Belajar Reformasi Birokrasi dari Georgia

Georgia adalah sebuah negeri kecil berpenduduk 4,5 juta jiwa. Negeri bekas jajahan Uni Soviet ini belakangan cukup mengejutkan para pengamat korupsi dan reformasi birokrasi karena pencapaiannya yang luar biasa dalam menjalankan reformasi politik. Dibanding negara-negara di sekitarnya yang berusaha keluar dari cengkeraman Komunisme, Georgia terbilang sukses dan paling berhasil dalam menjalankan reformasi politik. Apa yang membuat negeri yang merdeka dari Uni Soviet pada 1991 itu begitu sukses?

Rahasia keberhasilan Georgia dalam memberantas korupsi diungkapkan oleh Larisa Burakova, seorang sarjana Rusia yang kini banyak melakukan studi tentang Georgia. Dalam diskusi publik yang dipandu oleh Luthfi Assyaukanie 27 Februari silam, Larisa menjelaskan mengapa negeri kecil itu cukup berhasil dan layak dijadikan model untuk reformasi birokrasi. Menurut wanita yang kini tengah melakukan penelitian di China, ada tiga kata kunci dalam keberhasilan reformasi di Georgia, yakni debirokratisasi, liberalisasi, dan privatisasi. Tiga program inilah yang dijalankan secara cukup konsisten oleh pemerintah Georgia sejak negeri itu merdeka dari Uni Soviet 21 tahun silam.

Dalam hal debirokratisasi, pemerintah Georgia melakukan agenda ”small government” dengan memangkas beberapa kementrian dan departemen yang dianggap tidak terlalu penting. Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah aturan baru yang memudahkan orang mengurus persoalan-persoalan administratif seperti urusan perizinan usaha, pencatatan hak milik, hingga pembayaran pajak. Secara sadar dan antusias, pemerintah Georgia juga mengeluarkan aturan yang memudahkan investor untuk menanamkan modalnya di negeri itu.

Liberalisasi dilakukan dalam berbagai bidang, khususnya yang menyangkut layanan publik di sektor transportasi, pertanian, dan sumber daya alam. Urusan-urusan yang sebelumnya dilakukan berminggu-minggu dan harus melewati banyak meja birokrasi, kini bisa dilakukan hanya dalam satu hari dan hanya melewati satu meja saja. Larisa mencontohkan bagaimana penggabungan izin usaha dan registrasi pajak sangat memudahkan sehingga banyak orang yang antusias melakukannya. Pemerintah Georgia menghapus sekitar 85% izin yang selama ini dianggap menghambat rakyat negeri itu untuk bekerja dan berusaha.

Berbagai langkah privatisasi juga dilakukan, khususnya dalam bidang transportasi, energi, dan pertanian. Pelabuhan-pelabuhan dan bandar udara utama kini tidak lagi dikelola oleh pemerintah, tapi oleh perusahaan-perusahaan swasta. Akibatnya, pelayanan publik menjadi semakin baik dan semakin besar jumlah orang yang menggunakannya. Bidang energi seperti listrik dan gas yang selalu menjadi isu sensitif juga diswastanisasi. Perusahaan-perusahaan listrik dan gas saling bersaing memberikan harga termurah dan layanan terbaik. Pada akhirnya, rakyat yang diuntungkan.

Penjelasan Larisa mendapat tanggapan dari Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch, yang juga diundang hadir pada malam itu. Menurut Danang, Georgia memang cukup mencengangkan dalam hal pencapaian reformasi birokrasi dan pemberantasan terhadap korupsi. Georgia adalah salah satu dari sedikit negeri yang mengalami lonjakan perbaikan dalam Indeks korupsi. Menurut Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International (2011), Georgia menduduki peringkat ke-64, sebuah pencapain yang cukup baik mengingat masa silam negeri itu. Indonesia sendiri bertengger di urutan ke-100.

Namun, keberhasilan Georgia, menurut Danang, tidak bisa dengan mudah begitu saja direplikasikan ke Indonesia. Selain karena ukuran negara dan jumlah penduduk yang secara ekstrim jauh berbeda, implikasi-implikasi program birokrasi yang dijalankan Georgia mungkin akan sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Danang mencontohkan bagaimana privatisasi dan liberalisasi yang dilakukan di Indonesia tidak berjalan mulus, karena dampak yang terjadi bukan pemerataan kesejahteraan, tapi justru memperlebar jurang kaya-miskin serta semakin banyaknya orang tak beruntung yang terabaikan. Baik pemerintah dan swasta tak merasa bertanggungjawab untuk menolong mereka.

Di Indonesia, menurut Danang, yang dibutuhkan bukannya menerapkan program privatisasi atau liberalisasi, tapi kepastian hukum dan penegakan aturan mainnya (rule of law). Sejak zaman Soeharto, Indonesia sebetulnya sudah melakukan liberalisasi dan privatisasi yang cukup gencar, tapi lemahnya penegakan hukum membuat korupsi merajalela. Alih-alih korupsi dilakukan hanya oleh aparat negara, kini pelaku-pelaku korupsi meluas ke sektor-sektror swasta yang bekerjasama dan melakukan bisnis dengan penyelenggara negara. Yang lebih dibutuhkan Indonesia, menurut Danang, bukannya memperkecil peran negara, tapi memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dan para pelaku korupsi dihukum berat.

Diskusi yang dihadiri sekitar 60 orang itu juga dihadiri oleh Prof. William Liddle, guru besar dari Ohio State University, dan Nyonya Sophie Adali, isteri Duta Besar Turki, yang sejak enam bulan terakhir menjadi research fellow di Freedom Institute. Diskusi yang cukup banyak mendapat tanggapan peserta itu ditutup pada jam 9.30 WIB.

Anda dapat menyaksikan rekaman diskusi ini di Youtube

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.