Penghargaan Achmad Bakrie 2012

Tahun 2012 adalah tahun ke-10 Freedom Institute memberikan  Penghargaan Achmad Bakrie (PAB), bertepatan pula dengan ulang tahun ke-70 Kelompok Usaha Bakrie (KUB) yang sejak awal mendukung penuh pemberian penghargaan ini.

PAB yang selalu diserahkan di sekitar Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus ini, mengutip  Ignas Kleden (penerima pertama PAB untuk pemikiran sosial), “merupakan pengakuan bahwa pemikiran layak menjadi suatu bentuk kegiatan manusia, dan pantas menjadi pilihan keaktifan dan keterlibatan seorang Indonesia. Penghargaan ini merupakan tonggak baru dalam kebiasaan kebudayaan kita, dan tahapan penting dalam perkembangan persepsi masyarakat kita.”

Meneruskan tradisi penghargaan dan perayaan atas sumbangan pemikiran putra-putri terbaik Indonesia, Freedom Institute memberikan Penghargaan Achmad Bakrie tahun ini kepada:

1. Tjia May On, untuk Sains

(Lahir di Probolinggo, 25 Desember 1934)

Tjia May On adalah bagian dari generasi pertama Indonesia yang mendalami fisika partikel elementer, yang telah mengubah pandangan dunia tentang interaksi antarmateri alam semesta dan asal-usulnya. Ia sempat ikut riset di The International Center for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan peraih Nobel, Abdus Salam. Renungan Tjia atas kondisi obyektif Indonesia saat itu, membuatnya meninggalkan fisika partikel elementer  yang memang bergengsi dan menuntut modal besar namun masih cukup jauh manfaat praktisnya. Ia lalu menekuni riset di ranah material fungsional dan berbagai aspeknya sekaligus, yang melambungkan namanya di kancah antarbangsa. Prestasi intelektualnya ia manfaatkan untuk membangun generasi peneliti yang sangat diperhitungkan di Indonesia

2. Wiratman Wangsadinata, untuk Teknologi

(Lahir di Jakarta, 25 Februari 1935)

Gubernur legendaris Ali Sadikin menyebut Wiratman Wangsadinata sebagai “motor penggerak pembangunan Jakarta”. Kontribusi besar Wiratman tentu saja tak terbatas hanya di ibukota. Di samping  yang tegak menjulang, ia juga menggarap struktur yang melata di permukaan dan yang terhujam ke bumi dan dasar laut, tersebar di berbagai penjuru negeri. Rekayasa yang dikembangkan, dengan inovasi  rumus dan struktur, juga inovasi perencanaan dan pelaksanaan, mampu menjawab sejumlah problem yang bukan hanya milik Indonesia. Jasanya tak terhapuskan di ranah  rekayasa beton, gempa, gedung tinggi, dan jembatan. Terobosannya  yang jitu melampaui wilayah kerekayasaan,  mendorong nilai tambah di berbagai sisi.

3. M. Dawam Rahardjo, untuk Pemikiran Sosial

(Lahir di Solo, 20 April 1942)

M. Dawam Rahardjo adalah cendekiawan yang memiliki perhatian sangat luas terhadap ilmu-ilmu sosial. Meski latar belakangnya ilmu ekonomi, ia juga menulis tentang filsafat, agama, politik, dan sastra. Sikap yang tegas terhadap isu-isu kebebasan adalah karakter pemikiran Dawam. Tanpa henti ia membela hak-hak minoritas, mengecam kelompok-kelompok agama yang menggunakan kekerasan, sambil mengkritik pemerintah yang kurang sigap melindungi kaum yang tersudut. Dawam juga menyerukan pentingnya kebebasan berpikir sebagai sarana mencapai kemajuan suatu bangsa. Baginya, kreativitas dan inovasi manusia tak akan terwujud tanpa adanya kebebasan berpikir.

4. Sultana MH Faradz, untuk Kedokteran

(Lahir di Purbalingga, 2 Februari 1952)

Sultana MH Faradz menonjol sebagai salah seorang pakar Indonesia yang mendalami dan mengembangkan genetika untuk menghadapi sejumlah problem besar yang mempengaruhi mutu kesehatan, pendidikan, dan layanan masyarakat sebuah bangsa. Sumbangan ilmiahnya yang paling menonjol adalah pemahaman aspek seluler dan molekuler dari kelambanan intelektual dan kerancuan kelamin, beserta pewarisan genetis dan penanganannya. Sumbangannya tak terbatas pada kajian laboratorium tapi meluas sampai ke pembangunan institusi. Lewat kerjasama internasional yang dibangunnya, Sultana memprakarsai berdirinya program Magister of Genetic Counseling  yang pertama di Asia Tenggara. Program ini telah menghasilkan para konselor genetik dari beberapa daerah di Indonesia.

