Eleutheria dalam Yunani Kuno: Kebebasan Sebagai Pemenuhan Kodrat

(Mempertanyakan Pemahaman McMahon tentang Kebebasan Negatif di Yunani)

Diskusi di Freedom Institute, 4 April 2013

Pembicara: A. Setyo Wibowo – STF Driyarkara Jakarta

 

I Posisi Fred McMahon

Artikel tulisan Fred McMahon (“Human Freedom from Pericles to Measurement”, www.fraserinstitute.org, Fraser Institute, 2012) tampaknya hendak mempertahankan bahwa kebebasan yang sejati adalah “kebebasan negatif” yang “inspirasinya sudah ada (hidup)” sejak jaman klasik Yunani-Romawi. Fred MacMahon mengutip Perikles (seorang negarawan Athena dari abad ke-6 SM) untuk menunjukkan adanya kontinuitas sejarah kebebasan sebagai “kebebasan negatif” yang berujung pada, misalnya, tulisan-tulisan Hayek di era kita sekarang ini.

Setelah mendefinisikan (mengikuti Isaiah Berlin) apa itu kebebasan dalam arti negatif (yang “concerns lack of humanly imposed barriers to action”) dan apa itu kebebasan dalam arti positif (“involves freeing oneself from whatever constraints one imposes on oneself[1]”) pada halaman 9, McMahon menegaskan bahwa tujuan artikelnya adalah menunjukkan bahwa “negative freedom is the appropriate ‘type’ of freedom to measure for this project” (hl. 10). Dan “negative freedom” yang dimaksud, lebih tegasnya lagi adalah tentang “freedom that appropriately deals with economic freedom” (hl. 12).

Tujuan makalah ini jelas: a) mengajukan negative freedom (tampak dalam economic freedom) sebagai kebebasan yang sejati, b) dan itu dijadikan “measurement” untuk mengukur kadar kebebasan.

Berbeda dengan kebanyakan pemikir lain yang mengatakan bahwa “the concept of freedom does not exist in the ancient world”, maka McMahon akan mengargumentasikan bahwa dua jenis kebebasan seperti dibuat Isaiah Berlin sudah bisa dilacak ke dunia klasik Yunani-Romawi (bdk. hl. 12). Ia mengargumentasikan itu dengan catatan bahwa: 1) tentu kebebasan (negatif dan positif) yang dibicarakan di Yunani-Romawi tidak dimaksudkan sebagai “kebebasan universal”, dan 2) bahwa kebebasan (positif, negatif) memiliki makna sepenuhnya seperti yang dikatakan Isaiah Berlin hanya mulai dengan era Pencerahan (modern).

(Kebebasan Negatif sudah ada sejak era Perikles) Merujuk pada Perikles, konsep kebebasan negatif dikatakan McMahon “clearly alive” (14) di dunia klasik Yunani. Dan kebebasan negatif ini adalah “kebebasan politik”. McMahon mengutip Perikles “In our private business se are not suspicious of one another, nor angry with our neighbor, if he does what he likes; we do not pout our sour looks at him which, though harmless, are not pleasant… we are thus unconstrained in our private business” (hl. 14).

(Sementara di era klasik, sejauh Platon allergi kepada kebebasan negatif, maka Platon dimasukkan ke asal-usul kebebasan positif) Konsep kebebasan politik (kebebasan negatif) ini tidak disukai semua orang. Ia dianggap menjijikkan bagi beberapa pemikir seperti Sokrates (Platon). Mengutip Palmer, dikatakan bahwa bagi Platon “the idea of negative freedom created a ‘litany of horror’ for him”. Dan McMahon lalu menegaskan bahwa “As will be briefly noted later, Plato’s idea of freedom was positive freedom” (hl. 15, bdk. juga hl. 17 “it goes virtually without saying that the ancients did have versions of positive freedom, as it evidenced in Plato’s Republic, …”).

