Demokrasi dan Liberalisme

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Jadi, liberalisme dan demokrasi sekarang ini umum dianggap sebagai dua hal yang tak terpisahkan dan tak terelakkan, terutama dalam tata pemerintahan dan masyarakat. Nah, masalahnya banyak sekali tantangan yang dihadapi liberalisme dan demokrasi. Misalnya, baru-baru ini Majelis Ulama Indonesisa (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham ini, selain pluralisme, dan juga sekularisme. Dalam bidang ekonomi juga demikian. Tradisi kita rupanya banyak yang anti-liberal, yang mungkin dikaitkan dengan kolonialisme dan sebagainya.

Demokrasi berarti kekuasaan rakyat, dan liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau, kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia bebas. Bebas karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dia tahu apa yang diinginkan; dia merasa dia memiliki hak untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Jadi, cita-cita dasarnya adalah mulia, dalam arti liberalisme sebagai paham pemikiran yang optimistis tentang manusia.

Liberalisme percaya akan kemampuan manusia untuk berpikir sendiri, tidak perlu diatur oleh orang lain, tidak perlu dipaksa oleh orang lain. Manusia mampu memahami apa yang baik bagi dirinya dan mampu bertindak. Jadi, ini yang mengherankan saya kenapa paham ini ditentang dan dianggap hanya sebagai seks bebas dan perilaku seks tanpa norma. Dan kalau bicara tentang kebebasan atau menyangkut hal yang bebas, orang biasanya mengasosiasikannya dengan hal yang jorok atau erkonotasi negatif, padahal artinya sama dengan merdeka.

Bangsa bebas, manusia bebas, dan bukan bangsa yang jorok. Bangsa merdeka dan manusia merdeka itu berada dalam tataran yang sama, walaupun unitnya berbeda. Kenapa bangsa harus merdeka dan perlu merdeka jika individu yang merdeka dianggap jorok, berbahaya, dan kemudian harus dibatasi? Ini kadang-kadang bersumber dari ketidakpahaman yang agak sistematis terhadap paham-paham modern.

Kalau kita kaitkan dengan demokrasi, keduanya (demokrasi dan liberalisme) tidak langsung berhubungan. Demokrasi bisa tidak liberal, bisa juga liberal. Makanya pendidikan liberal perlu bagi demokrasi, karena demokrasi bisa mengandung unsur yang tak-liberal, bisa juga yang liberal. Kalau kita lihat hubungan keduanya, demokrasi modern bisa tumbuh dengan sehat dan langgeng kalau ia mengadopsi unsur-unsur yang liberal, dalam pengertian bahwa jika manusia yang diatur sistem demokrasi itu adalah manusia-manusia yang mandiri, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri, yang tahu tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Singkatnya, inilah apa yang disebut sebagai demokrasi liberal.

Kalau kita berbicara lebih lanjut mengenai paham liberal, ada pertanyaan: jika semua manusia bebas bertindak, bebas melakukan apa yang dia inginkan, bagaimana jika terjadi benturan? Makanya, pemikir-pemikir liberal datang dengan formula bahwa Anda bebas sebebas-bebasnya selama Anda tidak mengancam, mengganggu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan Anda adalah kebebasan orang lain. Kebebasan Anda berhenti manakala Anda sudah mengancam kebebasan orang lain. Itu saja formulanya. Sangat simpel dalam segi teoretis, tapi tentu saja dalam praktik tidak demikian.

Contohnya: apakah rokok membahayakan orang lain? Jika membahayakan, perlu dilarang atau tidak? Itu formulasi praktis. Tapi ide dasarnya adalah: Sejauh Anda tidak membahayakan orang lain, Anda bebas. Anda tidak bebas menipu saya, Anda tidak bebas menghukum saya, Anda tidak bebas membunuh saya. Karena orang lain mempunyai kebebasan pula. Tetapi untuk memilih istri, sekolah, pacar, baju, rumahtangga, Anda bebas. Itulah dasar pemikiran liberal, walaupun tidak dikatakan. Anda bebas untuk bekerja di mana pun Anda suka, Anda bebas juga untuk memilih agama Anda. Untuk anak saya, saya dapat berkata “kamu harus ikut saya”. Tetapi, jika Anda sahabat saya, tetangga saya, atas dasar apa Anda harus ikut agama saya? Anak saya pun, jika dia sudah berumur 13 tahunan, saya tidak lagi berhak mengharuskan dia ikut agama saya. Jadi, kita perlu memperlakukan orang lain tidak sebagai anak kecil.

