Pelatihan Wartawan ke X -Sesi I "Ideologi, Konstituten, dan Program Parpol"

Dalam sesi ini, Dodi mengajukan beberapa pertanyaan dasar yang  jawabannya merupakan pokok uraian yang ia sampaikan: Apa yang dikejar  oleh partai? Apa kepentingan yang diperjuangkan kandidat dan partai? Apa  pertentangan yang mendasari persaingan partai? Apakah kelas,  kecenderungan keagamaan (religius-sekular), atau kedaerahan  (pusat-daerah atau nasional-lokal)? Apakah memang ideologi partai  memainkan peran yang penting dalam persaingan partai? Bagaimana  persaingan partai terjadi di arena pemilihan, legislatif, dan  pemerintahan (eksekutif)?

Menurut Dodi, jika melihat sejarah, persaingan yang paling menonjol  sejak awal pemilu diadakan adalah persaingan keagamaan. Sejak setelah  kemerdekaan, ketika pemilu pertama digelar, partai-partai politik banyak  memanfaatkan perpecahan keagamaan. Perpecahan keagamaan ini biasanya  diterjemahkan ke dalam dua kategori: religius vs. sekular. Kalangan  religius biasanya dihubungkan dengan kalangan Islam, sedangkan kalangan  sekular biasanya dikaitkan dengan kelompok nasionalis dan/atau abangan.

Dari sini, Dodi kemudian menguraikan pandangan yang umum diterima di  berbagai negara yang demokratis adalah bahwa pemilu yang bebas dengan  lebih dari satu peserta merupakan indikasi utama dari sebuah sistem  kepartaian yang kompetitif.

Di Indonesia, paling tidak ada 3 fenomena yang sangat mencolok dalam  pola persaingan dan kerjasama partai. Dan hal ini terlihat jelas dalam  pengamatan empiris. Pertama, politik kepartaian di Indonesia  memperlihatkan munculnya persaingan sekaligus kerjasama partai.  Menjelang digelarnya pemilu 1999, kita dapat dengan mudah memperlihatkan  bahwa politik elektoral memperlihatkan suatu persaingan nyata di antara  partai-partai politik. Semua partai politik memiliki kebebasan untuk  menegaskan warna ideologis mereka; dan para pemilih tidak lagi  diintimidasi dalam memilih partai pilihan mereka. Penegasan ideologis  menjadi norma dari politik elektoral dalam suatu usaha untuk mendapatkan  suara. Masing-masing partai mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah  partai Islam atau partai sekular. Meskipun demikian, ketika menyangkut  proses pembentukan pemerintahan, persaingan politik tersebut seperti  berhenti. Perbedaan-perbedaan ideologis di antara berbagai partai tampak  sebagai non-faktor dalam proses pembentukan pemerintahan tersebut.  Dengan mengambil nama Persatuan Nasional, kabinet yang kemudian  terbentuk tersusun dari semua partai di DPR yang mencakup partai Islam  dan sekular.

Pengamatan kedua pada pemilu 2004 memperlihatkan suatu pola yang serupa.  Partai-partai politik dengan berbagai pandangan politik bersaing keras  dalam pemilu legislatif dan presiden. Ketika pemilu itu berakhir,  partai-partai politik tersebut seperti membuang watak-bersaing mereka,  dan umumnya mengabaikan hasil-hasil pemilu, untuk membentuk sebuah  pemerintahan yang mencakup semua pihak. Dengan mengambil nama yang  serupa, Kabinet Persatuan Indonesia, partai-partai Islam dan sekular  bergabung ke dalam kabinet tersebut. Sekali lagi, ideologi partai tampak  sebagai non-faktor dalam pembentukan kabinet tersebut, dan akibatnya  tidak ada partai-partai oposisi di panggung politik.

Pengamatan berikutnya, pengamatan ketiga, semakin memperbesar keanehan  sistem kepartaian Indonesia. Memasuki pemilu 2004, dua partai Islam, PPP  dan PBB, bergerak semakin ke kanan. Mereka menjadi lebih konservatif,  dan memperlihatkan tingkat Islamisme yang lebih tinggi, serta mendorong  dimasukkannya syariah atau hukum Islam dalam konstitusi. Mereka  membedakan diri dari partai-partai yang lain. Akibatnya, jarak ideologis  antara partai-partai Islam dan sekular semakin meluas. Terlepas dari  kenyataan ini, partai-partai sekular merangkul mereka dalam koalisi  untuk pemilu presiden, mengakomodasi mereka dalam kabinet, dan mengajak  mereka dalam sebuah kaukus parlementer seolah-olah tidak ada perbedaan  ideologis antara partai-partai Islam dan sekular tersebut.

Ketiga pengamatan ini kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan  lanjutan yang menarik dicermati: Mengapa partai-partai tersebut  memperlihatkan perilaku yang kontradiktif? Apa watak sistem kepartaian  yang mereka hasilkan? Apakah sistem ini lebih dicirikan oleh kompetisi  atau kolusi partai?

Dalam uraiannya kemudian, Dodi menyatakan bahwa partai-partai politik  Indonesia telah membentuk suatu sistem kepartaian yang terkartelisasi  sejak berjalannya kembali demokrasi pada 1999. Temuan-temuan dari studi  yang ia lakukan memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang  terkartelisasi tersebut mengandung lima ciri utama: (1) menghilangnya  peran ideologi partai dalam menentukan perilaku koalisi partai; (2)  ketidakpastian dalam membentuk koalisi; (3) tidak adanya partai-partai  oposisi; (4) efek minimal dari hasil-hasil pemilu; dan (5) kecenderungan  yang kuat dari berbagai partai untuk bertindak sebagai sebuah kelompok.  Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, tidak memperlihatkan ciri-ciri  yang umumnya menggambarkan sebuah sistem kepartaian yang kompetitif.