Ada baiknya kalau kutipan Platon ini dicarikan teks lengkapnya di Politeia[2] buku VIII  557b:  “In the first place, then, aren’t they free (eleutheroi)? and is not the city chock-full of liberty (eleutherias) and freedom of speech (parreshia)? and has not every man licence (eksousia) to do as he likes, it is obvious that everyone would arrange a plan for leading his own life in the way that pleases him”

(Kebebasan epithumia menjadi anarkis di mata Platon[3]) Rejim demokrasi yang digambarkan di atas memang menunjukkan bagaimana kebebasan (eleutheria) bisa dipraktekkan dalam licence (eksousia). Hidup di rejim demokratis artinya tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak menyuruh kita hidup dengan cara tertentu. Tiap orang bebas berpendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia ingini (Politeia 557b ).

Bila individu demokratis semacam itu membentuk negara, maka hidup bersama menjadi kumpulan warna-warni mozaik yang tampak indah, mengesankan dan menarik hati bagi kaum berjiwa dangkal, seperti kanak-kanak dan kaum wanita (Politeia 557c). Lebih dalam lagi, Platon melihat bahwa rejim demokrasi adalah rejim “bazaar of constitutions, pasar hukum” (Politeia 557d) di mana segala macam aturan dipakai dengan bebas karena dianggap cocok dan menyenangkan semua yang berkepentingan atasnya. Dengan ironis, Platon memuji rejim demokrasi yang tampak ramai, meriah, dan menyenangkan karena mampu mengakomodasi setiap selera anggotanya. Pujian ini ironis karena dengan begitu Platon menunjukkan bahwa rejim bebas-bebasan yang kebablasan sama saja dengan tiadanya  tatanan.

Kebebasan yang begitu dipuja dalam rejim demokratis akan menghancurkan hidup bersama. Tidak ada lagi sense of duty sebagai warga negara. Menjadi anggota polis (negara-kota) seolah menjadi pengunjung bazaar, yang suka-suka saja tanpa mau diikat apa pun. Platon menggambarkannya demikian: “Merasa bebas dari paksaan menjalankan sebuah jabatan dalam polis, pun kalau sebenarnya mampu melakukannya, atau, menerima untuk memerintah hanya jika sedang ingin melakukannya; merasa tidak dipaksa ikut berperang saat yang lainnya pergi bertempur, tidak menjaga perdamaian saat yang lain melakukannya hanya karena tidak menginginkannya (desire peace, epithumes eirenes); dan lagi, dalam soal kebebasan, mau memerintah dan menjadi anggota juri pengadilan bilamana kamu tiba-tiba merasa ingin melakukannya - meski sebenarnya hukum dan pengadilan melarangmu. Bukankah hal-hal itu yang dianggap menjadi hiburan menyenangkan dan paling mulia saat ini?” (Politeia 557e-558a).

Kebebasan yang dibangga-banggakan rejim demokrasi ternyata kebablasan. Menjadi warga negara dihidupi seenaknya. Saat lagi pengin apa, maka dilakukan. Jika lagi tidak pengin, diam saja. Kewajiban memberikan kontribusi kepada publik, panggilan bertempur membela negara, atau tugas-tugas kewargaan ditundukkan pada selera perut: kriterianya hanya pengin atau tidak pengin. Dalam psikologi platonisian, hidup seenak perut seperti itu artinya hidup mengikuti epithumia[4], bagian jiwa di perut ke bawah yang isinya nafsu makan, minum dan seks (atau singkatnya, nafsu akan uang).

Bila prinsip hidup demokrasi adalah suka-suka, maka kualitas keputusan politis menjadi payah. Pemimpin politik  dan kebijakan politik yang landasannya uang adalah ciri rejim demokrasi yang intinya epithumia. Maka saat memilih pemimpin, manusia demokratis juga akan disetir epithumianya. Atau ia melakukan pilihan karena iming-iming uang, atau karena epithumianya mudah terbujuk rayuan gombal yang irasional. Tidak mampu berpikir kritis menimbang  track-record kemampuan seseorang memimpin, manusia demokrat gampang diperdaya untuk memilih calon pemimpin yang berkotbah manis bahwa “ia mencintai rakyat” (Politeia 558b-c).

