di Ternate, Maluku Utara, sebuah kota yang buat Orde Baru sangat pinggiran dan karena itu hampir tidak berarti apa-apa. Singkatnya, di Surabaya kehadiran dan represi militer jauh lebih terasa ketimbang di tempat yang jauh seperti Ternate.

Kalau pandangan ilmuwan sosial di atas benar, maka tentulah bukan di Ternate, tetapi masyarakat Islam dan Kristen di Su­rabaya yang akan saling membunuh setelah turunnya Soeharto. Tetapi fakta yang kita lihat adalah sebaliknya. Malahan, banyak dari konflik yang terjadi justru berlangsung di daerah-daerah di mana sentuhan Orde Baru sesungguhnya relatif tidak begitu intensif.

Singkatnya, pandangan yang berkata bahwa penyebab segala konflik yang berlangsung sekarang semuanya adalah kesalahan rezim penguasa di masa lalu masih harus dirinci dan di­buktikan lebih jauh. Para penganut pandangan ini harus menye­lesaikan pekerjaan rumah mereka untuk meyakinkan kita bahwa penindasan masa lalu berhubungan langsung dengan beringasnya berbagai kelompok masyarakat saat ini.

Hal itulah yang sayangnya masih belum kita lihat sampai sekarang. Orde Baru jadinya terus-menerus menjadi momok yang, ironisnya, dipakai oleh sebagian ilmuwan sosial (dan juga oleh sebagian aktivis LSM, wartawan, dan politisi) dengan sesuka hati untuk menjelaskan hampir setiap peristiwa negatif yang terjadi dalam masyarakat. Mengapa gagal?

Itulah kegagalan besar kaum ilmuwan sosial saat ini. Dan itu terjadi justru pada saat pikiran-pikiran segar mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Penyebab kegagalan ini mungkin terletak pada fakta bahwa kaum ilmuwan sosial sekarang, teruta­ma tokoh-tokoh utamanya (para “pengamat”), sudah terlalu sibuk mengisi kebutuhan yang muncul mendadak dalam era reformasi, yaitu kebutuhan akan informasi yang bersifat instant dan kontroversial. Lebih dari yang sudah-sudah, waktu mereka kini sudah sangat terbatas untuk merenung secara mendalam, apalagi untuk melakukan sejumlah penelitian yang sistematis.

Akan tetapi mungkin juga sebabnya lebih mendalam lagi. Di zaman Orde Baru, terutama dalam 15 tahun terakhir, teori-teori yang populer di kalangan ilmuwan sosial kita (dan juga terutama di kalangan aktivis) berkisar pada varian teori-teori negara, otoritarianisme-birokratik, ketergantungan, dan sosiologi kritis. Teori-teori semacam ini, walau masing-masing berbeda, pada dasarnya adalah semacam sapuan-sapuan besar untuk menggambarkan perilaku sosial-politik makro. Melalui teori negara, misalnya, yang terutama ingin dijelaskan adalah perilaku politik negara dan bagaimana ia dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan besar dalam masyarakat, seperti kapitalisme, sosialisme, peradaban teknokratis, militerisme, dan otoritarianisme.

Selain teori-teori demikian, ada lagi sebuah teori lain yang ju­ga sangat populer dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu te­ori tentang masyarakat sipil (saking populernya, kita bahkan bi­sa mendengar istilah “masyarakat sipil” atau “masyarakat madani” diucapkan dalam pidato-pidato para pejabat hampir setiap ha­ri). Secara umum, penggunaan teori ini dalam ilmu-ilmu so­sial kita cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masya­rakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik. Ka­lau toh ada konflik atau persoalan dalam masyarakat, ia lebih di­pandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari mani­pulasi dan pertentangan para elite yang mengendalikan ne­gara. Karena itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kaum ilmuwan sosial penganut teori ini juga sangat mudah un­tuk berkata bahwa konspirasi kaum elitelah yang menjadi pe­nye­bab dari berbagai konflik sosial. Jadi, sama dengan teori-teori se­belumnya, teori ini pun pada akhirnya lebih memusatkan pen­je­las­annya pada negara, yang dianggap sebagai sumber dari se­ga­la persoalan politik.

Teori-teori seperti itu memang mungkin cukup menarik untuk digunakan sebagai dasar konseptual dalam membedah dan menjelaskan dinamika rezim Orde Baru. Dan waktu itu pun semua orang sadar bahwa persoalan politik utama adalah kuat dan dominannya negara terhadap masyarakat. Di bawah Soeharto, negara mengatur, mengintimidasi, membangun, dan memimpin masyarakat.

