Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institue (Tanggapan atas Tanggapan)

TAK TERDUGA, iklan yang dipasang Freedom Instutite (Kompas, 26/2/2005) ditanggapi berbagai pihak dengan antusias, setuju mau­pun tidak. Bahkan berbagai komentar yang ada, baik di Kompas maupun dalam talkshow televisi dan milis internet, mungkin sama serunya dengan diskusi tentang penghapusan subsidi BBM itu sendiri.

Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah breakthrough (“Maaf, Tak Mampu Beriklan”, Kompas, 2/3/2005). Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi sejumlah intelektual, peng­usaha, profesional, dan aktivis bersatu mendukung sebuah ke­bijakan dan mengiklankannya sehalaman penuh. Sesuatu yang baru, apalagi dengan isu yang hangat dan aktual, tentu mengun­dang pro dan kontra. Hal ini dapat dipahami dan harus disam­but dengan tangan terbuka.

Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga hal: substansi argumen penghapusan subsidi bahan bakar mi­nyak (BBM), bentuk, dan tokoh yang menyampaikan (iklan dan peran intelektual).

Saya akan menanggapinya satu per satu, namun sebe­lumnya saya ingin mengatakan satu hal.

Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah. Selain membujuk masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang tepat demi masa depan bersama yang le­bih baik.

Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang dilematis. Kebijakan yang harus dilakukan perlu dan baik, namun tidak populer. Dalam situasi semacam ini kami memilih peran sebagai push factor, betapapun terbatasnya, demi meyakinkan dan secara tidak langsung membesarkan hati pemerintah untuk segera mengambil keputusan dan menghadapi konsekuensinya.

To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini pe­merintah sudah mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas keberanian semacam ini.

Argumen Moral-Ekonomi

Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada dasarnya ber­sifat konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek moralnya telah ditulis dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno (“Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM”, Kompas, 14/1/2005) dan penjelasan teknis-ekonomisnya dibahas berkali-kali oleh M. Chatib Basri dan Anggito Abimanyu di harian ini.

Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta: sebagai konsekuensi dari harga minyak dunia yang terus melambung, subsidi terus membengkak, jauh melebihi rencana semula yang “hanya” Rp19 triliun. Tanpa pengurangan, subsidi bisa melewati angka Rp70 triliun tahun ini (atau hampir setara dengan Rp200 miliar per hari). Dengan pengurangan rata-rata 29 persen sekalipun, sebagaimana sudah diputuskan peme­rintah, negara masih mengeluarkan Rp100 miliar lebih per hari, atau Rp39,8 triliun setahun, untuk menyangga harga BBM.

Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu, terutama terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun, apakah dana subsidi BBM yang demikian besar benar-benar tepat dan perlu? Apakah negara sanggup terus me­nanggungnya? Apakah subsidi mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan rasional?

Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang meng­kritik angka dan hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan itu. Ini masalah serius. Salah satu argumen kami bersandar pada hasil penelitian empiris yang menunjukkan, subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif lebih mampu dan kaum yang paling miskin justru kurang menik­matinya.

Jika para pengkritik tersebut bisa memperlihatkan kekeliruan penelitian ini, sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai tanggapan yang ada hanya berkisar pada tingkat abs­trak­si dan dugaan bahwa penelitian itu menyesatkan. Jika me­mang keliru, mana buktinya? Apakah ada penelitian alternatif yang menunjukkan bahwa faktanya justru berbeda dan berla­wanan?

Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan, persoalan di negeri ini begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi, inkompetensi, dan pemborosan lainnya. Bahkan dana kompensasi yang diusulkan pemerintah sebesar Rp17,8 triliun mungkin tidak akan luput dari penyalahgunaan dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Menurut mereka, kami seharusnya juga peduli dan memerhatikan hal-hal seperti itu.

Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian. Namun, Prof. Widjojo Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun lalu bahwa di Indonesia hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one step at a time. Semua persoalan negeri kita harus dihadapi dan diselesaikan. Namun, yang kini bisa dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu, kita dorong lagi pemerintah untuk melakukan hal-hal baik lainnya.

Kaum Intelektual

Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini memang menjadi tema klasik yang kadang membingungkan di kalangan intelektual.

Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua tergantung substansi pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk pengungkapan. Gagasan atau kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah. Demikian pula gagasan seorang ilmuwan, aktivis, atau mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang kaum tertindas. Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa merekalah pemegang kebenaran terakhir. Hal inilah yang harus diperhatikan Abd Rohim Ghazali (Menyoal “Iklan Layanan Pemerintah”, 2/3/2005) dan Agus Surono (“BBM dan Iklan Freedom Institute”, 1/3/2005).

Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi ekonomi Indonesia, mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran kaum intelektual? Mengapa untuk menjadi intelektual harus dalam posisi yang senantiasa berseberangan dengan pihak yang memegang kekuasaan?

Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian dari kaum intelektual dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa, bahkan menyatu dengan kekuasaan sendiri. Kita tentu boleh menentang ide atau kebijakan mereka. Namun, agak aneh jika kita mempersoalkan bahwa mereka adalah cendekiawan yang berselingkuh. Mereka yakin pada ide-ide tertentu, dan berusaha menggunakan apa yang ada di sekitarnya, termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.

Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan hal yang sama. Bahkan Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang “berselingkuh” dengan kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka percaya pada ide-ide tertentu tentang sebuah negeri yang ideal dan mengabdikan hidup mereka untuk mewujudkannya, jika perlu dengan menjadi presiden dan perdana menteri.

Iklan

Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut dia, iklan Freedom Institute adalah “bentuk komunikasi politik yang tidak strategis bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya”. Selain itu, “iklan itu juga menunjukkan ‘compang-camping’-nya ruang publik kita”.

Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak memiliki ka­pasitas profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika begitu banyak yang menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya menggunakan judul yang cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at all. Bukankah tujuan iklan, salah satunya, me­mang untuk mencari, dan mencuri perhatian?

Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus membaca dan memercayai iklan itu? Apakah pada dirinya format penyampaian pendapat dalam bentuk iklan mengandung unsur ketidakadilan dan pemaksaan, dan karena itu membuat ruang publik kita compang-camping? Kalau betul, apa argumennya?

Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan redaksi yang hanya memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun pendukung kebijakan subsidi BBM mendapat tempat sama. Yang penting, prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik.

Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar-benar meyakini kebenaran gagasan mereka, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun.

Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian lazim terjadi. The Washington Post dan The New York Times, dua koran paling berpengaruh di AS, sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam bentuk iklan yang dipasang oleh tokoh maupun organisasi dari segala kalangan, seperti pengusaha, pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.

Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan tidak dalam warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik. Namun, seperti iklan sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri perhatian, dan mengajak orang untuk percaya pada pesan yang disampaikan.

Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka harus berpikir sendiri dan menimbang-nimbang. Take it or leave it. Dalam hal inilah, iklan yang mengandung isu kebijakan dan gagasan yang kuat dapat menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat.

3 Maret 2005

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.