Dunia dalam Genggaman The Economist

Resensi Buku Alexander Zevin, Liberalism at Large: The World according to the Economist (2019)

Adakah majalah mingguan di dunia ini yang lebih penting dan lebih berpengaruh dari The Economist? Dari mana asal-usul pengaruh majalah yang menyebut dirinya sebagai newspaper ini?

Sementara media cetak lain di AS, Eropa, dan Asia tertatih-tatih bertahan dalam era digital, mingguan yang berpusat di London ini malah tumbuh cepat, lebih sepuluh kali lipat dibanding dua dekade silam, dengan jumlah pelanggan di kota-kota besar dunia kini mencapai 1,5 juta.

Dan barangkali perlu ditekankan juga bahwa pelanggan sebanyak itu bukan hanya “orang biasa”. Sejak awal kelahirannya pada 1843, majalah ini telah dibaca dan menjadi bagian dari polemik tokoh-tokoh seperti Karl Marx, John Stuart Mill, PM Gladstone. Setelah itu, hingga hari ini, daftarnya makin panjang dan beragam, melibatkan berbagai kelompok papan atas: presiden dan kaum politisi, pengusaha, eksekutif korporasi, diplomat, dan kaum intelektual.

Faktor apa yang berada di balik sukses ini? Jurnalisme yang tajam dan kreatif?

Bagi saya, terus terang, jurnalisme The Economist memang mengagumkan. Dengan bahasa Inggris yang terang, efektif, dalam kalimat-kalimat pendek, dan sering dilengkapi data aktual, ia membawa pembacanya untuk mengerti peristiwa di berbagai belahan dunia, dari politik, bisnis, hingga perkembangan sains, pendidikan, gaya hidup, dan literatur.

Boleh dikata, ketika membaca atau berlangganan majalah ini, kita merasa sebagai seorang warga dunia yang berpengetahuan luas, kosmopolitan, manusia renaisans dengan sikap yang kurang lebih reasonable dan terbuka.

Tapi bagi Alexander Zevin, kekuatan The Economist tidak terletak pada kualitas jurnalisme atau kesan pembaca seperti itu. Dalam buku setebal 538 halaman ini, dia bahkan tidak menyentuh aspek jurnalisme sama sekali, namun lebih memilih pendekatan sosiologi elite dan filsafat politik sebuah media.

Dengan kata lain, Alexander Zevin, sejarawan dari City University of New York dan editor jurnal New Left Review, menulis buku menarik ini dari sebuah historiografi yang berada di luar pakem pembahasan jurnalisme pada umumnya.

The Economist dilihat bukan hanya sebagai pencatat realitas atau pengabar fakta-fakta, tetapi lebih sebagai pelaku sejarah dengan sebuah ide besar, yaitu liberalisme—walaupun ide ini, seperti diakui oleh Zevin sendiri, pada awalnya berkembang bukan dengan definisi dan prinsip-prinsip yang koheren; sebagaimana sosialisme, misalnya, memiliki sumber gagasan yang jelas dalam karya-karya Marx dan Engels.

Buat dia, ide serta interaksi kaum jurnalis di majalah ini dengan tokoh-tokoh di lingkaran elite Eropa dan AS adalah (the) actually existing liberalism, at its most powerful. Semua itulah yang berada di balik pembentukan dunia modern selama hampir dua abad terakhir.

Zevin memang tidak berkata bahwa itulah faktor tunggal atau faktor terpenting, namun setidaknya dia berasumsi bahwa tanpa mengerti perkembangan gagasan liberal dan peran The Economist di dalamnya, pemahaman yang utuh terhadap realitas modern tidak akan bisa lengkap.

Singkatnya, lewat buku ini, Zevin, sejarawan dari aliran kiri baru, memandang pengaruh subjek yang dibahasnya dengan sangat serius, bahkan mungkin terlalu serius. Dia juga membahas peran The Economist secara kritis, tetapi dengan kekaguman yang tak dapat dia sembunyikan.