Akan tetapi sekarang hal itu sudah berbalik 180 derajat. Saat ini, seperti yang tercermin dari konflik-konflik keras di Ma­luku, justru masyarakatlah, Sang Demos, yang menjadi persoalan utama yang kita hadapi. Negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena ia kuat dan dominan, te­tapi justru karena ia lemah dan hampir tak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika teori-teori yang populer selama bertahun-tahun kini tiba-tiba kehilangan “subyek” yang ingin dijelaskannya, dan kemudian kehilangan daya tariknya. Dan kaum ilmuwan sosial kita pun harus kembali mengunyah berbagai penjelasan yang bersifat sangat umum dalam menerangkan sejumlah masalah yang ada sekarang, terutama dalam menerangkan terjadinya berbagai konflik sosial. Karena itulah, “teori” tentang kesenjangan ekonomi, keadilan, dan pengalaman penindasan di bawah Orde Baru kemudian menjadi primadona di kalangan mereka.

Reorientasi

Kalau semua itu benar, maka mungkin dari situlah kita bisa mulai melihat apa yang diperlukan agar ilmu-ilmu sosial kembali menjadi relevan. Dalam hal ini ilmu-ilmu sosial harus lebih banyak lagi memusatkan perhatian mereka pada studi-studi tentang masyarakat secara lebih terinci. Kalau dua dekade lalu ada seruan bringing the state back in, maka saat ini yang mung­­kin harus ditegaskan lagi adalah bringing the society back in. Sang Demos-lah yang kini harus dikenali dengan lebih baik agar kita bisa menggambarkan berbagai peristiwa penting yang ada sekarang, atau yang akan terjadi dalam saat-saat mendatang.

Dalam upaya ini kita juga harus meninggalkan pendekatan yang mengandalkan sapuan-sapuan besar dalam memandang realitas, setidaknya untuk sementara. Kita harus mempelajari perilaku mikro, pola-pola interaksi lokal, hubungan penduduk asli dan kaum pendatang, perubahan hierarki kekuasaan di kota-kota kecil dan menengah, perubahan demografis dan dampaknya pada komposisi suku dan agama di sebuah komunitas, pola pengajaran guru agama di pesantren maupun di sekolah negeri, dinamika hubungan pendeta dan umatnya, tingkat resistensi kultur lokal terhadap masuknya ide-ide kosmopolitan, naik-turunnya jumlah perkawinan campuran di sebuah daerah, dan masih banyak lagi.

Semua itu, dalam konteks sosial sekarang, sebenarnya merupakan topik-topik besar yang hanya bisa dipahami lebih jauh jika kita mau menelitinya dalam skala makro. Kalau kita bisa mengerti hal-hal demikian dengan lebih baik, saya yakin bahwa kita bisa mulai menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti yang terjadi di Maluku mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah.

Reorientasi fokus ilmu-ilmu sosial juga akan lebih berhasil jika diiringi dengan pembalikan kecenderungan yang selama ini terjadi di kalangan tokoh-tokoh ilmuwan sosial kita. Sadar atau tidak, mereka dalam beberapa tahun terakhir terlalu Gramscian, terlibat cukup jauh dalam kegiatan aktivisme dan proses politik dalam pengertian sempit. Hal ini sesungguhnya bisa dimaklumi, sebab untuk meruntuhkan rezim yang kukuh seperti rezim Orde Baru dan membangun sesuatu yang besar dan baru (Orde Reformasi), dukungan praktis dan bersifat langsung dari setiap elemen masyarakat, termasuk kaum ilmuwan, memang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sekarang situasi telah berubah, dan tuntutan masyarakat pun menurut saya sudah berbeda. Dari para ilmuwan sekarang yang dibutuhkan terutama adalah ide-ide segar yang mampu menjelaskan berbagai hal yang saya singgung di atas tadi.

Singkatnya, para pentolan ilmu-ilmu sosial sekarang harus lebih banyak kembali ke dunianya. Dari tempat inilah mereka dapat menjelaskan peran mereka dengan lebih baik dan membantu kita semua untuk menjelaskan realitas dan menawarkan jalan ke luar dari berbagai persoalan yang ada.

9 Januari 1999

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.