Kebebasan, sebagaimana segala sesuatu dalam hidup, selalu mengandung risiko. Orang tidak langsung tahu apa yang dia inginkan, berlaku sesuai dengan apa yang dia dianggap baik. Orang memerlukan proses atau waktu untuk belajar. Orang kadang-kadang baik dan kadang-kadang jahat. Kalau kita melihat potret kehidupan manusia, ada yang di masa mudanya nakal, kemudian dia tumbuh menjadi dewasa dan baik, atau sebaliknya. Orang pasti berubah-ubah, tetapi selalu ada ruang untuk belajar, untuk bereksprimen. Ada orang yang dipaksa-paksa dengan sistem otoriter tetap menjadi liar. Jadi, tidak ada sistem yang dapat menjamin tidak ada orang yang nakal dan liar di dalamnya.

Namun dalam sistem yang menganut asas-asas liberal, ada sarana dan metode yang dapat menjamin manusia secara umum untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Kalaupun ada penyimpangan (anomali), ada sistem untuk memperbaiki mereka, seperti sistem hukum, penjara, dan sebagainya. Kalau itu tidak dicakup oleh sistem hukum, ada pula yang dinamakan sanksi sosial, dan ini selalu melekat dalam masyarakat. Tetapi sebagai gagasan, liberalisme modern adalah salah satu penopang sistem demokrasi liberal.

Sistem-sistem lain, misalnya otoritarianisme, pada akhirnya mengekang kebebasan manusia. Ada negara-negara yang berhasil memajukan warganya, tapi tidak menganut sistem demokrasi dan tidak liberal, seperti Singapura. Singapura memang negara yang sejahtera, sistem hukum dan ketaatan warganya terhadap hukum lebih baik dibanding Indonesia, yang secara formal demokrasi. Singapura tidak kalah dibanding Amerika dalam hal pelaksanaan dan ketaatan pada hukum. Tapi di Singapura tidak ada sistem yang dapat menjamin kebebasan seseorang pada tingkat politik. Tidak berarti bahwa Singapura tidak liberal. Ada masyarakat yang lebih ekstrem di mana negara masuk terlalu jauh dalam pengaturan kehidupan sosial. Singapura memang mengatur kehidupan sosial dalam masyarakatnya, tapi tidak masuk terlalu jauh.

Sistem lainnya, misalnya di Arab Saudi, masih mengatur bagaimana seharusnya seorang wanita berpakaian. Itu lebih ekstrem dibanding negara-negara lainnya. Wanita dibatasi kebebasannya dalam hal menentukan pilihannya, misalnya dalam memilih sekolah. Saya kira hal itu tidak akan berjalan terlalu lama, karena sudah menjadi kodrat manusia modern untuk terus-menerus menjadi mandiri, baik itu di Indonesia, Singapura, maupun Arab Saudi. Suatu saat sistem seperti itu akan menjadi terbuka dan akan menjadi bagian dari sejarah.

Mungkin penduduk negeri-negeri semacam itu sekarang bahagia. Tapi seiring dengan proses kemajuan, modernisasi, proses perluasan ruang bagi manusia untuk bergerak sesuai dengan gerak sejarah, saya rasa hal itu tidak dapat dipertahankan. Artinya mereka hanya bersifat temporer. Anda juga harus melihat bahwa sekitar 300 tahun yang lalu semua bangsa, dalam pengertian modern, juga bersifat tak-liberal, tapi kemudian mereka berubah.

Kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya, masih mengartikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan pengaruh sejarah. Sebagian karena masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal dan tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan. Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur masalah orang lain atau bahasa kerennya: paternalistik luarbiasa kuatnya. Di negara-negara maju pun ada kecenderungan bahwa semakin terpencil tempat tinggal Anda, semakin parokial cara berpikir Anda, semakin kurang liberal cara berpikir Anda.

