Moratorium Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Moratorium Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 1

Oleh: Daniel Murdiyarso2

Tanggal 26 Mei 2011 ini penandatanganan Surat Niat (Letter of Intent, LoI) antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Norwegia genap berusia satu tahun. Dalam LoI tentang kerjasama pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) tersebut antara lain disepakati bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan penundaan izin baru di hutan alam dan lahan gambut.

Sepekan yang lalu Presiden RI akhirnya mengeluarkan instruksi (Inpres No.10/2011) yang ditujukan untuk menunda izin baru di hutan alam primer dan lahan agar emisi GRK dapat dikurangi dan tata kelola hutan dan lahan gambut dapat diperbaiki. Setelah mengalami keterlambatan selama lima bulan, Inpres ini ditanggapi dengan sudut pandang yang berbeda oleh berbagai kalangan.

Uraian ini akan mengulas apakah Inpres tersebut akan efektif dalam upaya penurunan emisi yang dicanangkan Presiden sendiri dalam berbagai forum internasional, termasuk COP15 di Copenhagen. Implikasi butir-butir instruksi yang bersifat mengecualikan juga akan dibahas secara kritis. 

Efektifkah moratorium ini?

Pada periode 2000-2005 sekitar 60 persen dari emisi GRK Indonesia (sekitar 2 milyar ton per tahun) berasal dari kegiatan deforestasi dan alih-guna lahan baik di tanah mineral maupun gambut. Oleh karena itu penundaan izin atau moratorium dianggap sebagai cara yang ampuh untuk mengendalikannya. Dengan keluarnya Inpres tersebut memang ada kelegaan bahwa moratorium akhirnya diberlakukan. Namun banyak kalangan meragukan apakah moratorium ini akan efektif dalam upaya menurunkan emisi GRK dari kegiatan berbasis lahan yang begitu besar.

Tidak kurang dari tiga menteri (Kehutanan, Dalam Negeri, dan Lingkungan Hidup), empat kepala lembaga dan para Gubernur dan Bupati kebagian instruksi ini. Namun demikian, Menteri Pertanian dan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tidak mendapatkan instruksi apapun. Padahal kegiatan berbasis lahan yang terkait dengan dua kementerian  tersebut seperti izin perkebunan dari lahan hutan yang dikonversi, izin pertambangan di hutan alam, izin tukar-pakai hutan sangat banyak jumlahnya dan luas arealnya.

Luas kawasan hutan Indonesia adalah 187.4 juta ha dengan rincian menurut fungsinya sbb:

Fungsi kawasan

Luas

% total

Hutan Konservasi (HK)

19.7

10.5

Hutan Lindung (HL)

29.9

16.0

Hutan Produksi (HP)

60.5

32.2

Hutan Produksi/Konversi (HPK)

22.3

11.9

Areal (utk) Penggunaan Lain (APL)

55.1

29.4

Total

187.4

100.0

 

HK dan HP sebenarnya sudah dilindungi UU 41/1999, sehingga hampir sepertiga hutan alam Indonesia sebenarnya sudah “aman”. Dengan kata lain Inpres tentang penundaan izin baru justru tidak berlaku atau tidak efektif untuk kawasan ini, karena memang seharusnya tidak ada izin usaha yang pernah diterbitkan di kawasan ini.

Sepertiga luas hutan yang lain masuk dalam kategori HP mungkin masih berupa hutan primer, sementara sepertiga yang lain adalah APL yang mungkin memiliki hutan primer yang jauh lebih sedikit. Jika moratorium berlaku untuk izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, maka semua pihak harus jelas benar dengan apa yang dimaksud dengan hutan primer. Oleh karena itu definisi hutan primer harus ditetapkan dengan kriteria tertentu. Jika definisi hutan primer ditetapkan, maka definisi hutan sekunder pun harus ditetapkan. Definisi tersebut selanjutnya harus memiliki ketetapan hukum sehingga implikasi hukumya pun jelas.

Tidak seperti peraturan yang lebih tinggi (PP, UU), di dalam Inpres definisi atau pengertian tidak lazim dicantumkan. Boleh jadi selain hutan-hutan yang berada diperbaiki di daerah bergunung dan sulit dijangkau, semua hutan alam di Indonesia sudah masuk dalam kategori sekunder.

