Dialog Frans Seda dan Amien Rais

Foto oleh Pok Rie dari Pexels

DALAM MERAYAKAN usianya yang ke-70, Frans Seda sempat memberikan wawancara panjang yang dimuat di sejumlah media. Di sini, dengan lugas dan terbuka Frans Seda menyinggung topik hubungan antaragama yang memang saat ini sedang hangat.

Di majalah Forum (No. 14, Oktober 1996) misalnya, tokoh yang pernah berperan penting di era awal Orde Baru ini menjelaskan bahwa jika dulu hubungan antaragama sangat mesra, maka sekarang ”bangsa kita kembali dikotak-kotakkan”. Buat dia, pengkotakan ini sudah sedemikian rupa sehingga sebentuk diskriminasi agama telah tercipta. Contohnya, menurut Frans Seda, ”orang baru bisa dapat duit kalau agamanya ini, kalau agamanya lain sudahlah, kau tidak usah berharap”.
 
Wawancara yang gamblang semacam itu, terlebih jika diutarakan oleh seorang bekas pemimpin tertinggi Partai Katolik seperti Frans Seda, tentu akan menimbulkan penafsiran yang cukup jauh. Dalam konteks politik kita sekarang, salah satu penafsiran yang bisa dilakukan adalah bahwa Frans Seda, melalui wawancara itu, justru sedang mengkritik kecenderungan revitalisasi peran politik Islam, sebagaimana yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
 
Terbukanya peluang penafsiran demikian, bisa ditebak, tentu akan menimbulkan reaksi balik dari sejumlah tokoh Islam. Dan benar saja! Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah dan intelektual Islam yang tulisannya sering tajam itu kemudian menulis tanggapan di harian Republika (10/10/1996). Tanggapan ini adalah tanggapan yang cukup santun, walau isinya menggigit, tak kalah gamblangnya, dan bersifat polemis.
 
Bagi Amien Rais, pendapat Frans Seda adalah pendapat yang ”aneh-aneh dan cenderung bermuatan SARA”. Menurut Amien, Frans Seda justru harus berempati terhadap nasib umat Islam yang sepanjang 1970-an dan 1980-an menjadi obyek diskriminasi. Waktu umat Islam mengalami nasib buruk itu, kata Amien Rais, ”Kami semua diam seribu bahasa karena kami dicekam rasa takut. Kami tidak berani protes, takut dituduh SARA.”
 
Di akhir tanggapannya, Amien Rais menolak ”tuduhan” Frans Seda: ”Saya yakin tidak ada satu noktah pun dalam pikiran orang Islam untuk melakukan diskriminasi berdasar suku, ras, golongan, dan agama. Kami hanya ingin sebuah kehidupan nasional yang representatif dan meritokratis.”
 
Apa yang bisa dikatakan terhadap ”dialog” kedua tokoh penting ini? Perlukah ia ditampilkan di forum publik? Buat saya, pembicaraan terbuka demikian, walau belum bersifat dialog langsung, harus disambut gembira. Apalagi, ia dilakukan oleh dua tokoh yang sangat representatif mewakili pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kontroversi hubungan agama dan politik. Harus diakui, kata-kata yang digunakan dalam ”dialog” tersebut memang cukup tajam. Namun demikian, saya kira kita semua bisa melebarkan ruang-ruang kultural kita untuk tidak terlalu menghiraukan tajamnya kata-kata itu, dan lebih memperhatikan substansi pendapat masing-masing pihak.
 
Kalau toh ada catatan yang bisa diberikan terhadap ”dialog” Frans Seda-Amien Rais, yang ingin saya anjurkan adalah agar ke­dua belah pihak melakukan semacam klarifkasi terhadap tuduhan dan argumen masing-masing dalam soal diskriminasi agama. Betulkah secara faktual bahwa, misalnya, untuk ”dapat uang” orang harus beragama tertentu, seperti sinyalemen Frans Seda? Betulkah terjadi diskriminasi sistematis terhadap umat Islam sepanjang 1970-an dan 1980-an, seperti kata Amien Rais?
 
Klarifkasi semacam ini penting, sebab selama ini dalam diskursus hubungan agama dan politik, kita terlalu sering membaca gosip dan pernyataan miring terhadap golongan ini atau sekelompok itu yang sulit ditelusuri asal-usul dan bukti-buktinya. Yang terjadi dalam banyak hal adalah semacam prejudice exchanges. Jika kita berani mengatakan fakta yang sebenarnya, atau sebaliknya mengakui bahwa kecurigaan yang ada tidak berdasarkan bukti yang memadai, maka buat saya titik terang untuk mencari metode kerukunan beragama yang sejati mungkin sudah mulai tampak.
 