Kita mengerti juga, selain ada masalah sosio-ekonomi, ada masalah historis. Indonesia lahir dari proses penentangan kolonialisme yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, liberalisme, dan sebagainya. Kebanyakan pendiri negara kita adalah orang-orang sosialis-nasionalis; itu merupakan produk sejarah yang unik pada awal dan pertengahan abad ke-20. Kalau Indonesia lahir pada abad ke-21 tentunya akan berbeda; tapi kebanyakan negara Dunia Ketiga lahir pada pertengahan abad ke-20, ketika hak asasi manusia, liberalisme, sedang didiskreditkan di beberapa belahan dunia. Jadi, memang agak sedih juga kita melihat hal itu. Tapi itu masalah masa lalu.

Sekarang justru arah dan kecenderungannya sudah berbalik. Mau tidak mau, sekarang ini kita dipaksa untuk menjadi semakin liberal. Lihat saja media elektronik seperti televisi. Atau bagaimana Anda bisa melarang Internet, koran, hand phone, atau media komunikasi lainnya? Hal itu secara langsung memperluas ruang kebebasan, ruang pilihan-pilihan, bagi individu. Jadi, saya melihatnya lebih ke depan, selain ke belakang. Orang bicara bahwa kehidupan kita sarat dengan sejarah, tetapi sejarah juga hidup dalam batin kita. Dan perlu diingat, sejarah itu bergerak. Dan sekarang, kalau kita lihat, arusnya tidak tertahankan. Yang mengkhawatirkan sebetulya adalah dimensi ekonomi.

Sekali lagi, ekonomi-politik liberal percaya pada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu berpikir bagi dirinya sendiri, dan dalam proses mengejar kepentingan dirinya sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain. Dalam ekonomi juga dipercaya bahwa para penjual dan pembeli memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ini tidak perlu dinafikan. Dalam proses tersebut kemudian mereka membawa kepentingan bagi semua orang. Pedagang koran, misalnya, mengantarkan koran ke rumah Anda bukan karena mereka baik, melainkan karena mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka demi kelangsungan hidup mereka. Jadi, itulah dasar-dasar ekonomi liberal, walaupun rumit dalam kembangan-kembangannya.

Dan terbukti bahwa sistem ekonomi yang menganut asas seperti ini adalah sistem ekonomi yang mampu menjamin kemajuan. Dan justru ide yang ingin melawan ide liberalismelah yang terpuruk, baik negara komunis maupun negara etatis. Itu merupakan bukti bahwa mereka tidak mampu memberikan alternatif atas sistem ekonomi liberal. Indonesia pada awalnya lebih banyak diatur oleh gelora sosialisme dan nasionalisme. Tapi pada era 80-an kita berubah. Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asasnya liberal, dengan adanya deregulasi dan sebagainya. Sejak itu pertumbuhan kesejahteraan semakin meningkat, walaupun masih banyak kekurangan rezim Orde Baru. Harus kita akui bahwa Pak Harto, dibanding Bung Karno, telah membuka ekonomi Indonesia, walaupun tidak sepenuhnya; ia memulai langkah pertama mengintegrasikan ekonomi Indonesia, dan kemajuannya luarbiasa.

Negara-negara yang tertutup atau setengah tertutup, proteksionis, juga membuka diri, dan tidak dapat dimungkiri bahwa dengan mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi dunia mereka mengalami kemajuan besar. Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, Thailand, Singapura, semua adalah contoh konkret bahwa hanya dengan perdagangan, hanya dengan membuka diri, mereka menjadi negara yang maju, dan sekarang sama majunya dengan negara-negara maju di Eropa. Sebaliknya, negara-negara yang menutup diri atau memproteksi ekonominya, atau yang sangat membenci ekonomi pasar, seperti Myanmar, juga negara-negara Afrika, Amerika Latin, Asia, tetap terbelakang. Cina dan India, setelah membuka diri, bisa kita lihat sendiri bagaimana perkembangannya.

