Barat dan Demokrasi

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

AMERIKA dan negeri Barat lain mengaku sebagai pendekar demokrasi, tapi politik luar negeri mereka terhadap revolusi Islam di Iran, FIS di Aljazair, dan rezim Erbakan di Turki tak demokratis. Karena itu Riza Sihbudi, dalam Gatra edisi 31 Mei, menulis bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi Barat pun ternyata tak selamanya sungguh-sungguh demokratis.

Kesimpulan ini digunakan untuk memperkuat pendapatnya bahwa demokrasi seringkali menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya. Walau tak terlalu jelas apa yang ingin dikembangkannya dengan pendapat semacam ini, saya pikir Riza pada akhirnya ingin mengatakan bahwa dalam kebijakan luar negerinya, negeri-negeri Barat yang demokratis sering bersikap hipokrit dan inkonsisten dalam slogan demokrasi yang sering mereka banggakan.

Saya tak banyak berbeda pendapat dengan Riza dalam soal politik luar negeri Barat dalam contoh-contoh yang diberikannya. Tapi dalam soal inkonsistensi dan hipokrisi kebijakan luar negeri, semua negeri melakukan hal yang sama, di Barat atau di Timur. Di negeri Islam atau negeri sekular. Di Timur Tengah, misalnya, Pan-Islamisme dianggap sebagai cita-cita dan tujuan moral yang luhur.Barat dan Demokrasi

Semua negeri di kawasan ini menginginkannya. Tapi dalam praktik yang terjadi adalah real politics: semuanya berlomba mendahulukan kepentingan negerinya dan menjadikan Pan-Islamisme sebagai slogan belaka. Dalam hubungan ini doktrin moral dan mekanisme demokratis memang belum banyak diterapkan. Logika yang digunakan dalam politik luar negeri adalah logika kepentingan dan kekuatan.

Inkonsistensi Barat dalam politik luar negerinya terhadap Dunia Islam sebenarnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai tindakan hipokrit dan anti-demokratik. Mereka bertindak sebagaimana negeri-negeri lainnya akan bertindak dalam situasi yang sama: mengimplementasikan apa yang mereka definisikan sebagai kepentingan nasional mereka. Implementasi doktrin nasional Amerika dalam beberepa kasus memang dapat dihujat, seperti yang dilakukan Riza, tapi dalam beberapa kasus lain dapat pula dipuji. Misalnya upaya negeri ini, dengan segala kekurangannya, mendesak Serbia untuk mencari jalan damai di Bosnia.

Saya berbeda pendapat dengan Riza dalam satu hal: saya tak ingin mencampuradukkan antara dinamika politik internasional yang kompleks dan penilaian terhadap sistem demokrasi di Barat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat di sebuah negeri. Dengan demikian penilaian saya terhadap luasnya kebebasan pribadi dan terbukanya peluang untuk melakukan kritik terhadap penguasa di Amerika tak saya kaitkan secara langsung dengan sikap saya terhadap keputusan Presiden Clinton untuk membantu salah satu faksi yang sedang bertikai di Aljazair. Pandangan saya terhadap demokrasi Barat jauh lebih positif ketimbang pandangan Riza. Ini bukan berarti saya tak lagi kritis terhadap praktik demokrasi yang senyatanya berlangsung di Amerika, Inggris, atau di mana saja. Demokrasi adalah sebuah cita-cita, sebuah aspirasi. Hingga sekarang sistem pemerintahan di Baratlah yang paling mendekati perwujudan cita-cita ini.

Agar sebuah negeri bisa dikatakan demokratis, setidaknya harus ada tiga prasyarat kelembagaan. Pertama, undang-undang yang menjamin hak-hak politik yang paling dasar bagi tiap warganegara, seperti hak untuk berpendapat, beragama dan berserikat. Kedua, pers yang bebas. Dan ketiga, pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Dengan memakai ketiga prasyarat ini sebagai ukuran demokrasi, Amerika, Inggris, dan negeri lainnya di Barat telah mencapai titik terdekat dalam ujung skala yang positif. Sementara itu Korea Utara, Cina, dan Arab Saudi berada dalam titik terdekat dalam ujung skala yang negatif. Barangkali Indonesia berada di tengah-tengah.

Semua ini akan menjadi problem jika kita ingin mencari pengertian tentang demokrasi, yang samasekali berbeda dengan pengertian yang saya gunakan di sini. Lenin, misalnya, pernah memperkenalkan konsep demokrasi sosialis dengan lebih memberi penekanan pada kepemimpinan yang progresif serta pemerataan ekonomi ketimbang kebebasan individual dan perwakilan yang otonom. Contoh yang lebih kontemporer adalah Lee Kuan Yeuw, yang lebih mengaitkan konsepsi demo krasi dengan nilai-nilai kedisiplinan dan tujuan-tujuan pembangunan okonomi.

Pembalikan pengertian seperti ini hanya akan melahirkan kebingungan konseptual terhadap apa yang sesungguhnya dimaksud dengan demokrasi. Di bawah Hitler, misalnya, Jerman memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan tingkat pertumbuhan yang hampir nol. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa Jerman dalam era naziisme adalah negeri yang demokratis?

Pembalikan pengertian seperti itu bukan cuma menghasilkan kebingungan konseptual, melainkan juga melahirkan pembenaran bagi sistem pemerintahan yang otoriter. Bung Karno pernah melakukannya dengan mengatakan bahwa demokrasi kita bukanlah demokrasi Barat, yang menurutnya bukanlah sungguh-sungguh demokrasi, sebab bersandar pada mekanisme mayoritas yang “50+1”. Setelah zaman Bung Karno pembenaran semacam ini justru meningkat.

Apakah kita akan terus memperpanjang kecenderungan seperti itu? Kalau kita mau mencegahnya sejak sekarang (merupakan cara terbaik), para intelektual tak akan terlalu sering “berdansa” dengan bermacam-macam pengertian tentang demokrasi. Kita bisa belajar dari pemikir besar yang menjadi peletak dasar konsepsi demokrasi Barat, misalnya Montesquieu, Voltaire, dan John Locke.

7 Juni 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.