(Inti Pembahasan Makalah Ini) Platon memang sangat kritis terhadap “kebebasan” yang kebablasan seperti itu. McMahon menangkap bahwa posisi Platon adalah mengutamakan “kebebasan positif”. Padahal concern McMahon adalah mengunggulkan “kebebasan negatif (dalam arti economic freedom)”. Saya akan mencoba menjelaskan posisi Platon nantinya. Pertama, saya akan menunjukkan bahwa eleutheria sebagai kebebasan negatif (sebagaimana dipertahankan McMahon) saat ini banyak didiskusikan. Bertitiktolak dari situ, dengan mencari pemahaman lain bahwa eleutheria Yunani bermakna “kebebasan positif” saya akan menjelaskan kira-kira apa maksud sebenarnya Platon.

II Mempertanyakan Klaim McMahon dan Makna Eleutheria

Menurut saya, klaim bahwa “kebebasan yang sejati adalah kebebasan negatif yang inspirasinya sudah ada (hidup) sejak jaman klasik Yunani-Romawi” ini terlalu umum, sehingga memang bisa jadi benar, tetapi juga kurang tajam. Klaim ini bisa jadi benar karena siapa bisa menolak bahwa kata “bebas” (dalam artinya yang negatif)  sudah ada sejak jaman Perikles dan dikritik Platon)? Bahkan, McMahon mengutip beberapa sejarawan klasik untuk menguatkan argumennya. Namun klaim ini terlalu umum karena karena semacam menyembunyikan – sesuatu yang sebenarnya disadari McMahon[5] -  perbedaan mencolok antara konsep individu di jaman modern (subyek otonom) dan di jaman klasik (di mana individu hanyalah “bagian” dari sesuatu yang lebih besar, yang tidak bisa dikatakan sebagai “subjek” dalam arti modern). Mungkin karena keumuman tesisnya inilah, artikel ini juga tidak tajam melihat bahwa “kebebasan” dalam dunia klasik justru tidak terutama negatif, melainkan pertama-tama bersifat positif.

(Kebebasan diasalkan dari konsep Eleutheria) Istilah kebebasan (bahasa Latin: libertas, liberum arbitrium; bahasa Jerman Freiheit, Willkür; bahasa Inggris: liberty, freedom), dalam bahasa Yunani kuno diistilahkan terutama dengan a)eleutheria”. Namun, ada istilah lain untuk “kebebasan” seperti b)hekon” (artinya “secara sengaja”, volontaire), merujuk pada pelakunya, pada seseorang yang “bebas, mau, sengaja”; atau c)hekousios” (artinya merujuk pada “tindakan” yang dilakukan dengan sengaja). Sedangkan di kalangan kaum Stoa nanti muncul istilah d)ta eph’ hemin” (apa yang tergantung padaku) sebagai sesuatu yang bebas (diperlawankan dengan apa yang “niscaya, takdir”). Dari pemahaman internal seperti Stoa ini, muncul istilah lain untuk kebebasan, yaitu, e) to autoxousion yang berarti “menjadi tuan atas diri sendiri”. Akhirnya, soal kebebasan juga diekspressikan dalam f) semua kosa kata yang merujuk pada keinginan, maksud, kehendak (boulesis, boulesthai, thelesis, ethelein), menimbang (bouleusis, bouleuesthai) dan keputusan (hairesis, proairesis).

Semua kata-kata itu cenderung dengan gampang kita terjemahkan sebagai “kebebasan” dalam arti modern, sehingga teks-teks Platon atau Aristoteles kemudian dibaca di luar konteksnya.

Dalam istilah modern: kebebasan (sebagai libertas, liberty, freedom) dipahami sebagai: 1) tidak adanya paksaan, sesuatu yang terjadi secara spontan; atau 2) sebuah kehendak yang lepas bebas tanpa disetir oleh sesuatu (sehingga di sini kehendak bisa bebas untuk 2.a) bertindak atau tidak bertindak, atau 2.b) memilih tindakan tertentu atau tindakan kebalikannya). Di tingkat inilah kita berbicara tentang liberum arbitrium, libre arbitre, atau kita terjemahkan sebagai “kehendak bebas”.

Dalam artinya yang modern, “kebebasan” dipahami sebagai tiadanya paksaan, spontanitas, autodeterminasi (kehendak yang menentukan dirinya sendiri). Dan menurut Claude Romano[6], makna eleutheria dalam khasanah Yunani mesti dipahami secara lain, berbeda dengan arti-arti modern di atas.

