Megawati dan Soal Persiapan Jadi Presiden

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

SAMPAI SAAT INI perkembangan politik masih belum beranjak dari skenario pasca-memorandum kedua. Tidak ada peristiwa besar yang membalikkan ramalan-ramalan yang ada secara radikal. Kemungkinan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden ke-5 RI sudah mencapai tingkat yang hampir absolut.

Memang, peran faktor X yang dapat menggagalkan transfer kekuasaan bulan depan masih terus membayang di mata. Di hari-hari mendatang sebagian anggota DPR/MPR masih dapat tergoda oleh uang atau janji jabatan menteri dan posisi basah lainnya. Beberapa pentolan Polri dan TNI masih dapat dibius dengan pangkat dan aroma kekuasaan, dan dengan itu mendukung penerapan dekrit presiden untuk membubarkan parlemen.

Akan tetapi, jika semua itu tidak terjadi, jalan Megawati akan mulus. Ia akan menjadi pemimpin baru, yang tentunya juga disertai dengan merebaknya harapan-harapan baru dari berbagai kalangan masyarakat. Pertaruhan kekuasaan Megawati tinggi betul, yaitu sistem demokrasi itu sendiri serta kemaslahatan 210 juta rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Dalam banyak aspek kemasyarakatan, kondisi yang ada setelah jatuhnya Soeharto dapat gambarkan oleh ungkapan Prancis di era pasca-Revolusi: plus ça change, plus la méme chose, semakin situasinya berubah, semakin semuanya sama saja. Malah, bagi sebagian orang ungkapan ini sebenarnya keliru sebab kondisi yang ada semakin memburuk.

Demokrasi tidak akan lama bertahan dalam kondisi demikian. Karena itu dalam konteks kesejarahan yang ada sekarang, Megawati tidak boleh gagal sebagai pemimpin. Tentu kita tidak perlu bermimpi bahwa ia akan menjadi semacam Ratu Adil, pelaku superheroik yang hanya ada di dunia mitologi. Tetapi, mestinya tidak terlalu keliru bila kita berharap bahwa dengan segala keterbatasan yang ada padanya, Megawati akan muncul sebagai pemimpin efektif yang berhasil mengatasi tantangan zamannya.

Untuk itu, dia dan pembantu-pembantu terdekatnya harus memikirkan secara saksama banyak hal yang perlu demi suksesnya pemerintahan baru kelak. Buat saya, yang pertamatama harus dilakukan Megawati adalah menentukan satu atau dua tujuan besar yang konkret. Tujuan yang ingin dan mungkin dicapai olehnya. Hal inilah yang harus dia jadikan sebagai titik di horizon, yang memberi arah bagi perahu pemerintahannya.

Dan dengan itu pula kekuasaan Megawati dapat memiliki fokus yang jelas. Tanpa fokus semacam ini, sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki seorang pelaku sejarah, dampak kehadirannya tak akan banyak berarti. Semua pemimpin besar yang hidup di alam demokrasi dikenang bukan karena mereka membuat banyak hal sekaligus. Franklin D. Roosevelt terus dikenang karena dia melahirkan negara kesejahteraan ala Amerika, dengan tekanan utama pada kebijakan asuransi sosial. Nama Winston Churchill masih ditulis dengan tinta emas karena ia berperan penting dalam membangkitkan semangat perlawanan yang heroik terhadap Hitler pada saat-saat yang sangat kritis dalam Perang Dunia II.

Saya tidak berkata bahwa Megawati harus menjadi Roosevelt atau Churchill. Tetapi, pelajaran dari kedua tokoh ini cukup jelas: untuk mencapai sukses, seorang pemimpin harus memiliki fokus yang jelas mengenai apa yang ingin dicapainya. Kalau fokus pemerintahan Megawati meluas, abstrak, dengan tujuan yang terlalu beragam dan saling bertentangan, saya khawatir semuanya akan berujung pada kegagalan. Kalau ini terjadi, bukan hanya Megawati dan PDI Perjuangan yang akan terpuruk.

Tujuan apa, dalam kondisi saat ini, yang secara ideal tepat serta secara praktis mungkin dicapai oleh pemerintahan Megawati? Pada hemat saya, di antara pilihan-pilihan yang ada, tujuan demikian harus berhubungan dengan dua hal, yaitu penciptaan ketertiban umum serta pengambilan langkah-langkah tegas untuk memulihkan kondisi perekonomian, khususnya dunia perbankan. Kedua hal ini saling berhubungan. Yang satu tak mungkin tercapai jika yang satunya lagi diabaikan.