Selain klarifkasi faktual, kita juga harus memperhatikan bahwa proses pengambilan kesimpulan tentang diskriminasi seyogyanya dilakukan dengan hati-hati. Katakanlah ada sebuah fakta bahwa Amien Rais, untuk memberikan ceramah akademik di kampus, menemui berbagai hambatan politis (hal ini sungguh terjadi pada pertengahan 1980-an). Tapi apakah fakta ini membuktikan terjadinya diskriminasi terhadap Islam? Ataukah, karena Amien Rais saat itu sangat kritis terhadap Orde Baru, seperti juga Y. B. Mangunwijaya yang Katolik dan Arief Budiman yang sekular, maka hambatan politis itu terjadi? Dalam hal yang terakhir ini kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa diskriminasi yang terjadi bukanlah terhadap agama tertentu, tetapi terhadap mereka yang kritis pada pemerintah, apapun agama yang dianutnya. Logika seperti ini, terhadap kesimpulan Frans Seda tentang diskriminasi terhadap kaum non-Islam, dapat pula diterapkan.
 
Catatan lain yang ingin saya sampaikan adalah terhadap pernyataan penting Amien Rais bahwa umat Islam ingin menegakkan kehidupan kebangsaan yang representatif dan meritokratis. Dalam hal meritokrasi, saya kira kita semua setuju bahwa metode seleksi sosial ini tidak problematik, paling tidak secara ideal. Yang rajin, pintar, tekun, dan teguh, itulah yang ”menang”. Meritokrasi, singkatnya, adalah aspirasi universal yang secara konsepsional telah dianggap ”selesai”. Yang tersisa tinggallah proses penjabarannya.
 
Tapi tidak demikian halnya dengan representasi. Mekanisme seleksi sosial dengan cara ini masih sangat problematik. Dari tinjauan konsepsional, persoalan pertama yang kita hadapi adalah mengenai garis batas representasi itu. Kalau misalnya kita menghitung proporsi pejabat suatu departemen menurut agama masing-masing, maka kenapa kita juga tidak memasukkan unsur daerah dan etnis misalnya? Apa alasan kita untuk mendasarkan representasi hanya pada kriteria agama, dan tidak yang lainnya?
 
Katakanlah kita menerima argumen representasi dalam keseluruhannya, maka bayangkanlah betapa akan repotnya kita. Setiap kali kita akan mengangkat pegawai, pejabat, atau memilih pemenang tender proyek, proporsi menurut variabel agama, etnik, dan asal daerah harus kita perhitungkan. Dan jika ini memang kita lakukan, maka pada suatu batas tertentu, ia pasti akan bertentangan dengan ideal kita yang lain, yaitu meritokrasi. Bagaimana gerangan kita menyelesaikan problematik ini? Adakah metode yang baik untuk mengatasi ketegangan antara ideal meritokrasi dan prinsip representasi?
 
Di Amerika, salah satu perwujudan dari argumen representasi adalah kebijakan affrmative action. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih menyeimbangkan proporsi warna kulit (putih dan non-putih) dan gender dalam berbagai hierarki dan jabatan-jabatan sosial, politik dan ekonomi, termasuk proporsi mahasiswa di berbagai kampus. Saat ini, walau dianggap bertujuan cukup mulia, kebijakan ini mulai banyak dianggap kontra-produktif, karena justru meluaskan kultur ketergantungan, mengurangi harga diri kelompok sasaran kebijakan itu sendiri, serta mengikis dasar-dasar sistem meritokratik, terutama di dunia universitas.
 
Jika di Amerika hal yang semacam ini terjadi pada penerapan argumen representasi, bagaimana dengan kita? Apakah tidak mungkin bahwa unintended consequences dari kebijakan semacam itu akan semakin diperburuk mengingat jalinan-jalinan sosial kita yang lebih kompleks dan tingkat kemampuan ekonomi kita yang jauh lebih terbatas?
 
Tentu, semua pertanyaan ini tidak ditujukan hanya pada Frans Seda, Amien Rais atau pada kalangan agama tertentu saja. Kita semua dituntut untuk menjawab dan membahasnya, dengan dingin dan rasional. Barangkali hal ini bisa menjadi agenda berikutnya dalam ”dialog” yang sudah diawali oleh Frans Seda dan Amien Rais. Kalau bukan oleh tokoh-tokoh seperti mereka, oleh siapa lagi masalah sangat mendasar dalam kehidupan kebangsaan kita ini harus dibicarakan dan diperdebatkan? Oleh massa di jalan-jalan, dengan cara-cara yang juga bersifat jalanan dan brutal seperti di Situbondo barusan ini?
 
30 Otober 1996

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.