Di dalam Inpres juga disebut dan dilampirkan Peta Indikatif Penangguhan Izin yang diharapkan akan menjadi acuan bagi pelaksanaan Inpres tersebut. Peta ini sangat kasar dan berskala 1:19,000,000 sehingga diinstruksikan untuk diperbaiki setiap enam bulan. Dari peta yang memiliki resolusi kasar terlihat bahwa porsi kawasan yang dimoratorium memang sangat kecil. Apalagi jika resolusinya diperbaiki, sangat mungkin areal tsb menjadi lebih kecil lagi, sehingga Efektivitas mortatorium perlu dipertanyakan dan dicermati secara kritis.

Pengecualian

  1. Daftar panjang kegiatan yang mendapat pengecualian seperti tercantum dalam Diktum Kedua cukup mengkhawatirkan dari segi pencapaian target pengurangan emisi.
  2. Pengecualian untuk permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan memberi peluang besar bagi pemegang izin untuk segera bergegas melaksanakan hak tersebut terlepas dari apakah lahannya memiliki hutan primer atau gambut. Dalam dua tahun mendatang laju deforestasi akan semakin cepat dan emisi GRK akan makin tinggi.
  3. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah  ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku akan meneruskan proses penghancuran hutan alam Indonesia, baik yang sudah direncanakan untuk dikonversi maupun yang seharusnya dilindungi. Makin jelas bahwa laju deforestasi dan degradasi serta emisi GRK akan mendapat akselerasi.
  4. Tidak adanya klausul yang mengatur kemungkinan dilakukannya pertukaran (swap) lahan membuat legalitas moratorium juga melegalkan proses deforestasi dan degradasi hutan, sehingga target pengurangan emisi patut dipertanyakan. Kemauan politik menunjukkan gejala-gejala kemunduran digantikan ekonomi politik hutan dan deforestasi.
  5. Dengan pertimbangan keamanan energi dan pangan, berbagai kegiatan vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan serta lahan untuk padi dan tebu juga dikecualikan.  Jika ketenagalistrikan diartikan tidak hanya sebagai jaringan listrik tegangan tinggi tetapi juga meliputi tambang batubara dan mineral lain secara terbuka, maka sekali lagi, moratotrium izin baru ini justru mengecualikan dan membiarkan kegiatan yang merusak. Aturan tambahan agaknya menjadi semakin mendesak untuk mendampingi Inpres ini. Transparansi di depan publik perlu didorong dan dijunjung tinggi agar tidak ada kebijakan yang luput dari partisipasi masyarakat.
  6. Hanya pengecualian terhadap  restorasi ekosistem yang memiliki prospek yang baik dalam kaitannya dengan pengurangan emisi dan perbaikan jasa lingkungan. Namun demikian jumlah kegiatan dan areal yang diliput dalam kegiatan ini relatif kecil.

Penutup

Menteri Kehutanan yang sudah terbiasa bekerja secara sektoral akan menjumpai kesulitan dan tekanan yang besar ketika tanggungjawab koordinasi lintas-sektoral ini diletakkan di atas pundaknya. Begitu juga koordinasi dengan pemerintah di daerah. Budaya kerja sektoral dan paradigma mengenai hutan sebagai sumberdaya alam akan menghadapi tantangan besar yang terkait dengan keterbukaan/transparansi kepada publik.

Sebaliknya lembaga yang dirancang secara khusus untuk mengimplemtasikan REDD+ justru memiliki peran yang kecil (Diktum Ketujuh). Di penghujung moratorium lembaga ini mungkin belum akan efektif menjalankan fungsinya yang seharusnya independen. Jika pengurangan emisi menghadapi tantangan besar, maka yang tersisa untuk Inpres ini  adalah perbaikan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Tetapi jika yang dikelola adalah lahan yang semakin sempit, dengan potensi pengurangan emisi yang rendah, maka patut dipertanyakan apakah lembaga ini juga efektif.

[1] Pandangan pribadi

[2] Guru Besar IPB, Peneliti Senior CIFOR, dan mantan National Focal Point UNFCCC

*makalah Daniel Murdiyarso di acara Diskusi Bulanan "Pembangunan Berkelanjutan Ekonomi", Jakarta 26 Mei 2011

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.