Kita akan melihat bagaimana eleutheria (kebebasan) memang biasa ditafsirkan secara politis sebagai “kebebasan negatif (dekat dengan economic freedom)”. Kemudian akan ditunjukkan makna lain yang menarik untuk dikaji (eleutheria sebagai kebebasan dalam arti positif, sebagai kepenuhan phusis/kodrat). Dan akhirnya, akan diberikan contoh bagaimana pemahaman filosofis tentang kebebasan sebagai “kesempurnaan kodrat” itu dalam pemikiran Platon dan Stoicisme.

II. A Tafsir lama atas eleutheria: tafsir politis

Kata eleutheria sering diartikan berdasarkan etimologi kata “eluth-, eleuth-“ yang artinya “pergi ke mana kita mau”. Frase “to elthein hopou erai” artinya “pergi ke mana pun yang kita anggap baik”. Dari etimologi “pergi ke mana kita mau” ini, pemahaman filosofis atas eleutheria lalu seringkali menggiring orang ke pemaknaan politis[7].

Maksudnya, saat kita berbicara tentang “manusia bebas” Yunani, eleutheria dikontraskan dengan “budak”. Manusia bebas adalah manusia yang bisa pergi ke mana pun ia mau (berbeda dengan budak yang pergerakannya terbatas). Inilah tafsir yang dibuat oleh Hegel, Hannah Arendt, A. J Festugière, dan M. Pohlenz. Manusia “bebas” – sejauh berbeda dengan kaum budak – lalu disinonimkan dengan “warga negara/polis”. Hanya manusia bebas (eleutheros) yang bisa berpartisipasi atau berkuasa secara politis. Dalam kontrasnya dengan kondisi kaum budak, maka kebebasan diartikan secara negatif sebagai “tidak terhambat untuk pergi ke mana pun ia mau”.

II.b. Pemahaman baru tentang eleutheria : pertumbuhan/perkembangan/phusis

Lama eleutheria dipahami sebagai « kebebasan negatif » seperti itu. Namun ada ahli-ahli lain yang tidak kalah kompetennya yang memberi makna lain. Benveniste (Le Vocabulaire des institutions indo-européennes) dan P. Chantraine (Dictionnaire étymologique de la langue grecque) menunjukkan kekayaan makna kata eleutheria.

Menurut para ahli ini, makna terpenting eleutheria bukanlah makna negatifnya (tidak terhambat untuk pergi ke mana pun seseorang mau) melainkan justru makna positifnya. Benveniste menunjukkan bahwa akar kata dari eleutheros adalah *leudh-, yang artinya « bertumbuh, berkembang » yang dalam bahasa-bahasa Slavia dan Jerman lalu dekat dengan istilah « Leute » (rakyat, bangsa). Dengan demikian ada dua pemaknaan yang penting untuk diartikulasikan ketika berbicara tentang eleutheria : di satu sisi, keberakaran pada sebuah komunitas etnis tertentu (rakyat, bangsa  tertentu) ; di sisi lain, ide tentang pertumbuhan yang akan mencapai bentuk sempurna.

Bila demikian artinya, maka eleutheria tidak pertama-tama merujuk pada kebebasan negatif (bahwa kita tidak dihambat, atau terbebaskan dari sesuatu), melainkan justru pada arti positifnya : sebuah keberakaran pada etnis/bangsa di mana di situ ada pertumbuhan sempurna. Keberakaran pada etnis/bangsa inilah yang menjadi landasan mengapa « para budak, dan kamu metexoi (orang asing) » tidak pernah dianggap sebagai « eleutheros » (orang bebas) di Yunani.

Makna pertama dari eleutheros adalah « berada/berakar di kalangan bangsa sendiri » (di rumah sendiri) yang dikontraskan dengan orang-orang non Yunani (« barbaros »). Orang bebas adalah orang yang ada di rumahnya sendiri, at home, di kalangannya sendiri, dan bertumbuh dengan sempurna di situ.

Dengan demikian, berkaca dari para ahli etimologi Yunani dan Indo-eropa, maka kata eleutheria (kebebasan) rupanya sama sekali tidak politik, melainkan “biologis” (etnisitas, bangsa) atau “fisik” (phusis, yan merujuk pada nature yang secara niscaya memang selalu berkembang menuju kesempurnaanya)”. Phusis sebuah pohon mangga adalah biji mangga (pelok). Dan biji mangga sebagai “nature”-nya Pohon mangga ini secara niscaya – bila tanah dan air cocok - selalu bergerak mengembangkan dirinya menjadi pohon mangga. Kebebasan adalah “optimalnya nature” sesuatu.