“Bagaimana saya harus menulis sesuai selera The Economist?” seorang wartawan muda yang baru direkrut majalah ini dengan sedikit cemas bertanya pada seniornya, seperti yang dicatat oleh Zevin. “Gampang,” balas sang senior. “Pretend you are God.”

Dalam satu hal, buku ini terbit tepat waktu. Vladimir Putin dua atau tiga bulan lalu sempat menegaskan bahwa “liberalisme sudah mati”. Tentu, kita tidak perlu setuju begitu saja dengan otokrat Rusia itu. Atau mungkin kita bisa langsung bertanya, betulkah? God is dead?

Buku ini tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi lewat uraian dan kritik di dalamnya, banyak hal dapat kita pelajari. Setidaknya, dari sebuah sudut yang lumayan unik, ia dapat menjadi cermin untuk melihat kembali tempat kita berdiri hari ini.

*

The Economist diterbitkan di London memang dengan sebuah maksud yang jelas, yaitu untuk menentang kebijakan tarif pemerintah, Corn Laws. Pendirinya adalah James Wilson, orang Skotlandia, pemilik pabrik topi. Bersama tokoh lainnya, seperti Richard Cobden, ia terlibat dalam gerakan oposisi melawan kaum aristokrat pemilik tanah yang diuntungkan oleh kebijakan tarif tersebut. Dalam sejarah ekonomi, gerakan inilah yang dianggap sebagai upaya pertama yang dilakukan secara sadar untuk membela sistem perdagangan bebas.

Upaya semacam ini agaknya memang sesuai dengan kondisi zaman itu. Inggris, pada pertengahan abad ke-19, adalah negara pertama yang menjadi negara industri. London berkembang sebagai pusat finansial dunia, dan kota-kota besar lainnya (Manchester, Liverpool) berubah menjadi wilayah kaum urban baru, yaitu buruh pabrik, kaum profesional, pedagang kecil, kaum artisan, pengrajin, dan semacamnya. Kaum inilah yang paling dirugikan oleh kebijakan tarif pemerintah (harga roti menjadi lebih mahal).

Bagi James Wilson sendiri, sebagaimana yang dicatat Alexander Zevin, oposisi terhadap tarif yang mencekik itu penting, tetapi konteksnya harus dilihat lebih luas: “Kami sepenuhnya percaya bahwa sistem perdagangan bebas, lebih dari faktor lainnya, akan mengembangkan peradaban dan moralitas.”

Seperti Montesquieu dan Voltaire seabad sebelumnya, James Wilson, yang sekaligus menjadi editor pertama majalahnya, percaya bahwa the age of commerce akan membawa kemajuan manusia, menghilangkan prasangka antar-golongan, bahkan menghapus perbudakan.

Selain itu, dalam pengelolaan ekonomi domestik, James Wilson ingin mewujudkan sebuah pandangan baru yang telah digagas oleh Adam Smith: “Jika upaya untuk mengejar kepentingan pribadi, yang dijamin adil dan merata buat semua, tidak mampu untuk membawa peningkatan kesejahteraan umum, maka tidak ada lembaga pemerintah yang akan mampu mewujudkannya.”

Setelah Corn Laws dicabut pada 1846, James Wilson menjadi anggota parlemen di Westminster, dan beberapa tahun kemudian dipromosikan sebagai kepala pengelola keuangan Imperium Britania di India. Di sela-sela tugas utamanya di negeri ini, ia juga mendirikan Standard Bank, sebuah lembaga multinasional yang kini dikenal sebagai Standard Chartered Bank, dengan 1.200 anak cabang di berbagai kota besar dunia.

James Wilson meninggal di Kalkuta pada 1860, dan posisinya kemudian diteruskan oleh anak mantunya, Walter Bagehot.