Sekarang kita belum mengerti apakah kedua hal itu akan dijadikan sebagai fokus utama pemerintahan baru kelak. Tetapi, Megawati harus segera memutuskan, dalam waktu dan kondisi yang terbatas, tujuan yang akan menjadi mission sacre dari seluruh bangunan kekuasaannya.

Selain soal tujuan, Megawati dan pembantu-pembantu terdekatnya juga harus memikirkan mengenai jalan atau metode kepemimpinan. Bagaimana tujuan-tujuan yang dipilihnya dapat dicapai? Dengan apa mencapainya? Sebagai pemimpin yang diatur oleh kaidah-kaidah yang ada dalam sistem demokrasi, apa yang harus dilakukannya dalam berhadapan dengan realitas politik, sebuah dunia yang memiliki logikanya sendiri?

Roosevelt, misalnya, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, bertindak sangat pragmatis dan betul-betul menjadi politisi, dalam pengertian yang sebenarnya. Untuk merealisasikan kebijakan-kebijakannya, dia sering membujuk, merangkul, dan memberi angin pada lawan-lawan politiknya. Namun tidak jarang pula dia menyikut, menohok dan mengucilkan mereka, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh sistem politik di AS. Dia melakukan begitu banyak eksperimen kebijakan pada tingkatan yang lebih mikro untuk mencapai tujuan besarnya, dengan sikap yang terus-menerus optimistis.

Apakah Megawati akan mengikuti model kepemimpinan yang sama? Sejauh ini, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini memang lebih sering diam dan berbicara melalui pembantupembantu terdekatnya. Namun, beberapa indikasi menunjukkan bahwa saat ini dia sudah lebih mampu bertindak sebagai politisi yang menawarkan kompromi di satu pihak, dan bersikap tegas menolak segala perundingan politik di lain pihak. Semakin tersudutnya posisi Presiden Abdurrahman Wahid dalam berhadapan dengan Megawati adalah salah satu bukti dari hal ini.

Selain itu, yang paling menggembirakan adalah kemampuan Megawati untuk lebih bersifat pragmatis dalam memilih kebijakan. Dia dan sebagian kalangan di partainya mewarisi ide-ide nasionalisme dan populisme yang kental dari Bung Karno. Namun, dalam urusan yang berhubungan dengan isu-isu ekonomi, dia tetap memilih dan mendengarkan pendapat dari tokoh seperti Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Emil Salim.

Kemampuan seperti itulah yang akan semakin dibutuhkannya. Dia akan sering berhadapan dengan tembok-tembok besar. Dia harus mengerti, kapan dia harus melabrak dan meruntuhkannya dengan kekuatan penuh, kapan harus mengambil jalan memutar untuk menghindarinya. Dia harus mampu mempertimbangkan kedua pilihan ini secara pragmatis, dengan mata yang terus tertuju pada tujuan-tujuan besar yang ingin dicapainya.

Churchill pernah berkata bahwa to govern is to choose, seorang pemimpin senantiasa harus mengambil pilihan-pilihan sulit dalam kondisi yang terbatas. Jika Megawati memutuskan untuk lebih memakai kekuatan dan melabrak tembok-tembok yang merintanginya, dia harus mengerti bagaimana memainkan kartu-kartu politik kekuasaan, sebagaimana layaknya seorang pengikut Machiavelli yang sejati, tanpa mengorbankan aturanaturan yang umum berlaku dalam sistem demokrasi. Jika yang dipilih adalah “politik jalan memutar”, dia harus lebih sering menawarkan kompromi dan merangkul seteru politik yang paling memusuhinya sekalipun, tanpa terjebak dalam hutan belukar negosiasi politik yang tak berujung-pangkal.

Pilihan-pilihan demikian pada akhirnya terpulang pada Megawati. Kita semua berharap, Megawati kini sedang mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut tanggungjawab yang demikian besarnya. Indonesia kini betul-betul dahaga akan seorang pemimpin yang efektif. Semoga kali ini sejarah akan berpihak pada kita.

17 Juli 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.