Roti sebagai Senjata

Photo by Tech Daily on Unsplash

“KEKUASAAN,” kata E. H. Carr, “adalah satu dan tak-terbagi” (1946: 132). Kekuasaan ekonomi dan kekuatan militer hanya merupakan dua pengejawantahan yang berbeda dari hal yang sama: mereka adalah elemen-elemen dari kekuasaan politik. Roti dan peluru melayani tujuan yang sama, yakni—dalam rumusan Dahlian—membuat negara-negara lain melakukan satu hal yang jika tidak demikian tidak akan mereka lakukan.

Penerapan kekuasaan ekonomi sebagai sebuah instrumen politik pada dasarnya dapat dilakukan dalam bentuk ganjaran dan hukuman. Dalam hal ganjaran, kekuasaan ekonomi dijalankan misalnya dengan memberikan bantuan luar negeri atau bantuan keuangan bagi negara tertentu. Marshall Plan merupakan sebuah contoh yang berhasil. Dalam hal hukuman, kekuasaan ekonomi dapat dijalankan dengan melancarkan embargo perdagangan atau sanksi ekonomi. Dalam hal ini, negara yang menjadi sasaran hukuman diasingkan dari wilayah perdagangan tertentu, atau dari perdagangan dunia pada umumnya.

Penerapan kekuasaan ekonomi, dalam bentuk sanksi, lebih sering dijalankan dibanding penerapan kekuatan militer sejak 1945 (Pollins 1990). Negara-negara besar cenderung menggunakan cara-cara ekonomi dalam memecahkan berbagai perselisihan dan dalam menjalankan pengaruhnya. Kecenderungan ini menarik, karena keefektivan kekuatan ekonomi masih dipertanyakan. Roti semakin sering dipakai sebagai sarana, namun pada saat yang sama pengaruhnya dalam mencapai suatu tujuan kebijakan luar negeri tidak begitu meyakinkan.

Tentu saja penerapan kekuasaan ekonomi tidak bisa selalu dilihat dari perspektif utilitarian. Sebagaimana yang dikemukakan Baldwin (1985), sanksi ekonomi pada dasarnya merupakan suatu tindakan simbolik. Menjalankan kekuasaan ekonomi berarti memperlihatkan kekuatan, kehendak politik, dan keberanian negara tertentu. Di sini hukuman dilihat sebagai suatu pengasingan simbolik: sebuah negara yang diasingkan dari komunitas dunia dianggap sebagai negara yang rendah oleh banyak negara lain. Keefektivannya dengan demikian tidak dapat diukur hanya dengan semata-mata melihat apakah negara yang menjadi sasaran secara langsung mengubah kebijakankebijakannya.

Namun, pertanyaan tentang keefektivan dalam pengertian utilitarian tidak dapat dihindari. Meskipun Hufbauer dan Schott (1980) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa contoh di mana sanksi tersebut berhasil,62 kita masih harus melihat penjelasan yang lebih meyakinkan bahwa penerapan kekuasaan ekonomi ini merupakan suatu sarana yang efektif untuk membuat sebuah negara melakukan suatu hal yang jika tidak ada sanksi tersebut tidak akan ia lakukan.

Dengan munculnya perekonomian global, persoalan tentang keefektifan sanksi ini semakin menjadi problematis. Kekuatan ekonomi sekarang ini lebih tersebar. Banyak pemain (negara dan non-negara) kini muncul dalam perekonomian dunia. Faktor-faktor produksi dunia (yakni modal dan teknologi), misalnya, tidak dikendalikan hanya oleh dua atau tiga negara. Pada saat yang sama, pasar semakin meluas: Asia Timur dan Tenggara, termasuk Cina, sekarang ini bergabung dengan Eropa Barat dan Amerika Utara dalam menyediakan pasar yang sangat besar bagi berbagai jenis barang.

Dalam keadaan seperti itu, sanksi ekonomi yang dibebankan oleh negara A pada negara B tidak akan banyak berguna: negara yang menjadi sasaran tersebut bisa memperoleh investor dan produsen dari negara C dan D. Sanksi tersebut hanya bisa berhasil jika negara A sepenuhnya mengontrol berbagai jenis barang (misalnya minyak dan peralatan-peralatan berteknologi tinggi) yang sangat diperlukan oleh negara B. Namun sekarang ini, apakah memang ada sebuah negara yang sepenuhnya mengontrol berbagai jenis barang tersebut? Apakah ada suatu jenis barang yang tidak dapat digantikan oleh sesuatu yang lain, suatu barang yang tanpanya sebuah negara akan mengalami gejolak dan penderitaan besar?

