Demokrasi Amerika

Gambar oleh Mary Pahlke dari Pixabay

AMERIKA DIKUASAI OLEH OLIGARKI ELITE. Sumber kekuasaan oligarki ini: uang. Inilah pendapat dasar Juwono Sudarsono tentang politik Amerika sebagaimana ditulisnya di Gatra akhir-akhir ini.

Di Gettysburg pada 1863 Abraham Lincoln berpidato tentang Amerika. Amerika, kata Lincoln, adalah sebuah negeri “yang dipersembahkan bagi sebuah gagasan bahwa manusia diciptakan sama”. Dan karena itu pemerintahan Amerika diatur mengikuti semboyan: “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
 
Kalau Juwono benar, kita hanya bisa mencibirkan idealisme Lincoln semacam ini. Sebab hingga kini politik Amerika ternyata diatur hanya oleh segelintir elite yang berkantong tebal di Washington. Pendapat Juwono ini tergolong sangat keras. Agar pendapat sekeras ini tak menjadi retorika belaka, Juwono harus mendukungnya dengan argumen yang kukuh dan bukti yang meyakinkan. Sayangnya, kedua hal ini tak kita temukan.
 
Ralph Nader dan Hedrick Smith—yang dikutip Juwono untuk mendukung argumennya—tak dianggap serius dalam dunia pemikiran di Amerika. Mereka lebih dianggap sebagai popularizers of ideas. Pendapat Smith, misalnya, bahwa dasar kekuasaan politik di Amerika adalah “uang, uang, dan uang”, bersumber pada asumsi Marxisme yang paling vulgar. Dengan argumen semacam ini sulit bagi kita untuk mengerti kompleksitas dinamika politik.
 
Analisis Juwono, dalam banyak hal, bersumber pada argumen C. Wright Mills, seorang pemikir yang lebih serius ketimbang Nader dan Smith. Walaupun dikemukakan pada akhir 1950-an, argumen Mills ini hingga sekarang masih cukup populer di berbagai kalangan. Salah satu sebabnya: ia memungkinkan kita sangat menyederhanakan masalah dan kemudian menuding.
 
Di mana kelemahan Mills dan Juwono? Di negeri mana pun—demokratis atau tidak, di Washington atau di Jakarta— selalu ada lapisan elite. Hal ini sangat trivial, kita bisa memakluminya tanpa harus berpikir keras. Yang sesungguhnya relevan sebagai persoalan politik adalah sifat kekuasaan para elite itu.
Inilah yang membedakan antara sistem yang demokratis dan yang otoriter.
 
Mills agaknya tak menyadari persoalan sederhana ini. “Konsep elite kekuasaan,” kata Mills menjelaskan dalam bukunya yang terkenal, The Power Elite, “tak terkait samasekali dengan cara pengambilan keputusan. Konsep ini berhubungan dengan siapa yang terlibat dalam proses tersebut”. Dengan konsep seperti ini, Mills dengan sadar tak mempedulikan sifat kekuasaan politik. Sebaliknya, yang ia tekankan adalah komposisi aktor politik.
 
Ketidakpedulian Mills terhadap sifat kekuasaan politik dan sebaliknya perhatian Mills yang terpusat pada siapa yang berkuasa itulah yang mengaburkan pandangannya tentang persoalan politik dan demokrasi di Amerika. Ketidakpedulian semacam inilah yang secara konseptual tak memungkinkan Mills membedakan antara Jefferson dan Lenin, antara Roosevelt dan Hitler. Dan ini pula yang menjebak tokoh-tokoh teori tentang elite lainnya, seperti Mosca dan Michels.
 
Jika sifat kekuasaan dijadikan kriteria utama maka pertanyaan penting yang berhubungan dengan demokrasi adalah: Apakah kontrol terhadap elite politik berjalan? Apakah pemilihan terhadap mereka fair dan terbuka? Bagaimana cara mereka mengambil keputusan? Apakah pers dibredel? Dan di hadapan kriteria-kriteria inilah potret kita terhadap politik Amerika tak sesederhana tudingan Juwono.
 
Dalam proses pengambilan keputusan, misalnya, yang paling penting dalam sistem Amerika adalah mekanisme yang memungkinkan perdebatan terbuka di antara para elite di Kongres, Senat, dan Gedung Putih. Tentu saja kombinasi kekuatan uang, ide, karisma pribadi, dan organisasi memengaruhi hasil akhir perdebatan ini. Tapi semua ini tak bisa menghilangkan fakta dasar bahwa, di antara para elite di Washington, perdebatan terbuka berlangsung terus-menerus. Dan rakyat, berkat pers yang bebas, menyaksikannya secara luas.
 
Kalau kita ikuti, perdebatan dalam perumusan kebijakan di Kongres, Senat, dan Gedung Putih sering berlangsung berteletele dan sering emosional. Hal ini untuk sebagian orang membosankan dan berlebihan. Tapi justru di balik perdebatan yang berkepanjangan itu terletak esensi sifat kekuasaan Amerika. Perdebatan-perdebatan ini sesungguhnya adalah bentuk tawarmenawar yang terus-menerus antara penguasa dan rakyat.
 
Gingrich dan Clinton—sebagaimana elite politik di negeri mana pun—memang “memerintah” dan merumuskan kebijakan. Dan rakyat—sebagaimana rakyat di mana pun—berada di tepi panggung. Tapi di negeri Jefferson dan Lincoln ini mekanisme yang menghubungkan rakyat dan para elite adalah tawar-menawar itu, persuasi, argumen, dan pada akhirnya kepercayaan. Di negeri yang otoriter hubungan rakyat dan penguasa lebih ditopang kecemasan dan sinisme.
 
Semua ini tak berarti bahwa demokrasi Amerika adalah demokrasi yang sempurna. Pidato Lincoln di Gettysburg itu betapapun adalah sebuah ideal yang tak boleh kita kacaukan dengan kenyataan.
 
Barangkali ada segi-segi dan argumen Juwono yang cukup menggambarkan beberapa kelemahan demokrasi di Amerika. Namun jika argumen seperti ini disampaikan berulang-ulang dan disimpulkan terlalu jauh, ia bukan saja akan mengaburkan potret besar demokrasi Amerika, melainkan juga, seperti yang dikatakan Daniel Bell terhadap pikiran-pikiran Mills, akan memberi kesan bahwa setiap kekuasaan politik—demokratis atau tidak—pada dasarnya adalah konspirasi gelap. Dan karena itu hanya meluaskan sinisme terhadap cita-cita pencapaian masyarakat yang lebih bebas.
 
5 Agustus 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.