Perang Irak dan Dunia Hobbesian Amerika

Kenapa Amerika bersikukuh menggelar perang Irak sedangkan Prancis menentangnya? Jalan militer untuk melucuti senjata pemusnah massal rezim Saddam Hussein ditentang di seluruh bumi. PBB tidak memberi restu. Tapi Amerika maju terus. Dan kenapa Prancis, Jerman, dan sejumlah negara Uni Eropa, yang sejak dulu menjadi sohib karib Amerika dan sama-sama menjadi ahli waris yang sah dari Pencerahan, yang memuja kebebasan, otonomi individu, dan demokrasi, keras sekali menentang perang?

Kenapa Amerika bersikukuh menggelar perang Irak sedangkan Prancis menentangnya? Jalan militer untuk melucuti senjata pemusnah massal rezim Saddam Hussein ditentang di seluruh bumi. PBB tidak memberi restu. Tapi Amerika maju terus. Dan kenapa Prancis, Jerman, dan sejumlah negara Uni Eropa, yang sejak dulu menjadi sohib karib Amerika dan sama-sama menjadi ahli waris yang sah dari Pencerahan, yang memuja kebebasan, otonomi individu, dan demokrasi, keras sekali menentang perang?

Tampaknya pertentangan antara Amerika dan Eropa Daratan dalam soal Irak bukan hanya sebatas pertentangan antara perang dan damai, tapi lebih dalam dari itu. Robert Kagan, pakar hubungan internasional dari Amerika, dalam bukunya Of Paradise and Power (2003), menelaah pertentangan ini secara memikat, meskipun dengan kesimpulan yang terlalu membela Amerika.

Menurut Kagan, saat ini antara Amerika dan Eropa terdapat perbedaan yang menajam dalam cara melihat dunia, sehingga mereka berseberangan juga dalam menentukan prioritas nasional, melihat ancaman, serta mendefinisikan kebijakan pertahanan dan luar negeri. Dalam bahasa Kagan, Eropa sekarang hidup dalam “dunia surga Kantian”, sedangkan Amerika menghuni “jagat kuasa Hobbesian”.

Dunia surga Kantian di sini mengacu pada konsep perpetual peace yang ditulis oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18. Konsep ini menegaskan bahwa, untuk mencapai perdamaian yang langgeng dalam tatanan internasional, perlu dibentuk suatu foedus pacificum, yaitu kesatuan atau federasi perdamaian yang disepakati oleh negara-negara yang sudah menerima tatanan republikan yang menghargai otonomi moral, individualisme, dan tertib sosial.

Sedangkan jagat kuasa Hobbesian merujuk pada pandangan Thomas Hobbes, filsuf Inggris abad ke-17, tentang keadaan alamiah (state of nature) manusia yang ditandai dengan anarki, yakni situasi perang semua lawan semua. Hobbes melukiskan situasi tersebut sebagai kehidupan yang solitary, brutish, poor, nasty, and short. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkanlah semacam Leviathan, yakni suatu kekuasaan dengan kedaulatan mutlak dan punya kekuatan memaksa untuk menghindari anarki dan menjaga kehidupan agar tidak lagi “kotor, brutal, dan singkat”.

Eropa Daratan memilih dunia surga Kantian karena mereka sudah kapok dengan dunia yang berdasar pada logika kekuatan dan machtpolitik, dunia yang pernah mereka alami berabad-abad, yang membawa mereka pada kediktatoran dan nasionalisme sempit dan berujung pada dua perang dunia yang justru membikin bonyok diri sendiri.

Sekarang Eropa sedang menikmati surga foedus pacificum. Mereka tidak lagi tertarik membengkakkan anggaran pertahanan dan militer. Mereka lebih mengandalkan jalan hukum internasional, aturan negosiasi, diplomasi, dan kerja sama transnasional dalam penyelesaian problem dunia. Wajar kalau dalam kasus Irak mereka menyerukan opsi penyelesaian damai dan cara multilateralisme.