II.c Kebebasan/eleutheria adalah kepenuhan kodrat/phusis

Dari pemahaman baru atas akar kata eleutheria ini, kita lalu sampai ke sesuatu yang sama sekali tidak modern! Bila orang modern cenderung mengatatakan kebebasan artinya “bebas dari kungkungan hukum alam/kodrat”, maka untuk orang Yunani, bebas artinya “berkembang sepenuh-penuhnya mengikuti phusis/kodratnya”.

Berkaca pada Heidegger, phusis adalah “determinasi paling asali untuk segala yang ada (being)”. Phusis (nature) adalah yang asali, yang kemudian berkembang bergerak mencapai kepenuhannya. “Apa yang ada adalah phusis yang mengujudkan dirinya » (Heidegger, Le principe de raison, hl. 162). Phusis dipahami sebagai daya asali yang membuat apa yang bergerak (dunia-kemenjadian/genesis) menjadi benar-benar bertumbuh dan bergerak menuju kesempurnaannya. Eleutheria (kebebasan) merujuk pada phusis seperti itu. Kebebasan adalah cara phusis itu sendiri ber-ada. Kebebasan merujuk pada « daya asali yang mengembangkan dirinya sendiri menuju kesempurnaan dirinya sendiri ».

III. Filsafat Platon: menjadi manusia bebas adalah yang mengikuti kodratnya sebagai mahkluk rasional

Kita bisa mengatakan juga bahwa bagi Platon, manusia yang bebas (eleutheros) adalah manusia yang phusis-nya (yaitu jiwanya, atau lebih spesifik lagi, rasionya) terkembangkan secara optimal. Hanya manusia yang rasional yang benar-benar bebas. Manusia budak bukanlah manusia yang secara politis tidak bisa bergerak ke sana sini. Untuk optik Platon, manusia budak adalah manusia yang « phusisnya » terhambat, terblokir, sehingga lalu menjadi orang-orang yang irasional (artinya, yang hanya mengabdi pada kepentingan uang dan harga diri). Bagi Platon, manusia bebas adalah dia yang phusis-nya (sebagai mahkluk rasional) terkembangkan dengan optimal.

Ketika Platon membicarakan yang terdalam dari diri manusia, maka Platon berbicara tentang “jiwa” manusia, sebuah kompleksitas gerakan yang saling beradu dan tarik menarik. Yang terdalam dari diri manusia (phusis/nature/kodrat) bukanlah sesuatu yang “pejal”. Jiwa bagi Platon bukan “sesuatu”, melainkan gerakan terus menerus antar ketiga unsur yang menjadi penyusunnya: epithumia (di perut ke bawah), thumos (di dada) dan rasio (di kepala). Dan seturut idealitas Platon , manusia akan betul-betul optimal kalau dalam gerakan konflik di dalam dirinya itu “rasio” berhasil mendominasi unsur-unsur lainnya. Seturut pemahaman Platon, manusia akan kodrat (phusis) manusia akan terkembangkan secara sempurna (optimal, arete) bila rasionya menguasai dirinya.

-        Manusia bukanlah binatang (yang irrasional) bukan pula para dewa (yang illahi); manusia ada di antara binatang dan para dewa. Kekhasan manusia ada pada rasionya, sehingga ia bisa menghindarkan diri dari kebinatangan (yang melulu hidup menurut epithuma dan agresivitas thumos) dan mendekatkan diri pada yang illahi (yang serba penuh kebaikan).

 Internal manusia (jiwa-nya)

Objek pemenuhan

 

HASRAT/EROS (sebuah rasa kurang yang meminta pemenuhan secara niscaya)

 

1 (Hasrat) Logistikon/Rasio

 

 

2 (Hasrat) Thumos/Rasa Bangga, Harga Diri

 

 

 

3 (Hasrat) Epithumia/Nafsu (perut ke bawah)

 

 

Objek di luar yang memenuhi rasa kurang  dari si Hasrat (objek itu namanya KEBAIKAN)

 

 

1 Objeknya kebaikan yang sebenarnya (pasti “benar” dan “indah”)

 

2 Prestasi, Kemenangan, Heroisme adalah apa-apa yang akan memenuhi hasrat thumos, apa-apa yang berguna bagi thumos, “kebaikan” bagi Thumos.