Di tangan editor baru inilah The Economist mulai menemukan bentuknya sebagai mingguan berpengaruh, bukan hanya sebagai semacam pamflet perjuangan. Dalam istilah sekarang, Bagehot adalah seorang intelektual publik. Ia penulis yang cerdas, tajam, prolifik, dengan perhatian luas, dari bisnis, filsafat, seni, hingga gosip politik mutakhir (entah kenapa, setiap kali saya membaca tentang tokoh ini, saya selalu teringat pada sosok Goenawan Mohamad dan Majalah Tempo di dekade 1980-an).

Selain menjadi editor dan bergaul intens di lapisan elite Eropa, Bagehot juga menerbitkan beberapa buku—The English Constitution dan Physics and Politics—yang pada zamannya dianggap sebagai karya-karya utama yang lahir dari tradisi intelektual Inggris. Pendek kata, di tangan Bagehot, majalah ini mulai menjadi bacaan utama dan menancapkan pengaruhnya yang lebih luas. Atas peran penting ini, sejarawan Amerika Jacques Barsun menyebut editor muda itu sebagai the greatest Victorian.

Alexander Zevin sendiri, dalam memandang peran Bagehot terhadap majalah yang dipimpinnya, menjelaskan dengan setengah meledek, setengah memuji: “a totemic figure in and beyond its pages.” Selain itu, dalam sebuah bab tersendiri, Zevin menguraikan lebih jauh dilema dan kontradiski sikap Bagehot dalam menanggapi berbagai hal penting, termasuk ekspansi imperialisme Britania, munculnya perasaan kebangsaan (nasionalisme), dan perkembangan demokrasi.

Kritik dan uraian Zevin dalam soal ini cukup berimbang. Tapi sebenarnya, kalau dilihat dari perspektif tertentu, kita bisa berkata bahwa dilema Bagehot dan The Economist adalah dilema zaman itu, saat transformasi masyarakat terjadi begitu cepat, luas, mendalam, dan melahirkan proses sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.

Revolusi industri bukan hanya soal produksi, urbanisasi, atau konsumsi massal. Dengan kereta api, kapal uap, telegram, dan mesin cetak, ia mengubah sama sekali pola dan kecepatan hubungan sosial.

Singkatnya, zaman itu, kalau kita boleh meminjam ungkapan gerakan romantik Jerman, dapat disebut sebagai sebuah kurun yang dicirikan oleh sturm und drang, badai dan tekanan perubahan. Dalam konteks ini, penyikapan yang konsisten terhadap berbagai soal fundamental tentu bukan hal yang mudah dilakukan siapa pun, termasuk oleh Bagehot dan kaum liberal lainnya.

Dalam soal demokratisasi, misalnya, salah satu isu yang ditekankan Alexander Zevin adalah perluasan hak pilih, baik kepada kaum urban baru maupun kepada kaum perempuan. Soal ini bersifat fundamental: siapa yang layak menjadi “demos” dalam demokrasi? Kapan dan seberapa cepat hak dasar individu diperluas buat semua orang, bukan hanya dibatasi pada kaum terdidik, atau kaum yang memiliki properti, atau kaum pria saja?

Dalam menjawab soal seperti itu, Bagehot bertentangan dengan John Stuart Mill, dan Tocqueville berbeda dengan Herbert Spencer.

Perbedaan demikian mungkin saja menarik kalau terus dikejar, tapi menurut saya agak trivial. Sebagian besar perbedaan di kalangan kaum liberal saat itu adalah pada soal skala serta kecepatan menyerap perubahan, bukan pada perlunya atau pada tipologi perubahan itu sendiri. Mereka memang turut memengaruhi, namun mereka juga pasti dibentuk oleh zaman mereka.