Sedangkan Amerika, yang pasca-Perang Dunia II menjadi sang hegemon dan setelah ambruknya Soviet menjadi satu-satunya hyperpower, melihat dunia sebagai medan pertempuran antara yang baik dan yang jahat, mirip situasi anarki Hobbesian. Ada ungkapan, “Ketika Anda punya palu, maka semua akan tampak seperti paku.” Ketika Amerika punya kekuatan yang tak tertandingi, maka ia seperti punya palu yang melihat dunia seperti paku. Dalam dunia Hobbesian, Amerika adalah sang Leviathan, yang akan menyudahi anarki dengan paksaan dan kekuatan.

Dalam pandangan Kagan, posisi Amerika semacam itu wajar karena pada dasarnya pilihan antara jalan damai dan perang, Kantian atau Hobbesian, terkait dengan psikologi kuat-lemah. Pada abad ke-19, ketika kekuatan militer Amerika lemah, ia lebih condong ke Kantian, sedangkan Eropa yang kuat cenderung memandang dunia secara Hobbesian. Sekarang, ketika Amerika menguat secara militer dan Eropa melemah, posisi keduanya bertukar tempat juga.

Saya merasa terganggu dengan tesis semacam itu, bukan lantaran argumentasinya lemah, melainkan karena implikasinya mencemaskan. Apalagi bila itu diletakkan dalam konteks geopolitik setelah tragedi WTC, tempat terorisme global menghantui siapa pun. Kagan berkesimpulan, jalan damai dan multilateralisme adalah semata-mata ekspresi kelemahan. Kalau Anda kuat, Anda tidak perlu mempertimbangkan cara multilateral. Jalan pikiran ini sesuai dengan kebijakan pemerintahan Bush.

Amerika adalah satu-satunya kekuatan hyperpower yang tak tepermanai sekarang. Anggaran pertahanannya jauh lebih besar dari seluruh anggaran pertahanan negara Uni Eropa dijadikan satu. Menurut Newsweek terbaru, anggaran pertahanan Amerika tahun depan akan lebih besar dari anggaran pertahanan semua negara di dunia (191 negara) dijadikan satu. Kekuatan ekonominya mengalahkan Jepang, Jerman, dan Inggris dijadikan satu. Negeri yang berpopulasi lima persen dari seluruh penduduk dunia ini memiliki 43 persen produksi ekonomi dunia dan 50 persen produksi teknologi tinggi.

Dengan hyperpower-nya, Amerika praktis mampu melakukan apa saja secara unilateral dan maju sendirian. Ia tidak merasa perlu mendapat persetujuan atau mendengar usulan pihak lain. Amerika tidak merasa butuh pihak lain.

Dan ini sungguh suatu ironi karena, ketika tragedi 11 September terjadi, mayoritas warga dunia, kecuali Usamah bin Ladin dan kaum fundamentalis, menyatakan simpati dan solidaritas terhadap Amerika. Majalah Le Monde dari Prancis memuat pengumuman, “Kita semua adalah orang Amerika sekarang.” NATO menyatakan dukungan total terhadap Amerika. Seruan Amerika untuk “perang melawan terorisme global” disambut di mana-mana.

Dalam perang melawan terorisme, Anda tidak bisa mengabaikan pihak yang lemah, meskipun Anda superkuat. Bukan karena Anda tidak mampu melakukannya sendirian, melainkan karena, di saat terlalu kuat, Anda justru selalu menjadi target terorisme. Untuk itu, Anda perlu membangun dan memperluas jaringan trust di kalangan yang kuat dan yang lemah untuk mengucilkan teror.