Jadi, tanpa teori canggih-canggih, akal sehat saja bisa menunjukkan bahwa Anda menggunakan kebebasan manusia justru demi kesejahteraan manusia. Yang saya khawatirkan Indonesia. Karena selalu setengah-setengah, tidak pernah benar-benar jelas terhadap semua ini, kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk semakin memicu tingkat kesejahteraan ke arah yang lebih baik. Jika dibanding negara-negara lain, kita hanya mengalami pertumbuhan ekonomi 5,7% per tahun; ini memang sudah cukup bagus, dan mungkin ketiga atau keempat tertinggi di Asia, setelah Cina dan India. Tapi sebenanya kita juga mampu tumbuh sampai 8-9%, seperti Cina, atau 7% seperti India. Kenapa tidak?

Kita bisa menggerakkan pertumbuhan ekonom kita, bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat kita, bisa membawa masyarakat miskin di pedesaan menjadi bagian dari masyarakat industri yang baik dan sejahtera. Proses ini terhambat karena kita mendua dalam melihat kebebasan ekonomi dan kebebasan manusia.

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu selalu ada di semua sistem, bahkan lebih parah lagi dalam sistem non-liberal. Artinya, perbedaan antara kaya dan miskin adalah fakta sosial. Kita tinggal melihat kecenderungannya. Apakah si miskin berpendapatan Rp500 ribu sementara yang kaya Rp500 juta? Ini merupakan kesenjangan. Tetapi ada juga: yang kaya berpendapatan Rp500 juta dan yang miskin Rp5 juta. Ini juga senjang. Jadi, yang kita bicarakan kesenjangan yang mana?

Liberalisme tidak berkata bahwa kesenjangan itu akan hilang. Liberalisme, dalam pengertian sistem ekonomi pasar yang dikelola oleh kepentingan masing-masing, dan yang terbuka terhadap dunia luar, bisa menjamin bahwa yang miskin memiliki pendapatan minimal yang mampu untuk hidup dalam kesejahteraan.

Kondisi miskin itu berbeda-beda di tiap negara. Di negara-negara yang katakanlah tertinggal, kalau Anda miskin Anda praktis tidak punya apa-apa. Kalau Anda miskin di New York, Anda punya apartemen, mobil, televisi, bisa menyekolahkan anak. Miskin dalam pengertian Amerika tetap memiliki kelengkapan-kelangkapan hidup di mana Anda bisa menjadi manusia yang punya martabat. Mereka yang miskinnya dianggap ekstrem, mendapat tunjangan sosial. Dan sistem tunjangan sosial ini samasekali tidak berlawanan dengan prinsip liberalisme modern; ia merupakan bagian dari liberalisme modern, yang mengakui bahwa negara juga memiliki peran. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak punya fungsi atau peran sosial seperti itu.

Anda tidak mungkin menanggung orang miskin jika Anda tidak punya uang. Artinya, ada yang harus tumbuh dan berkembang, yaitu ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, kita bisa menanggung orang miskin; mereka bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Kalau Anda tutup dan hambat ekonomi dengan segala macam ilusi seperti sosialisme, utopia, populisme, justru Anda tidak bisa menanggung orang miskin dengan baik.

Anda lihat di India, misalnya, orang-orang miskin tidur di pinggir jalan. Jumlahnya ribuan. Negara tidak bisa menanggung mereka, karena negara tidak punya sumberdayanya. Tetapi, hal semacam itu tidak terjadi di negara-negara yang sudah maju dengan ekonomi yang terbuka. Saya tidak bilang semua ekonomi maju adalah liberal dalam pengertian yang saya maksud, tapi elemen-elemen pasarnya itu kuat dan bekerja dengan baik. Negara memetik keuntungan dengan kuatnya ekonomi. Inilah yang harus kita lakukan. Jangan punya ilusi bahwa kemiskinan bisa tertanggulangi jika ekonomi tidak tumbuh. Pertanyaannya: bagaimana kita menumbuhkan ekonomi? Tidak ada cara selain mengadopsi pikiran-pikiran liberal, dalam arti bahwa kita harus membuka pasar, membuka ekonomi Indonesia, mengundang investasi; kita perkuat hukum supaya kepastian antara kaum pengusaha dan kaum buruh bisa terjadi.