 

3 Makan, minum dan seks (atau singkatnya uang) adalah apa yang dianggap baik dan berguna bagi memenuhi epithumia. Kebaikan di sini adalah UANG.

Apa yang disebut “kebebasan” merujuk pada “daya asali yang mirip-mirip dengan ruang kosong di mana ketiga unsur itu saling bertempur tanpa henti”. Kebebasan memang ada kaitannya dengan pemenuhan/pengembangan “hasrat/eros”. Itu makanya kebebasan bisa berujud pada tiga level

-        pada epithumia, “kebebasan” adalah ketika hasratnya akan uang terpenuhi (kaum philokrematos, pecinta uang)

-        pada thumos, “kebebasan” tampak dalam sikap terpenuhinya segala “emosi hatinya” (kaum philothumos, pecinta harga diri)

-        pada rasio, “kebebasan-sejati” akan mewujud ketika ia berhasil mengajak epithumia dan thumos menimbang dan menemukan “kebaikan tertinggi” (sehingga akhirnya epithumia tidak lalu memperbudakkan diri pada pencarian uang demi uang, sehingga agresivitas dan harga diri thumos juga tidak membabi buta). Pada level kebebasan rasional inilah menurut Platon akan bisa dijumpai manusia-manusia pecinta kebijaksaan (kaum philo-sophos).

Saat rasio bisa mengambil jarak, bisa menyadari apa yang diinginkan epithumia dan apa yang dikejar thumos, lalu mengarahkan kedua unsur tadi ke “kebaikan yang sejati” (dan bukan sekedar kebaikan uang atau kebaikan harga diri), maka di situ muncul yang namanya manusia bebas, manusia yang optimal, yang hidup mengikuti kekhasan dirinya sebagai manusia (rasional). Buku The Republic, lewat allegori Goa dan seluruh wacananya tentang paideia (pendidikan) merupakan pemaparan bagaimana kaum natural philosophers (anak-anak yang dari phusis-nya berbakat filsuf) dididik dengan tepat sehingga nantinya menjadi figur kalos kagathos (kaum filsuf raja dan ratu, kelas pemimpin).

IV. Stoicisme: kebebasan adalah kesesuaian dengan Logos Semesta

Bagi kaum Stoa, phusis segala sesuatu adalah Logos. Alam semesta phusis-nya logos/api. Dan dalam diri manusia, logos itu adalah jiwanya! Maka manusia Stoa yang mengejar kebebasan batinnya artinya juga menyempurnakan phusis-nya/kodratnya. Ia akan mengusahakan agar jiwanya (logosnya, phusisnya) cocok dengan Logos semesta.

 Kebebasan

 (Diriku Yang Sejati/Jiwaku/logos manusia)

 Necessity/Logos Semesta

 (Apa yang Niscaya Ada/Semesta)

 Apa-apa yang tergantung padaku

  • caraku merepresentasikan sesuatu
  • caraku menilai representasiku
  • caraku mengiyai penilaianku
  • caraku menindaklanjutinya (tindakan atau emosi)

 Apa-apa yang tidak tergantung padaku

  • tubuhku
  • harta benda, reputasi, nama
  • anak, istri keluarga
  • semua peristiwa yang terjadi

Bagi kaum Stoa, kebebasan adalah “inner freedom”, saat aku sepenuhnya mengendalikan apa yang tergantung pada diriku (yaitu jiwaku) sehingga aku tidak terganggu oleh apa pun yang terjadi di luar kebebasanku (bentuk tubuhku, warna rambutku, kekayaanku, prestasiku, keluargaku, segala peristiwa di luar diriku).

Orang Stoa percaya bahwa “yang menganggu kita seringkali bukan apa-nya/fakta-nya sesuatu, melainkan representasi atas apa/fakta tersebut”. Padahal kalau kita bisa meluruskan cara kita merepresentasikan sesuatu,maka di situ kita akan “tenang (apatheia)” dan akan mengiyai dengan gembira apa saja yang terjadi. Segala sesuatu (alam semesta) sudah diatur oleh Logos, tertata secara rasional. Maka tugas “logos kecil kita” (jiwa kita) untuk menyesuaikan dengannya.

