Alan Greenspan, Sang Maestro di Balik Dollar

Photo by lucas Favre on Unsplash

SELAMA HAMPIR 20 TAHUN MENJABAT SEBAGAI GUBERNUR BANK SEN­TRAL AS (THE FED), Alan Greenspan kerap disebut sebagai “a rock-star central-banker”. Oleh kaum investor dan para pelaku pasar, kadang dia dianggap sebagai manusia setengah dewa. Bob Woodward, jurnalis kawakan itu, menyebutnya se­bagai Sang Maestro.

Munculnya Greenspan sebagai ikon ekonomi AS bukan tanpa sebab. Dalam situasi yang ideal sekalipun, mengatur kondisi mo­neter sebuah negeri yang besar dan kompleks seperti AS bukanlah sesuatu yang mudah.

The Fed harus selalu membaca dengan tepat kapan peredaran uang harus dikucurkan, kapan harus diketatkan, lewat instrumen yang mereka miliki. Karena uang adalah darahnya sistem ekonomi modern, kekeliruan langkah The Fed akan berakibat fatal. Depresi Besar di AS pada 1930-an, seperti kata Milton Friedman, adalah akibat dari kesalahan semacam itu.

Karena itu, siapapun yang memimpin bank sentral AS mengemban tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan. Apa­lagi dalam tiga dekade terakhir ini, di mana inovasi, per­kem­bangan tek­no­logi, dan pertumbuhan instrumen finansial telah membuat ro­da perekonomian dan perputaran uang bergerak semakin cepat dan mengubah banyak asumsi-asumsi ekonomi yang baku.

Tantangan dan perubahan seperti itulah yang harus di­hadapi oleh Greenspan saat diangkat oleh Presiden Reagan untuk memimpin The Fed. Hanya beberapa minggu setelah peng­angkatannya pada akhir 1987, ia harus berhadapan dengan pe­ristiwa Black Monday, yang merontokkan saham di bursa New York sebesar 20 persen dalam sehari. Setelah itu berbagai peris­tiwa terjadi susul-menyusul: krisis asuransi dan perbankan, membengkaknya defisit, ancaman inflasi, ancaman resesi, runtuhnya sistem komunisme, krisis Meksiko, krisis moneter di Asia, default di Rusia, dan sebagainya. Tetapi, semua peristiwa dan gejala ekonomi itu ternyata tidak membawa gejolak besar yang merontokkan ekonomi AS.

Malah sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada pertengahan awal 1990-an hingga 2003 mencapai rekor yang hanya tertandingi oleh angka pertumbuhan pada awal 1960-an. Alan Greenspan dianggap berhasil menciptakan sebuah kondisi moneter yang stabil dan predictable, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi setinggi itu. Sebagian peng­agumnya bahkan memberinya julukan sebagai the greatest central banker of all time.

Para pengkritiknya, seperti Paul Krugman, mungkin benar dalam beberapa hal mengenai ketidakmampuan Greenspan da­lam mencegah Presiden George W. Bush menggelembungkan de­fisit anggaran, atau dalam meramalkan terjadinya bubble di sek­tor perumahan sekian tahun lalu, yang menyebabkan terja­di­nya krisis di AS sekarang ini. Namun, kalau toh hal-hal ini ada­lah sebuah kesalahan yang layak ditimpakan kepadanya, ia tak mengaburkan begitu banyak langkah-langkah Greenspan yang di­anggap tepat dan konstruktif selama 18 tahun kepe­mim­pin­an­nya.

Kini, setelah mundur awal tahun lalu, Alan Greenspan men­­ceritakan semua pengalamannya dalam buku setebal 531 halaman, The Age of Turbulence. Sekarang Greenspan mampu berbicara dengan lancar, menarik, tanpa kalimat yang kabur dan elusif sebagaimana yang menjadi ciri khasnya selama ini.

Salah satu bagian yang paling menarik adalah peng­alamannya dalam berhubungan dengan presiden (Reagan, Bush, Clinton, Bush Jr) serta kaum politisi lainnya di kabinet atau di Kongres. Kaum politisi ingin terus membengkakkan anggaran dan sering kurang sabar menerima langkah pengetatan uang. Di sini kita bisa melihat bagaimana Greenspan harus mampu “berpolitik”, membujuk, dan memengaruhi kaum politisi untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip sound money demi ke­pentingan jangka pendek.

Barangkali di situlah terletak salah satu kunci suksesnya. Ia bukan hanya seorang analis yang tekun, tetapi juga seorang aktor yang mampu meraba suhu politik dan mengenal dengan baik lekak-lekuk politik yang harus dilaluinya.

Mozart dan Matematika

Pada bagian awal The Age of Turbulence Greenspan menulis se­ma­cam me­moar. Bagian itu enak dan menarik dibaca, sebab ia mem­per­lihatkan dimensi manusia di balik peristiwa-peristiwa be­sar eko­­nomi dan interaksi politik, the human face behind history.