Ada sejumlah kemungkinan sebab mengapa pemerintah kita tidak secara tegas memilih ekonomi pasar. Pertama, mungkin ada persoalan intelektual, yaitu kebelumyakinan kita terhadap baiknya pemikiran pro-pasar. Ini adalah tradisi, dan merupakan tantangan kita dan salah kita kenapa kita tidak membujuk mereka dengan cara-cara yang efektif. Kedua, persoalan politik. Mengubah ekonomi ke arah yang lebih sehat itu menciptakan kalah dan menang. Ada yang semua diproteksi, kemudian dibuka. Yang paling gampang adalah kasus BBM. Proteksi BBM dengan subsidi adalah untuk kalangan kelas menengah, bukan untuk kalangan miskin. Kalau kita mengubahnya dari semula terbiasa membayar murah kemudian harus membayar mahal itu menjadi alasan untuk menuding pemerintah. Padahal sebenarnya kita naik mobil dengan membayar harga yang sewajarnya. Malahan, 95% negara di dunia lebih mahal harga bensinnya dibanding di Indonesia. Tapi karena kita terbiasa beli murah, maka ketika kemudian dimahalkan kita marah-marah. Ada banyak contoh lain yang persoalannya mungkin tidak hitam-putih.

Demikian juga masalah-masalah seperti kepemilikan BUMN, misalanya Garuda dan lainnya. Mereka disebut milik pemerintah, milik rakyat, kalau kita jual kepada swasta kita kehilangan aset negara. Padahal, apa sebenarnya arti kepemilikan tersebut? Lion Air adalah milik swasta, Garuda milik kita. Tapi kalau kita ingin naik pesawat mereka, kita sama-sama beli tiket. Jadi apa sebenarnya yang dimaksud milik kita? Apakah Lion Air tidak memelihara pesawatnya dan tidak menggaji karyawannya? Mungkin mereka menggaji karyawannya lebih tinggi. Saya tidak tahu apa beda antara Lion Air milik swasta dan Garuda milik kita.

Bagi saya yang penting adalah mereka membayar pajak, yang nantinya kita gunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Lion Air harus bayar pajak, dan Garudapun harus bayar pajak; tidak mentang-mentang milik kita kemudian Garuda tidak bayar pajak. Para pejabat negarapun kalau naik Garuda harus bayar. Tidak wajar kalau mereka tidak bayar hanya karena Garuda “milik kita”. Jadi, apa makna “memiliki” dalam konteks itu? Hambatan mental seperti ini yang harus kita tembus.

Perusahaan yang dimiliki swasta mungkin lebih baik, lebih efisien, tapi saya tidak tahu. Saya tidak bilang Lion Air lebih baik. Ini sekadar contoh, dan bukan untuk mempromosikan Lion Air. Pertanyaan pokoknya adalah: apa bedanya bagi kita, warganegara, dalam hal perusahaan yang satu dimiliki swasta dan yang lain dimiliki negara? Tidak ada.

Saya kira masalahnya selain muncul dari para ekonom, juga dari para cendekiawan umumnya. Mereka mengemukakan macam-macam argumentasi yang, kurang-lebih, dianggap ilmiah. Mereka terus berusaha membuktikan bahwa sistem pasar bebas itu tidak adil, dan yang adil adalah sistem yang sebaliknya. Tapi, apakah yang disebut adil itu? Ini tampaknya konsep yang sederhana. Tapi, apa yang adil? Apakah jika saya memiliki penghasilan yang sama dengan orang lain dapat dikatakan adil? Kalau orang lain pintar dan saya bodoh, mengapa saya ingin penghasilan saya sama dengan dia? Ada yang ganteng, cantik, yang kurang cantik, dan yang diterima yang cantik. Apakah ini adil?

Pertanyaan tentang yang adil ini sangat elusif. Tetapi intinya adalah: apakah ia menjamin kesejahteraan dalam pengertian umum, buat semua orang?

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.