(Perbedaan dengan konsep modern tentang kebebasan) Tampak sekali bahwa dalam pemikiran kaum Stoa dan Platon tidak ada hasrat menaklukkan alam semesta (seolah-olah manusia menganggap dirinya sebagai elektron bebas yang bisa mengatasi, melampuai Alam Semesta). Tidak ada pretensi bahwa manusia menjadi “wakil Allah” (sehingga lalu seperti Allah berpretensi berada di luar dan mampu “menciptakan Alam Semesta”). Bagi orang Yunani, manusia adalah sepenuhnya “bagian dari phusis, dari kosmos”. Manusia sudah ada di tatanan keindahan (kosmos) tertentu. Tugasnya hanyalah “menaklukkan diri sendiri” agar ia bisa menyesuaikan diri dengan tatanan (keindahan) yang sudah ada. Ada resiko fatalisme di sini. Sementara kebebasan dalam artinya yang modern berakar pada “subjek otonom” (bahwa manusia sebagai manusia, sejauh ia adalah unik dan ciptaan singular, memiliki sesuatu yang inalienable sebagai “gift” dari Allah). Konsep kebebasan ini menekankan primasi individu di atas segalanya. Resikonya memang manusia lalu merasa diri menjadi tuhan, a) atau ia bersikap represif terhadap alam dan sesamanya, atau b) ia bebas-bebasan anarkis.

V. Penutup

Tampaknya memang tidak terlalu penting mencoba menelaah perbedaan dan mana yang lebih penting antara kebebasan dalam artinya yang negatif atau positif. Artilkel dari  McMahon tampaknya ingin mengedepankan “kebebasan negatif”, dan cenderung menunjukkan kelemahan “kebebasan positif” yang beresiko menjadi totaliter (sebagaimana tampak dalam Monotheisme atau rejim-rejim totaliter seperti Komunisme). Namun akan menjadi ironis kalau akhirnya “kebebasan negatif” tersebut lalu berujung pada “measurement” (sebuah “pengukuran”, “alat ukur”). Kalau sudah menjadi “tolok ukur” (misalnya negara bebas didefinisikan dari “kebebasan negatif” artinya sejauh mana negara tidak menghambat ekspresi gay dan lesbian), maka bukankah model ini menjadi sebuah “positivisme” baru?

Mengikuti Platon, saya cenderung untuk tidak “mendefinisikan” kebebasan. Kalau mau berbicara tentang “idea kebebasan”, maka kebebasan itu tidak bisa didefinisikan. Ia hanyalah cakrawala, horizon yang “ada” tetapi “tidak bisa didekati, sehingga sepertinya tidak ada”. Seperti perahu kita yang tidak pernah menyentuk batas cakrawala, maka perjuangan mencari kebebasan adalah perjuangan terus menerus.

Dalam bahasa romo Magnis, kebebasan (seperti keadilan) mesti diperjuangkan secara “negatif” dalam arti “logis”. Maksudnya, untuk mewujudkan keadilan, tidak perlu kita mendefiniskan (dan membuat tolok ukur baku) tentang “apa itu keadilan” (idea keadilan), melainkan yang penting adalah memperjuangkan tahap demi tahap menghilangkan ketidakadilan-ketidakadilan yang di depan mata. Penaklukkan dan pelampauan ombak demi ombak ketidakadilan kita harapkan mendekatkan kita pada cakrawala (keadilan). Meski kita tidak tahu, kapan keadilan benar-benar tergapai....

Perjuangan “kebebasan” tidak pernah selesai. Contoh yang bagus adalah Kisah Camar Jonathan Livinstone Seagull (atau Alegori Goa Platon yang versi modernnya menjadi “bioskop” dalam terjemahan terbaru Alain Badiou). Awalnya: kebebasan artinya “bebas dari”: bebas dari kelompok, bebas dari tekanan tradisi camar, bebas dari tubuhnya supaya bisa mencapai “perfect speed”. Sang tahanan terbebaskan dari kawanan tahanan dan dari kegelapan goa. Tengahnya: bebas adalah bebas positif: ia bisa menikmati keindahan perfect speed. Sang tahanan menikmati keindahan dunia sejati di luar goa. Akhirnya: bebas adalah bebas yang positif dan negatif: pada titik ini ia mengorbankan dirinya, meninggalkan kenikmatan surga kebebasan, kembali ke dunia penuh penindasan, untuk memperjuangkan kebebasan bagi orang lain.