Ia lahir di Manhattan, New York, pada 1926 dari keluarga Ya­hudi sekular dengan ekonomi pas-pasan. Cinta pertamanya ada­lah musik. Ia fanatik pada Mozart. Pada usia remaja, ke­ah­lian­nya bermain saksofon membawanya dalam dunia pertun­jukan pro­fesional. Ia kemudian sadar, bakat musiknya tidak akan mampu membawanya ke tingkat maestro. Ia lalu banting setir, belajar ekonomi dan bisnis di New York University (NYU) dan kemudian melanjutkan ke tingkat doktoral di Columbia University.

Kebetulan sejak kecil, sebagai anak yang introvert, Alan Greenspan memang senang pada angka-angka dan merasa begitu gampang menelusuri dalil-dalil matematika (hingga masa tuanya, kebiasaan Greenspan untuk mengisi waktu luang dan mengendurkan saraf adalah dengan mengerjakan soal-soal kalkulus). Bakat seperti ini kemudian terbukti sangat membantunya dalam melakukan studi ekonomi yang saat itu, karena pengaruh Keynes, memang sedang mengadopsi matematika sebagai alat analisis yang semakin penting.

Di universitas, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam formasi pemikirannya adalah Arthur Burns, pengkritik Keynes yang kemudian menjadi gubernur bank sentral pada 1970-an. Lewat Burns, Greenspan, yang memang sudah tertarik dengan pemikiran kaum liberal klasik (Adam Smith, John Locke, dan David Hume) dan karya Schumpeter tentang inovasi dan kewirausahaan, menemukan tokoh yang memberinya dasar-dasar untuk memahami dengan lebih baik bekerjanya sistem ekonomi pasar modern. Di luar dunia universitas, Greenspan bergaul dalam komunitas Ayn Rand, novelis dan filsuf Rusia yang melarikan diri dari sistem komunisme. Ia adalah pemimpin kaum libertarian garis keras. Greenspan tidak belajar ekonomi dari Rand, tetapi dari pemikir wanita inilah Greenspan tumbuh secara intelektual dan kemudian mengerti bahwa sistem ekonomi pa­sar atau kapitalisme dapat pula dibela secara moral, bukan ha­nya dari sudut bisnis atau efisiensi semata.

Dengan pengaruh semacam itu, tidak heran jika sampai sekarang pun Alan Greenspan dengan bangga berkata bahwa dirinya adalah a life-long libertarian republican.

Dengan keyakinan yang kental pada gagasan libertarian, sangat mudah bagi Greenspan untuk terjebak menjadi a fighting banker yang terobsesi oleh ideologi dan ide-ide besar. Namun, salah satu kelebihan Greenspan adalah kemampuannya untuk lebih mengedepankan akal sehat, mempelajari fakta-fakta yang ada, dan lebih mengutamakan moderasi dan sikap yang prudensial. Ide memberi potret besar, namun realitas yang terus berubah seringkali menuntut langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh kompromi.

Selain menulis pengalaman hidup dan perjalanan kariernya, di paruh kedua buku ini Greenspan juga menulis esai-esai dengan beragam topik, dari perubahan ekonomi di Cina, India, Rusia, hingga masalah umum, seperti globalisasi, krisis energi, dan pemerataan ekonomi. Ia melihat berbagai masalah dan kecenderungan ekonomi dari sebuah posisi unik di puncak hierarki kekuasaan moneter. Dalam hal ini ia memainkan peran sebagai pelaku dan saksi sejarah sekaligus.

Bagi pembacanya, hal itu mendatangkan keasyikan tersendiri. Kita seperti masuk dalam dunia Greenspan, dan dari sana mengamati bagaimana seseorang yang memegang ke­kuasaan begitu besar mempelajari dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan orang banyak.

Dalam salah satu bagian buku ini, Alan Greenspan juga men­jelaskan bahwa pada akhirnya dinamika perekonomian dan perputaran uang hanyalah satu sisi dari interaksi manusia, dan karena itu ia mencerminkan karakter dan sifat manusia itu sendiri yang bertindak atas dasar harapan dan kecemasannya, rasionalitas, maupun irasionalitasnya.

Karena itu, orang yang berada di posisinya selain harus menguasai berbagai permasalahan teknis ekonomi dan finansial, ju­ga harus memahami dengan baik sifat dan karakter manusia. Terutama dalam situasi kritis di mana pasar terguncang dan fluktuasi ekonomi bergerak secara tak terduga, justru pe­maham­an seperti itulah yang sangat bermanfaat dalam mem­bimbingnya mengambil keputusan-keputusan penting.

Dengan semua itu kita menjadi cukup mafhum mengapa ia begitu disegani oleh kawan dan lawan. Barangkali, kalau konsep Platonic Guardian memang tidak berlebihan, pada Alan Greenspan-lah kita menemukan perwujudannya yang hampir sempurna.

11 November 2007



 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.