Apa yang menyebabkan kartelisasi tersebut? Dodi menyatakan bahwa  kebutuhan partai-partai untuk menjaga keberlangsungan hidup kolektif  mereka menyebabkan mereka membentuk sebuah kartel. Dengan demikian,  keberlangsungan hidup mereka didefinisikan oleh kebutuhan kolektif  mereka untuk menjaga sumber-sumber keuangan mereka yang terutama berasal  dari pemerintah. Pada titik ini, Dodi memperlihatkan jenis  sumber-sumber keuangan partai tersebut. Sumber itu bukan uang pemerintah  yang secara resmi dialokasikan untuk partai-partai politik. Namun  sumber itu adalah uang pemerintah yang didapatkan partai-partai tersebut  melalui aktivitas-aktivitas perburuan-rente (rent-seeking). Hal ini  dimungkinkan hanya jika mereka memiliki akses dalam jabatan-jabatan  pemerintahan dan parlemen. Lebih khusus, jabatan-jabatan kabinet dan  pemimpin parlemen di tingkat komisi sangat penting bagi partai-partai  tersebut.

Begitu partai-partai itu terlibat dalam jenis aktivitas rente ini,  mereka mematok nasib mereka bersama sebagai sebuah kelompok. Nasib  politik dan ekonomi mereka terikat bersama dan keberlangsungan hidup  mereka bergantung pada terpeliharanya kartel itu. Dalam situasi seperti  ini, partai-partai tersebut melihat jabatan-jabatan kabinet dan parlemen  terutama sebagai gerbang untuk menjalankan aktivitas-aktivitas rente,  bukan untuk mencapai kepentingan ideologis dan programatis partai-partai  itu.

Pertanyaan dan Tanggapan:

1.    [Didi‚ Jakarta Post] Apa yang konsisten dalam perilaku partai  Indonesia adalah pragmatisme. Tapi bagaimana kehidupan partai di negara  lain? Amerika misalnya, apakah ada pragmatisme partai politik? 

Jawaban:
- Pragmatisme politik terjadi di mana-mana.
- Tapi pragmatisme yang terjadi di Indonesia lebih sempit. Semua perilaku partai ditujukan untuk mendapatkan kursi.
- Cara yang dipakai oleh partai politik di Indonesia untuk mencapai  kursi itu, terutama di arena pemerintahan dan legislatif, sangat sempit  dan mengabaikan ideologi partai yang sebelumnya digembar-gemborkan dalam  persaingan pemilu.

2.    [Wendi‚ Kabar Indonesia.com] Golkar bergeser dari kiri ke pro  pasar. Demikian juga PDIP dan Demokrat. Apakah ini bukan cermin dari  keadaan kita yang sangat tergantung pada badan-badan luar negeri (WTO,  IMF, dll)?

Jawaban:
- Kita tidak bisa semata-mata berfokus pada zaman Mega. IMF sudah masuk ke Indonesia sejak zaman Habibie.
- Modal asing memang merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan.
- Kita kurang bisa memiliki posisi tawar. Tidak seperti misalnya Cina  yang berani menentang Amerika. Kita memang terikat pada modal asing. Dan  ini harus dicari solusinya. Kita harus mencari ruang gerak, dan setiap  pemimpin akan berbeda dalam melihat ruang gerak itu.

3.    [Kuswanto‚ Viva News] Apa yang ditargetkan PKS dalam bergerak ke  tengah? Bagaimana cara kerja pKS dalam melakukan perubahan ideologi?

Jawaban:
- PKS memiliki ambisi untuk menjadi partai utama negeri ini. Dan partai  ini sangat jeli membaca fenomena empiris. Dan untuk  menjadi partai  besar, partai ini sadar bahwa ia tidak boleh terus berada di ceruk kiri.  Ia harus bergerak ke tengah di mana konstituennya lebih besar.
- Sejarah membuktikan bahwa tidak pernah ada partai Islam yang  berada  di puncak. Partai yang di puncak selalu partai nasionalis.

4.    [Rama‚ SCTV] Dari apa yang diuraikan, terlihat bahwa ideologi  partai sudah tidak jelas. Dari fenomena itu, partai mana yang  diuntungkan, dan partai mana yang dirugikan?

Jawaban:
-    Benar bahwa ideologi tidak lagi penting ketika partai membentuk  koalisi. Tapi yang nanti menentukan adalah persepsi publik. Publik yang  menentukan mana politik yang akan dipilih dan tidak dpilih. Dan pilihan  publik ini didasarkan pada situasi konkret yang mereka hadapi. Partai  yang bisa menanggapi keinginan publiklah yang diuntungkan.
-    Pola persepsi publik terbagi dua: mereka yang menganggap  program-program ekonomi pemerintah baik dan cukup menolong mereka. Dan  yang sebaliknya. Jika yang pertama yang meningkat, maka yang diuntungkan  tentu SBY, Partai Demokrat.

5.    Melihat semua fenomena di atas, yakni pergeseran platform, potensi Golput sendiri bagaimana?

Jawaban:
-    Melihat data aktual tahun 2004, 17 % untuk pemilu legislatif, 10% untuk pemilu presiden.
-    Ketika kita survei dengan IRI pada Januari 2009, 90% pemilih ingin  berpartisipasi dalam pemilu. Tapi ini hanya keinginan, dan data kita  hanya bisa mengukur keinginan. Dan keinginan belum pasti terwujud.

video youtube

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.