[1] Definisi kebebasan positif ini selanjutnya dikatakan sbb: “This enables the person to find his or her true self. It implies some sort of higher and lower plane of being with the higher plane freeing itself from constraints omposed by the lower plane. For example, class consciousness would have been perceived by manys communists as part of a lower self, blocking the release and freedom one experience under the higher form of socialist liberty” (hl 9). McMahon mendekatkan konsepsi kebebasan positif dengan “totaliterisme” sebagaimana tampak dalam rejim Komunis maupun Agama. TOR untuk diskusi malam ini dengan tegas mengatakan: “Berlin sendiri berpendapat, bahwa kebebasan positif bukanlah kebebasan yang sesungguhnya. Ada kecenderungan otoriter dalam konsepsi kebebasan positif, terutama dalam pengertiannya yang kedua (yaitu saat kebebasan positif memaksakan aturan tentang kebaikan tertentu yang harus digapai)”.

 Mengenai agama, McMahon menulis di hl. 24: “Although the New Testament talks of positive liberty in Christ, people wer not forced to this liberty by other Christians. That changed as Christianity developed, particularly in the centuries following the official adoption of Christianiy bythe Roman empire, and reached horrific levels during the wars of the Reformation. Early Muslim states, at least for the time, practiced high levels of tolerance, but that too changed over time for some sects of Islam (Lewis, 2003; and Jenkins, 2010)”. Dari paragraf singkat ini bisa diperlihatkan adanya insinuasi bahwa agama (yang memiliki “kebebasan positif” dalam arti, memiliki “definisi tentang kebebasan” dan bahwa untuk mencapainya harus “menindas lower self”) ketika berpolitik lalu cenderung menjadi penindas. Kebebasan yang dipahami secara positif cenderung menindas. Tentu ini sulit dibantah. Namun apakah selalu demikian? Tafsir atas kebebasan positif yang “selalu” totaliter inilah yang ingin saya kritik. Pasti ada cara lain untuk memahami “penggapaian kebebasan”.

[2] The Republic, edisi Loeb Classical Library, terjemahan Paul Shorey, 1970.

[3] Analisis tentang demokrasi yang anarkis ini sudah saya buat dalam « Anarki dalam Demokrasi », Majalah Basis, 23 April 2012.

[4] George Leroux memberi catatan untuk teks Politeia 557b (dalam terjemahan prancis Platon : La République, Paris : GF Flammarion, 2002, catatan kaki 57, hl. 700), “la description de la cite démocratique est centre sur al liberté. D’abord la liberté des désirs, puisque c’est le principe du désir qui y règne, mais aussi la liberté de chacun d’accéder aux charges, le pouvoir étant indifférement au mérite. Ce constant était partagé par Aristote (Pol. VI 2 1317a40) ». Désir ada di wilayah epithumia. Jadi rejim demokrasi adalah rejim epithumia.

[5] McMahon sadar bahwa kebebasan dalam dunia klasik tidak berlaku bagi « semua orang » (karena hanya untuk “a limited set of free male citizens”, hl 14), tidak bersifat « universal » (bdk. hl. 17, « …the lack of universality in the concept of feedom »).

[6] “Eleutheria”, dalam Vocabulaire européennes des philosophies, Paris : Seuil-Le Robert, 2004, hl. 341.

[7] Bdk. Artikel Claude Romano, « Eleutheria ». Hannah Arendt lalu membuat kesimpulan radikal bahwa “eleutheria” dalam khasanah pemikiran Yunani selalu (dan hanya) bermakna politis. Kebebasan selalu dimaknai dalam artinya yang politis. Hannah Arendt menulis: “Il n’y a pas de préoccupation concernant la liberté (en un sens autre que politique) dans toute l’histoire de la grande philosophie depuis les présocratiques jusqu’à Plotin, le dernier philosophe antique” (La Crise de la culture, hl. 189).

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.