Yang jelas, di awal perumusan era modern, Bagehot dan kaum liberal lainnya turut memberi “arti” bagi pertanyaan-pertanyaan dasar yang diakibatkan oleh transformasi besar tersebut. Mereka percaya pada reason dan kemajuan manusia; mereka yakin bahwa setiap individu bersifat unik dan, dalam ketakpastian kehidupan, mampu mengatur diri mereka sendiri serta berkembang sesuai dengan bakat masing-masing; dan dalam semua ini, tugas pemerintah dan otoritas publik lainnya adalah sebagai pengatur atau pembuka kemungkinan, bukan lembaga pemaksa yang sewenang-wenang.

Itulah gagasan dasarnya, dan gagasan baru seperti ini tidak mungkin direalisasikan seketika. Dalam soal demokrasi dan proses politik yang lebih besar, abad ke-19 adalah sebuah awal: perjumpaan ide-ide liberal dengan kekuatan politik populer yang lebih terintegrasi (demokrasi liberal) baru mulai terwujud di awal dan pertengahan abad ke-20.

Satu hal penting patut juga dicatat, walau sayangnya tidak dibahas oleh Zevin dalam buku ini. Periode awal The Economist berlangsung dalam sebuah rentang waktu di mana peningkatan kesejahteraan umum di Inggris, Eropa, dan Amerika mulai melaju pesat. Kalau memakai grafik, akan terlihat bahwa pada kurun itulah garis pertumbuhan ekonomi mulai bergerak ke atas, meninggalkan pola historis ribuan tahun sebelumnya yang cenderung stagnan.

Pergerakan progresif tersebut pasti berkaitan dengan industrialisasi, perkembangan teknologi, sistem perdagangan bebas, serta kondisi perdamaian yang relatif panjang di Eropa setelah perang dan penaklukan Napoleon. Namun apakah ide-ide liberal berpengaruh langsung terhadapnya? Adakah ide lain sebagai alternatifnya? Jawaban dan spekulasi terhadap pertanyaan inilah yang menjadi salah satu driving forces dari dinamika politik abad ke-20, bahkan sampai hari ini.

*

Setelah Bagehot, editor The Economist umumnya direkrut dari dua universitas ternama Inggris, yaitu Oxford dan Cambridge. Hingga akhir abad ke-19, istilah youthful vigor, semangat muda, masih layak untuk dilekatkan kepada mereka. Namun setelahnya, di tahun-tahun menjelang Perang Dunia Pertama, majalah ini oleh Alexander Zevin dianggap sudah berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari elite liberal yang mulai mapan.

Jika sebelumnya pesaing utama liberalisme adalah konservatisme dan sosialisme, saat itu penantang baru yang muncul adalah fasisme dan komunisme. Pada saat yang sama, karena pusat gravitasi dunia beralih dari Britania Raya ke Amerika Serikat, fokus pembahasan majalah ini juga banyak mengulas pasang-surut Pax Americana—dan di masa awal peralihan fokus ini, pemimpin AS seperti Woodrow Wilson (pelopor konsep The League of Nations, cikal bakal PBB) dan Franklin D. Roosevelt (pendorong lahirnya bentuk negara kesejahteraan, welfare state) rupanya memiliki daya tarik tersendiri bagi editor majalah ini.

Alexander Zevin menguraikan banyak hal menarik tentang posisi The Economist dalam merespons perkembangan serta tantangan baru tersebut. Majalah ini cukup fleksibel, dengan memperluas jaringan koresponden dan ragam penulis tamu yang diundangnya, dari John Maynard Keynes, Harold Laski, hingga Isaac Deutscher, pemikir Marxis asal Polandia yang menulis biografi Trotsky dan Stalin.

Setelah melewati masa Depresi Besar dan dua perang dunia, fleksibilitas tersebut ditarik sejauh mungkin dalam sebuah posisi intelektual yang oleh Zevin disebut the extreme center. “Persoalan abad ini,” demikian The Economist sebagaimana dikutip Zevin, “adalah bagaimana kita menemukan metode paling bermanfaat dalam mengombinasikan perencanaan—perencanaan yang tepat dan terukur—dan kebebasan.”

