Ekonomi Indonesia: Bagaimana Mempertahankan Pertumbuhan?

Oleh: Hendra Sunandar

Jakarta – Pada kuartal 1 tahun 2015, masyarakat Indonesia cukup dikejutkan dengan adanya trend penurunan pertumbuhan ekonomi di pemerintahan Jokowi. Data menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut hanya mencapai 4,71% dan jauh dari asumsi makro ekonomi dalam APBN-P 2015 yang mencapai 5,7%. Hal tersebut juga diiringi dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang mencapai angka terendah yakni Rp 13.440/USD. Selain itu, IHSG juga mengalami penurunan sampai 156,683 poin atau 3,12% pada 4.858,31. Sehingga, hal tersebut kontras dengan apa yang dicita-citakan oleh Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Mengapa hal tersebut terjadi? Mesin pertumbuhan apa saja yang memiliki pengaruh terbesar dari trend penurunan tersebut?

Dalam upaya menjawab pertanyaan tersebut, Freedom Institute bekerjasama dengan Friedrich Naumann Foundtion (FNF) Indonesia menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Ekonomi Indonesia: Bagaimana Mempertahankan Pertumbuhan?”. Diskusi ini diselenggarakan pada hari Selasa, 23 Maret 2015 dan bertempat di Ballroom Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Hadir pula Haryo Ashwicahyono (Ekonom CSIS) dan I Kadek Dian Sutrisna (LPEM UI) sebagai narasumber serta Ulil Abshar Abdalla sebagai moderator.

Sebagai pembicara pertama, Haryo lebih menekankan pada aspek ekonomi makro dalam menurunnya pertumbuhan di kuartal pertama pemerintahan Jokowi. Menurutnya, melemahnya pertumbuhan ekonomi sudah terjadi sejak bulan Maret 2014. Hal itu seiring ditandai dari menurunnya pertumbuhan dari empat aspek mesin pertumbuhan ekonomi diantaranya konsumsi, ekspor, investasi dan konsumsi pemerintah. Dari empat mesin itu, Haryo menitikberatkan pada peran investasi dan eksport sebagai mesin yang paling berpengaruh dari keempat aspek mesin ekonomi tersebut. Selain itu, Haryo juga mengatakan bahwa penurunan penerimaan pemerintah lebih dipengaruhi oleh penurunan harga minyak. Begitu halnya dengan pengeluaran pemerintah yang juga ikut mengalami penurunan. Dalam kesimpulan yang dipaparkan, Haryo melihat belum ada gejala yang baik dalam prospek pertumbuhan ekonomi. Lalu, bagaimana dengan arah kebijakan kedepan? Yang seharusnya diperlukan adalah kembali pada ortodoksi dalam artian prudential makro ekonomi sehingga menurut Haryo, stabilitas lebih penting dari pertumbuhan, mengingat neraca perdagangan di Indonesia masih sangat sensitif. Selain itu dari segi spektrum, belum ada kebijakan ekonomi Jokowi yang tegas, dalam beberapa pidato ada yang sangat pro pasar namun ada juga berargumen cukup protektif seperti pelarangan import beras misalnya. Haryo juga menegaskan bahwa kebijakan protektif juga bukan menjadi solusi untuk meningkatkan pertumbuhan.

Selanjutnya, I Kadek Dian Sutrisna sebagai narasumber kedua lebih menjelaskan mengenai tantangan dan optimisme yang mungkin terjadi di masa mendatang. Namun diawal penjelasannya, Kadek juga mengafirmasi adanya trend penurunan pertumbuhan ekonomi. Kadek mencontohkan seperti adanya penjualan semen, sepeda motor yyang menurun. Begitu juga dengan budged pemerintah yang hanya 2,2 persen, angka tersebut jauh dari kuartal 1 tahun 2014 yang mencapai 6%.

Selain itu, Menurut Kadek, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua masih mengalami perlambatan, namun hal itu juga masih sangat bergantung dari realisasi budget pemerintah. Jika realisasi berupa pembangunan infrastruktur maka permintaan import terhadap barang modal akan meningkat, jadi pertumbuhan meningkat tergantung dari neraca perdagangan. Kadek memberikan solusi dalam uupaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk yang berpenghasilan dan mampu membayar pajak ketimbang melahirkan pajak-pajak baru. Selain itu, ia menambahkan tentang tantangan pemerintah saat ini yang berada pada kondisi serba salah. Misalnya dalam upaya pemeruhan target penerimaan mengalami peningkatan tapi realitasnya justru pertumbuhan mengalami perlambatan. Kadek juga memberikan peringatan untuk lebih berhati-hati terhadap analisis neraca perdagangan, bukan berarti neraca perdagangan yang mengalami defisit itu selalu buruk, tetapi hal itu harus dibaca secara jangka panjang.

Diskusi berlangsung interaktif dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada kedua narasumber. Ini merupakan diskusi pertama dari seluruh rangkaian kegiatan Freedom Institute selama Ramadhan 1436 Hijriah.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.