Tersebar luasnya aset-aset dan investasi-investasi ekonomi semakin memperumit persoalan ini. Memberlakukan sanksi terhadap Haiti memang mudah—Haiti adalah negara yang relatif kecil dan miskin. Namun bagaimana dengan Hong Kong? Malaysia? Korea Selatan? Singapura? Menjatuhkan sanksi pada salah satu negara ini berarti membunuh bisnis banyak perusahaan besar dari berbagai penjuru dunia yang beroperasi di sana. Dengan kata lain, pertaruhannya terlalu besar. Selain itu, sangat tidak mungkin bahwa bisnis-bisnis besar ini tidak akan berusaha melakukan sesuatu demi untuk melindungi aset, investasi, dan pasar mereka: mereka tidak mungkin begitu saja meninggalkan negara itu, dan apa yang sangat mungkin mereka lakukan adalah memastikan bahwa sanksi tersebut tidak akan dijatuhkan.

Selain berbagai persoalan ini, kita juga dihadapkan pada dilema moral yang sangat sulit. Ambil contoh Cina. Cina sekarang ini memiliki perekonomian yang paling cepat berkembang di dunia. Secara ekonomi, ia merupakan satu-satunya negara yang berhasil berpindah dari sosialisme ke kapitalisme. Jika keberhasilan ini berlanjut sepuluh tahun berikutnya, kelas menengahnya akan memiliki basis yang kuat untuk membangun sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Nah, jika kemudian di Cina terjadi Tiananmen Bagian II, apakah kita harus menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara ini, suatu hal yang sangat mungkin akan mengancam keberhasilan ekonomi yang diperoleh dalam dua dekade terakhir? Menghalangi perluasan pasar yang baru muncul berarti menghancurkan benih-benih demokrasi: apakah kita ingin Cina kembali lagi ke masa lalunya, kini dengan 1,2 miliar orang?

Jadi, meskipun penggunaan kekuatan ekonomi menjadi semakin problematis, mengapa negara-negara besar masih saja bersandar pada kekuatan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mungkin harus ke luar dari masalah keefektivan. Kekuatan militer dilihat sebagai sesuatu yang sangat mahal dan sangat berbahaya untuk dijalankan di zaman nuklir ini (Baldwin 1985). Kekuatan ekonomi mungkin kurang efektif, namun kekuatan militer terlalu berbahaya. Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Richard Rosencrance (1986), dengan keadaan perekonomian dunia yang semakin saling bergantung satu sama lain, sebuah negara bisa sangat kuat dan berpengaruh di panggung dunia dengan hanya menggunakan sarana-sarana ekonomi. Bagi Rosencrance, sebuah dunia yang saling bergantung juga merupakan sebuah dunia yang sangat kompetitif— membiayai penggunaan kekuatan militer bukan merupakan investasi yang baik jika ingin berhasil dalam kompetisi ini.

Terakhir, TV menguburkan harapan untuk tidak bergantung pada kekuatan ekonomi sebagai satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan. Hingga tahun-tahun pertama abad ke-20, “darah”, “penghancuran”, dan “korban peperangan” hanya merupakan rumusan abstrak tentang penderitaan manusia dalam kepala sebagian besar orang. Namun sejak Vietnam, TV mengubah abstraksi penderitaan manusia ini menjadi realitas. Dari kamar mereka, orang-orang kini melihat dengan mata sendiri betapa mengerikan dan menjijikkan kehancuran yang disebabkan oleh kekuatan militer.

Dengan demikian penggunaan kekuatan militer dalam keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang kurang sah. Menjadi semakin jelas bahwa masyarakat tidak akan pernah membiarkan para politisi negeri mereka untuk menjalankan kekuatan militer tanpa pertaruhan modal politik yang sangat besar. Karena itu, kekuatan ekonomi menjadi pilihan yang lebih mudah: dampaknya kurang dramatis untuk ditangkap kamera TV.

Rujukan:

  1. Baldwin, David A. (1985), Economic Statecraft, Princeton University Press.
  2. Carr, E. H. (1946), The Twenty Years of Crisis, 1919-1939, Macmillan.
  3. Pollins, Brian M. (1990), Cannon and Capital, Draft.
  4. Rosencrance, Richard (1986), The Rise of the Trading States, Basic Books.
  5. Hufbauer, Gary C., and Jeffrey Scott (1985), Economic Sanctions Reconsidered, Institute for International Economics.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.