Walau hanya disinggung sedikit dalam buku ini, sebenarnya pengertian kita akan lebih lengkap jika salah satu perdebatan penting dalam periode itu, yaitu antara Hayek dan Keynes, juga diulas dan diberi perspektif. Pada intinya, sejauh kita berbicara tentang dilema perencanaan dan kebebasan, atau antara gerak pendulum kiri-kanan dalam konteks gagasan politik-ekonomi, perdebatan kedua pemikir itulah yang kerap dianggap sebagai salah satu momen penting dalam sejarah intelektual liberalisme.

Waktu itu, menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua, Friedrich Hayek, pemikir Austria yang mengungsi ke London untuk menghindari nazisme Hitler, menerbitkan The Road to Serfdom (1944). Buku ini muncul tepat waktu dan dengan cepat, khususnya di AS, langsung menjadi bacaan populer.

Lewat karya ini, Hayek menekankan bahwa fasisme, nazisme, dan komunisme memiliki ambisi dan dasar filosofis yang bersinggungan. Ketiga sistem besar ini berujung pada despotisme serta kontrol total atas masyarakat karena ketiganya menghilangkan kebebasan yang spontan dalam dunia ekonomi sehari-hari. Kebebasan politik membutuhkan kebebasan ekonomi. Jika yang satu dikekang, yang satunya lagi pasti akan terjepit.

Dengan ide seperti itu, Hayek mengingatkan Inggris dan negeri demokrasi lainnya untuk berhati-hati dalam soal perencanaan ekonomi serta berbagai bentuk intervensi pemerintah yang terlalu ambisius. Keynes, yang waktu itu sudah dianggap sebagai raksasa dan pelopor cabang ilmu ekonomi makro, bersimpati pada pemikiran dan pribadi Hayek. Dan memang, bagi Keynes, dinamisme ekonomi dalam banyak hal bergantung pada apa yang disebutnya the animal spirit, kehendak dan nafsu manusia untuk mencari keuntungan bagi diri atau kelompoknya sendiri.

Pada intinya, Keynes setuju bahwa garis batas dalam polarisasi antara kebebasan dan perencanaan harus jelas. Namun, dalam surat pribadi kepada Hayek—sebagaimana dikutip oleh Edmund Fawcett dalam Liberalism, the Life of an Idea (2014)—Keynes sempat mengeluh: “(soalnya adalah) Anda tidak memberi penjelasan sama sekali di titik mana garis batas tersebut harus kita tarik.”

Garis batas dan proporsi: itulah esensinya. Dan pada periode itu Keynes, bukan Hayek, serta ekonomi Keynesian yang kemudian lebih diterima sebagai “metode operasional” bagi titik temu atau jalan tengah dari polarisasi demikian. Hal inilah yang saat itu dikenal sebagai the post-1945 consensus.

Sebagian editor The Economist adalah murid-murid Keynes di Cambridge. Dengan mudah mereka menjadi semacam juru bicara dan pembela jalan tengah tersebut. Dalam konteks ini, gagasan liberal sebagaimana yang diperjuangkan James Wilson dan Walter Bagehot hampir seabad sebelumnya sudah agak bergeser dan, dalam pengertian tertentu, makin memperkaya korpus pemikiran yang berada dalam cakupannya.

Dengan semua itu, menurut Alexander Zevin, majalah ini mengawal perluasan lebih lanjut konsep negara kesejahteraan serta kompromi praktis dalam panggung politik yang menjadi prasyaratnya.

Dalam bentuk negara seperti inilah liberalisme menerima demokrasi sebagai sebuah modus politik permanen, dan sebaliknya pemerintahan demokratis, termasuk pemerintahan yang dipimpin perwakilan kaum buruh, mengadopsi elemen ide-ide liberal agar peningkatan kesejahteraan yang progresif serta suasana politik yang terbuka dapat terus berlangsung.

*

Pada paruh kedua abad ke-20, peran The Economist mencapai puncaknya saat persaingan AS dan Uni Soviet mulai menjadi isu dominan dalam panggung politik internasional. Perjalanan majalah ini, menurut Zevin, berkembang dan bahkan menikung tajam. “(It tooka sharp and permanent turn to the right, and to America... the liberal cold warriors.”

Di sini uraian dan cerita Alexander Zevin menjadi lebih hidup serta berwarna, sekaligus lebih personal sebab dia sempat bertemu dan menggali informasi dari banyak mantan editor dan jurnalis The Economist yang memainkan peran penting pada periode itu.

Dalam hal ini, kritisisme Zevin sebagai sejarawan aliran kiri baru juga menjadi lebih kental. Namun tampaknya dia lebih banyak bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, serta dari satu komentar ke komentar lainnya, sehingga terkesan bahwa dia lebih bermain istilah dengan pembahasan yang terlalu dipadatkan.

Hal itu patut disayangkan, sebab Zevin menghilangkan kesempatan bagi pembacanya untuk mengerti lebih dalam pergerakan arus pemikiran yang berada di balik perubahan tersebut. Bagi saya, justru pergerakan inilah yang penting dan memberi perspektif bagi “tikungan tajam ke kanan dan permanen” sebagaimana yang dikatakan Zevin tadi.

Saat itu, dimulai sekitar awal dekade 1970-an, tenda besar liberalisme mengalami perubahan lebih lanjut. Setelah hampir tiga dekade, konsensus pasca-perang ternyata mendorong peran pemerintah menjadi jauh lebih besar. Hal ini terjadi bukan hanya dalam Keynesian fine-tuning menyangkut kebijakan fiskal dan moneter, tetapi juga dalam berbagai hal lainnya, dari nasionalisasi, redistribusi dan peningkatan pajak, hingga penciptaan regulasi yang mengatur makin banyak bidang kehidupan.

Tiap negara memiliki ciri tersendiri (Amerika berbeda dengan Swedia), namun tren keseluruhan menuju pada titik yang sama, yaitu berkembangnya peran pemerintah yang sudah cukup jauh melampaui konsep awal negara kesejahteraan. Saat ekonomi tumbuh cepat pada dekade 1950-an dan 1960-an, peran yang ekspansif ini tidak dipertanyakan. Tapi ketika situasi berbalik, dengan terjadinya resesi dan kemudian stagflasi, skeptisisme terhadap peranan ekspansif tersebut mulai merebak.

Dalam salah satu bukunya (Peddling Prosperity, 1994), Paul Krugman menjelaskan pengaruh situasi baru ini terhadap perkembangan teori ekonomi: “In 1973 the magic (of postwar growth) went away… So what do you do when the magic isn’t working? You look for a new set of magicians.”

Tantangan baru membutuhkan pemikiran baru: itulah yang terjadi saat itu dan, dalam ungkapan Paul Krugman, the new magician yang berdiri di garis terdepan adalah Milton Friedman. Bersama Keynes, profesor dari Universitas Chicago ini dapat disebut sebagai dua ekonom paling berpengaruh di abad ke-20.

Milton Friedman tidak berbicara hanya tentang suplai uang, inflasi, pengangguran, konsumsi, atau berbagai hal teknis lainnya dalam dunia teori. Ia membingkai semua itu dalam konsepsi lebih besar, yaitu kapitalisme, kebebasan, dan demokrasi. Dengan cara ini, dia mengembalikan lagi terms of the debate saat itu ke dalam bingkai yang tidak asing di telinga kaum liberal lainnya.

Selain Friedman, satu nama tidak mungkin dilewatkan: Friedrich Hayek. Setelah tenggelam oleh pengaruh Keynes dan melewati masa panjang di balik layar, pemikir Austria ini kembali menarik perhatian lewat The Constitution of Liberty, bukunya yang terbit di awal 1960-an tetapi mulai banyak dibicarakan satu dekade kemudian.

Jika sebelumnya, dalam The Road to Serfdom, Hayek membela liberalisme via negativa (melihat kemungkinan buruk ide alternatifnya), kali ini dia melakukan pembelaan yang sama dengan menjelaskan berbagai elemen yang membentuk sebuah tatanan ideal, dari kebijakan ekonomi, hukum, pajak, hingga perlindungan sosial dan pendidikan. Sama dengan Milton Friedman, dia juga menjalin semua elemen teknis ini dalam berbagai penjelasan yang langsung berhubungan dengan isu kebebasan dan kemajuan masyarakat.

Friedman dan Hayek: dua kombinasi yang saling mengisi, tajam, mendalam. Keduanya juga meraih penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi pada waktu yang hampir bersamaan; Hayek pada 1974 (bersama Gunnar Myrdal) dan Friedman pada 1976.

Kalau kita melihat sejarah sebagai proses pergerakan ide-ide, kedua tokoh itulah yang barangkali paling berpengaruh dalam membuka kemungkinan bagi munculnya kaum pemimpin yang berperan sebagai agen perubahan pada dekade 1980-an: Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat.

Di samping Friedman dan Hayek, cukup banyak tokoh lain yang membuat dekade 1970-an dianggap sebagai periode yang secara intelektual sangat dinamis. Dalam teori ekonomi, Robert Lucas dan James Buchanan memberi perspektif baru dengan mendalami rasionalitas dan perilaku manusia.

Di luar itu, Isaiah Berlin, John Rawls, dan Robert Nozick menghidupkan kembali liberalisme sebagai argumen filosofis dengan konteks dan cara pembahasan kontemporer. Di AS, kaum intelektual seperti William H. Buckley Jr. dan Irving Kristol mempertemukan ide-ide konservatif dengan prinsip-prinsip liberalisme ekonomi dalam sebuah simbiosis yang unik, patriotik, bergelora.

Kembali ke Alexander Zevin: akan sangat menarik jika ia membahas bagaimana tokoh-tokoh pemikir di atas serta kaum politisi yang membawa ide-ide mereka berinteraksi dengan editor The Economist dalam kurun sejarah yang transformatif tersebut. Namun semua itu dia jelaskan secara tipis: dia, misalnya, hanya memberi julukan singkat kepada Friedman (“the televisual neoliberal”), plus sedikit uraian yang kabur, dan setelah itu berpindah lagi ke uraian serta komentar lainnya.

Di luar itu, dalam hubungan serta pergaulan The Economist dengan kaum pemimpin politik, seperti Ronald Reagan, Zevin memberi gambaran yang cukup instruktif (salah seorang editor muda majalah ini, sebagaimana dicatat Zevin, sempat menyombong: “Saya bisa masuk ke Gedung Putih kapan saja saya mau”). 

Tapi betapapun menariknya uraian seperti itu, ia lebih terkesan sebagai gosip politik ketimbang pembahasan yang mendalam tentang perjalanan sebuah ide sebagaimana yang dimaksudkan dalam judul buku ini.

*

Setelah periode penting di atas, di bagian-bagian akhir bukunya, Alexander Zevin menguraikan perkembangan peran The Economist dalam memasuki periode pasca-keruntuhan Uni Soviet pada 1989, sebuah era yang dikatakan oleh Francis Fukuyama sebagai “akhir” sejarah—sebuah akhir, sebab setelah itu liberalisme dianggap tidak lagi memiliki pesaing ideologi alternatif yang koheren dan universal.

The Economist,” demikian Zevin, “menulis lebih dari sekadar pandangan atau nasihat... Majalah ini memberikan refleksi filosofis tentang makna kemenangan liberalisme.”

Bagi Zevin, penggalan kalimat itu bukanlah sebuah pujian, tetapi sebaliknya. Justru di sinilah letak kritik Zevin yang paling tajam. Sebab menurutnya, tiga dekade setelah tahun kemenangan tersebut, situasi dunia tidak kunjung membaik.

Peristiwa 9/11, Perang Irak dan unilateralisme AS, globalisasi dan krisis finansial 2008, kembalinya kaum otokrat di Rusia dan Eropa Timur, meningkatnya ketimpangan serta dislokasi sosial di Amerika, isu imigrasi, politik identitas, dan populisme yang lepas kontrol, Brexit, Donald Trump, dan banyak lagi: semua ini, tipikal bagi orang seperti Zevin, adalah akibat langsung atau paling tidak reaksi terhadap dominasi liberalisme di era kontemporer.

Karena itu, dalam paragraf penutup bukunya, Zevin menulis sebuah sarkasme, ”Averting their gaze, liberals have scratched their head at the political volatility of the present, unable to recognize their handiwork.”

Jadi, bagi Zevin, setelah 175 tahun, setelah melewati berbagai zaman sejak lahirnya masyarakat modern, situasi itulah kini yang dihadapi The Economist. Kaum editor dan jurnalis penerus James Wilson dan Walter Bagehot, serta kaum liberal lainnya dari London hingga Washington DC, harus mengalihkan pandangan sambil menggaruk kepala sekarang, menghindari panorama buruk dari dunia ciptaan mereka sendiri yang makin kusam.

For 30 years,” demikian Zevin menyimpulkan, “it captured the zeitgeist but the zeitgeist seems to have moved on.”

Tentu saja, cara dan argumen Zevin dalam menutup bukunya bisa kita abaikan, sebab di dalamnya ada banyak asumsi yang mudah dipertanyakan. Namun satu poin di balik kritik dia memang valid dan karenanya perlu diperhatikan dengan serius: setelah optimisme pasca-1989, kaum liberal kini banyak yang bersikap melankolis, melihat masa lalu sebagai sebuah puncak pencapaian yang terus menjauh.

The future was better yesterday,” tulis Ivan Krastev, intelektual liberal terkemuka asal Eropa Timur dalam bukunya yang terbit tahun silam, The Light That Failed (ia menulis bersama Stephen Holmes). “Saat ini kita susah membayangkan, bahkan di dunia Barat sekalipun, sebuah masa depan yang tetap demokratis dan liberal.”

Problematika baru ini juga disadari oleh The Economist. Dalam memperingati ultahnya yang ke-175 dua tahun lalu, majalah ini menulis sebuah manifesto: “Liberalisme menciptakan dunia modern, tapi sekarang dunia modern berpaling darinya... Filsafat politik tidak bisa hidup hanya dari kejayaan masa lalu. Ia harus menjanjikan masa depan yang lebih cerah... It is (now) the moment for liberal reinvention...”

Sayang Alexander Zevin tidak sempat memasukkan kutipan manifesto ini ke dalam bukunya. Di balik manifesto ini terlihat bahwa The Economist tidak ingin bersembunyi dari perkembangan fakta-fakta—ia menerimanya, belajar dari apa yang sesungguhnya terjadi, dan bertekad untuk mencari jalan keluar yang masuk akal.

Akankah majalah ini dan kaum liberal lainnya menemukan kembali the zeitgeist? Bisakah mereka kembali berada di depan dan memberi arah bagi perkembangan dunia di masa-masa mendatang?

Perjalanan mungkin masih jauh. Namun di masa lalu, dalam berbagai tahap lahir dan berkembangnya modernitas, mereka telah memainkan peran yang transformatif. Dengan tradisi intelektual yang begitu panjang dan mendalam, hanya kaum ignoramus yang bisa berkata bahwa jalan bagi mereka kini sudah tertutup.

Jakarta, 17 Februari 2020

sumber: qureta.com

gambar: https://twitter.com/zevin_a

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.