5. Seno Gumira Ajidarma, untuk Kesusastraan

(Lahir di Boston, AS, 19 Juni 1958)

Seno Gumira Ajidarma menggunakan logika dongeng untuk menyatakan aneka masalah Indonesia mutakhir. Merapikan pengaruh avantgardisme, ia mencapai kelancaran bercerita dengan bahasa yang tertib dan transparan. Berbagai cerita pendeknya berwarna politik justru dengan membubuhkan efek pengasingan kepada peristiwa yang sudah dikenali pembaca. Selama tiga dekade, ia membuktikan bahwa sastra jadi bernilai sastra dengan mengaduk kutipan dan bentuk dari berbagai subkultur, termasuk budaya massa. Sambil bersikap main-main, sastra Seno Gumira Ajidarma bekerja secara persuasif mempersoalkan cara kita menggambarkan realitas.

6. Yogi Ahmad Erlangga, untuk Ilmuwan Muda Berprestasi

(Lahir di Tasikmalaya, 8 Oktober 1974)

“Persamaan Helmholtz” adalah persamaan krusial yang dulunya sulit diatasi oleh komputer. Perusahaan-perusahaan minyak harus menghitung rumus Helmholtz bahkan hingga ribuan kali, hanya untuk survei  di satu daerah. Yogi membuka jalan untuk mengubah persamaan Helmholtz ini menjadi persamaan linear aljabar biasa, yang  lalu bisa dipecahkan dengan metode iterasi. Ini memungkinkan komputer menyelesaikan Persamaan Helmholtz itu lebih efisien. Metode Yogi itu juga dipakai untuk teknologi Blu-Ray, yang membuat keping itu bisa memuat data komputer dalam jumlah yang jauh lebih besar. Metode Yogi dapat diterapkan dalam sejumlah bidang, termasuk juga dalam mempermudah kerja radar di dunia penerbangan.

Untuk prestasi, ketekunan, dan sumbangan mereka yang luar biasa di bidang masing-masing, Freedom Institute dengan hormat memberi para tokoh dan ilmuwan tersebut Penghargaan Achmad Bakrie 2012.

Penghargaan berupa trofi, piagam, dan uang sebesar Rp 250.000.000 bagi masing-masing penerima akan diserahkan pada acara Malam Penghargaan Achmad Bakrie, Minggu, 12 Agustus 2012, di XXI Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, pukul 18.00-22.00.

Adapun tentang penolakan atau pengembalian Penghargaan Achmad Bakrie, Freedom Institute perlu menegaskan kembali bahwa:

  • Penghargaan Achmad Bakrie diberikan karena mutu karya dan dedikasi seseorang yang istimewa di bidangnya.
  • Penolakan atau pengembalian Penghargaan Achmad Bakrie tidak menurunkan penilaian juri atas mutu karya dan dedikasi individu yang telah terpilih.
  • Karena penilaian atas mutu karya dan dedikasi tidak berubah, maka tak ada alasan bagi Freedom Institute untuk membatalkan atau mengalihkan pemberian Penghargaan Achmad Bakrie yang sudah diputuskan.
  • Dalam surat balasannya ke Freedom Institute pada tanggal 18 Juni 2012, Sdr Seno Gumira Ajidarma menyampaikan agar Penghargaan Achmad Bakrie 2012 untuk Kesusastraan yang jatuh pada dirinya “sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap layak,” karena Sdr Seno Gumira Ajidarma tidak dapat menerimanya. Tentu saja ada sastrawan yang layak menerima Penghargaan Achmad Bakrie, tapi tidak untuk tahun 2012 ini.
  • Dari semua sastrawan yang masih hidup dan menulis dalam Bahasa Indonesia, dewan juri Penghargaan Achmad Bakrie menganggap bahwa untuk tahun 2012 ini, sastrawan yang karya dan dedikasinya paling layak mendapat penghargaan adalah Seno Gumira Ajidarma.
  • Bagi Freedom Institute, tahun 2012 ini, untuk bidang kesusastraan, adalah tahun Seno Gumira Ajidarma. Begitu juga, untuk sains, tahun 2012 ini adalah tahun Tjia May On; untuk teknologi, tahun Wiratman Wangsadinata; untuk Pemikiran sosial, tahun M Dawam Rahardjo; untuk kedokteran, tahun Sultana MH Faradz; dan untuk ilmuwan muda berprestasi, tahun Yogi Ahmad Erlangga.

 

Dirgahayu Indonesia.

 

Terima kasih.

Jakarta, 7 Agustus 2012

Rizal Mallarangeng

Direktur Eksekutif Freedom Institute

 

Kontak untuk keterangan tambahan lain-lain tentang penjurian

Nirwan A. Arsuka (Juru Bicara Dewan Juri) 08159254275

Buku program Penghargaan Achmad Bakrie 2012

Surat balasan Seno Gumira Ajidarma

Foto-foto penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2012

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles