Aceh, Ujian Pertama dan Terakhir

Photo by Muhammad Yasir on Unsplash

DENGAN DISELENGGARAKANNYA rapat raksasa proreferendum di Banda Aceh yang berlangsung 8 November lalu, kini sikap se­bagian besar masyarakat di Negeri Rencong ini sudah semakin jelas. Mereka menuntut agar diberi hak untuk memutuskan apakah ingin terus bersama Indonesia atau membentuk negara sendiri yang merdeka dan berdaulat penuh.

Apakah tuntutan itu harus dipenuhi? Apakah sudah saat­nya sekarang ini bagi kita untuk mempertaruhkan keutuhan Indo­nesia dan menghadapi setiap kemungkinan yang menyer­tainya?

Kita harus berpikir matang dan mendalam untuk menjawabnya. Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa kita harus me­negaskan sejelas-jelasnya pada kaum proreferendum di Aceh bahwa keutuhan teritorial Indonesia sudah final. Sistem pe­merin­tahan, hubungan pusat-daerah (otonomi khusus, ne­gara federal, atau status quo) dan sebagainya bisa didis­kusi­kan bersama dengan beragam cara, tetapi semua ini harus tetap berada dalam sebuah sistem besar yang kita sebut Republik Indonesia.

***

Pendapat saya ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, hak atas referendum bukanlah bagian dari hak-hak asasi atauhak-hak demokrasi. Tuntutan kebebasan manusia berbeda secara mendasar dengan tuntutan pembentukan negara. Yang pertama adalah hak yang secara hakiki melekat pada manusia sebagai individu. Yang kedua adalah hak yang lebih bersifat konvensional, dan karena itu sangat bergantung pada konteks politik, sejarah, dan keseimbangan kekuatan di mana tuntutan itu dilontarkan.

Karena itu, agak keliru jika kita berkata bahwa pe­nyelenggaraan referendum di Aceh adalah manifestasi dari hak-hak asasi warga masyarakat di sana. Setiap warga Aceh, sebagaimana juga warga lainnya, tentu saja berhak mendapatkan kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan persamaan di depan hukum, dan sebagainya. Tetapi, dari segi prinsipiil, pada setiap warganegara tidak melekat hak untuk membentuk negara sesuai dengan kehendak mereka sendiri.

Kalau prinsip yang mendasari referendum dijalankan secara konsekuen, maka pada ujungnya yang terjadi adalah situasi anarkis, di mana setiap kelompok-mungkin berdasarkan etnis, mungkin agama, mungkin kelompok bahasa, atau apa saja-boleh membentuk negara kapan pun mereka kehendaki. Bumi ini akan menjadi semakin sempit dan penuh konflik jika setiap kaum yang berbeda menjadikan perbedaan mereka sebagai alasan untuk membentuk negara sendiri.

***

Alasan saya yang kedua dan yang lebih penting adalah konsekuensi kemerdekaan Aceh terhadap kondisi politik di Indonesia. Jika lepasnya Timtim adalah akhir bagi sebuah persoalan yang mengganggu Indonesia selama dua dekade terakhir, maka lepasnya Aceh akan berakibat sebaliknya. Ia buat Indonesia adalah awal bagi sebuah persoalan dahsyat yang justru secara potensial jauh lebih berbahaya ketimbang apa yang sekarang terjadi di Aceh.

Kalau sekarang Aceh lepas, maka terhadap daerah lain yang juga meminta hal yang sama (Riau, Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi Selatan, misalnya), kita tidak lagi punya argumen apapun untuk membendungnya. Dalam soal keutuhan Indonesia, Aceh adalah ujian pertama dan terakhir sekaligus.

Saat ini kita tidak bisa meramalkan berapa banyak negara yang akan muncul dari serpihan-serpihan Indonesia. Yang jelas, jika Balkanisasi terjadi, basis-basis konflik justru akan me­luas secara simultan, seperti yang sudah kita saksikan di Yugoslavia dan beberapa negara pasca-komunis lainnya.

Rumit dan dalamnya konflik yang akan terjadi dalam situasi “pasca-Indonesia” bisa dilihat misalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebuah daerah yang, seperti di Aceh, juga punya semangat kedaerahan yang kental. Di daerah ini ada sebuah hal yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka; suku Bugis tidak akan pernah mau tunduk di bawah kekuasaan suku Makas­sar dan sebaliknya. Lebih jauh lagi, terhadap kedua suku besar ini suku-suku yang lebih kecil, seperti suku Mandar dan Toraja, belum tentu dengan suka rela mau menjadi bagian dari sebuah Republik Bugis-Makassar.

Di samping itu, di dalam suku Bugis pun, terjadi berbagai perpecahan (Luwu, Bone, Wajo) yang secara historis hanya pernah bersatu jika ada lawan bersama (kerajaan Gowa-Makassar) atau disatukan di bawah tekanan dari penguasa yang kuat, yaitu Belanda (VOC) dan Arung Palakka.

Selama ini di Sulsel, konflik-konflik lokal tidak pernah men­cuat karena adanya sebuah payung bersama yang kokoh, yaitu Republik Indonesia. Tetapi jika payung ini dilepas, saya tidak melihat alasan mengapa konflik-konflik lokal yang historis itu tidak akan mencuat kembali, sebuah hal yang pasti mengejutkan para mahasiswa romantik “prokemerdekaan” di Ma­kassar yang mungkin belum belajar tentang sejarah mereka sendiri.

Setiap orang yang mengerti sejarah dan sosiologi ma­syarakat Indonesia akan tahu bahwa potensi konflik-konflik lokal bukan cuma ada di Sulsel. Di setiap daerah, hal itu bersembunyi di balik permukaan. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Ambon dan Pontianak, ia sudah mencuat dan meminta korban darah yang tidak sedikit.

Terhadap semua itu harus kita tambahkan lagi berbagai kemungkinan konflik antara negara-negara “pasca-Indonesia” itu sendiri, antara Republik Riau dan Republik Bugis-Makassar, mi­salnya. Negara-negara ini, antara lain, akan berhadapan dengan soal pelik yang berhubungan dengan distribusi kantung-kantung penduduk yang sudah telanjur tersebar. Orang Bugis, misalnya, sudah berada di hampir segala penjuru Nusantara, dan telah membuat kampung-kampung Bugis di hampir semua kota besar kita.

Harus diapakan mereka oleh Negara Maluku, Negara Riau, Negara Aceh dan sebagainya itu? Di Yugoslavia, bahkan di Eropa selama ratusan tahun, persoalan kantung-kantung penduduk inilah yang (sering) menjadi salah satu dasar konflik dan peperangan yang berlarut-larut. Apakah hal yang sama tidak akan terjadi di Sumatra dan daerah lainnya?

Singkatnya, di ujung Balkanisasi Indonesia, yang menunggu bu­kanlah firdaus kemerdekaan, tetapi sebuah proses rumit yang bisa sangat berdarah dan berlarut-larut. Situasi anarkis di Timtim pasca-referendum beberapa saat lalu mungkin akan keli­­hat­an cukup tenteram jika kita bandingkan dengan kemungkinan yang akan kita hadapi.

***

Oleh karena semua itulah, saya harap Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan tokoh-tokoh yang saat ini memegang biduk republik, hendaknya berpikir berkali-kali sebelum memutuskan pemberian referendum di Aceh. Tentu saja pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan referendum, lalu apa?

Melihat semangat rakyat Aceh sekarang, kelihatannya mereka akan berkata bahwa referendum adalah harga mati. Tentu saja kita semua berharap bahwa dalam waktu dekat ini rakyat Aceh akan berubah pikiran. Pemerintahan Gus Dur saat ini harus berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan rakyat Aceh bahwa Indonesia bukanlah sebatas Orde Baru atau Orde lama, tetapi lebih merupakan sebuah upaya terus-menerus untuk merealisasikan gagasan tentang kebebasan dan keadilan bagi setiap warganegara dari Sabang sampai Merauke. Gus Dur, dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, harus membujuk dan memohon pada rakyat Aceh untuk tetap menjadi bagian Indonesia.

Namun, kalau setelah semua usaha dilakukan dan kaum proreferendum masih tetap pada pendirian mereka, maka sejak se­karang kita harus bersiap untuk dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit: referendum atau perang (atau kalau diperhalus, aksi bersenjata menumpas separatisme). Dalam suasana seperti sekarang, pilihan ini mungkin tidak begitu nyaman bahkan untuk didiskusikan sekalipun. Tetapi kita harus jujur dan berani menghadapi kenyataan. Pada saatnya nanti, kita tidak mungkin lagi menyembunyikan pilihan ini di bawah karpet terus-menerus.

Pilihan seperti itu adalah pilihan antara yang buruk dan yang buruk. Kita tentu harus memilih kemungkinan buruk yang minimal. Dan buat saya, proses Balkanisasi Indonesia beserta semua kemungkinan pertikaian terbuka dan kekacauan yang akan menyertainya, adalah kemungkinan paling buruk yang harus kita hindari.

20 November 1999

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.