Sayangnya, itu tidak dilakukan Bush. Bukannya memencilkan teror, ia malah mengisolasi Amerika dengan laku unilateralismenya. Tabungan simpati yang begitu besar terkuras habis karena kepedihan serangan WTC tidak menjadikan Bush rendah hati untuk merengkuh dan mendengarkan negara lain demi kepentingan bersama. Ia merasa mampu menertibkan anarki dunia sendirian. Seakan-akan dengan begitu Amerika berkata, “Aku Leviathan, maka aku ada.” Inilah yang sekarang terjadi ketika Bush menyerang Irak.

Yang lebih mencemaskan, Bush menyerang Irak dengan topangan keyakinan demi pembebasan, bukan penaklukan. Menurut Bush, “Kebebasan bagi rakyat Irak adalah alasan moral yang agung.” Penggulingan Saddam adalah awal bagi suatu kampanye yang akan “membawa demokrasi ke setiap pojok dunia”.

Dalam konteks Amerika, keyakinan seperti ini sebenarnya bukan milik Bush semata. Sejarah Amerika penuh dengan contoh-contoh senada. Sejak awal, citra diri yang dibangun oleh Amerika adalah bahwa ia merupakan manifestasi konkret dari ide kebebasan universal, yang menjadi model bagi realisasi kebebasan umat manusia di masa depan.

Simaklah Abraham Lincoln, misalnya, yang pernah berkata bahwa deklarasi kemerdekaan Amerika memberikan “kebebasan, bukan hanya untuk rakyat negeri ini, tapi juga harapan untuk dunia di masa depan”. Dan untuk mewujudkan hal tersebut, Lincoln pun tak segan-segan menggelar perang. Dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg ketika masa Perang Saudara, Lincoln menyerukan perang melawan kaum separatis dari Selatan karena mereka menolak prinsip kebebasan untuk para budak. Lincoln menyebutkan dua tujuan perangnya: membebaskan budak dan memastikan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak musnah dari muka bumi.

Hanya, pada masa Lincoln, perang demi pembebasan terjadi ketika Amerika belum menjadi sang hegemon. Perang itu pun diterima sebagai pembebasan sejati. Pada masa setelah Perang Dunia II, ketika Amerika mulai menjadi superpower, posisinya sebagai sang pembebas relatif diterima dan diharapkan dunia karena Presiden Amerika saat itu, Franklin D. Roosevelt dan Harry Truman, memilih tidak membangun imperium Amerika tetapi menciptakan dan memperkukuh institusi kerja sama internasional. Pada masa itu Amerika superkuat dan mengambil inisiatif multilateralisme

Kini, Bush mengkombinasi keyakinan Amerika sebagai sang pembebas dengan posisinya sebagai hyperpower yang tidak percaya yang lain. Yang kemudian muncul adalah absolutisme moral. Ini terjadi ketika sang Leviathan merasa berhak menentukan suatu moral clarity, yakni kejelasan moral tentang kekuatan baik dan jahat, tentang siapa yang membawa “kebebasan dari Tuhan” dan siapa yang berada dalam axis of evil. Amerika jelas yang pertama. Musuh pasti yang satunya.

Shakespeare berkata dalam Julius Caesar: “The abuse of greatness is when it disjoins remorse from power.” (Kebesaran diselewengkan manakala kekuasaan menceraikan diri dari rasa sesal.) Leviathan, yang hanya percaya pada kekuatannya sendiri karena ia merasa tak terlampaui, adalah kekuasaan yang menceraikan diri dari rasa sesal. Tatkala Leviathan seperti itu berkoar menyebarkan kebebasan dengan menggempur Irak, warga dunia sama sekali tidak menangkap sinyal datangnya kebebasan bagi rakyat Irak. Kesan yang mereka terima justru penampilan arogan sang Leviathan yang membuat dunia cemas. Unilateralisme Amerika adalah bentuk sikap tak acuh dan ketidakpercayaannya terhadap suara dunia. Akibatnya, suara dunia juga tidak percaya padanya.

Di sinilah kesalahan utama Bush. Ia melanggar pesan Thomas Jefferson agar Amerika senantiasa mempertimbangkan "a decent respect to the opinions of humankind".

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.