Fitnah Harmoko

Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

Hikayat Harmoko juga menyajikan babak suram dalam sejarah pers Indonesia

EH, HARMOKO nongol lagi! Kali ini lewat majalah Tempo Januari lalu dalam sejumlah tulisan tentang media.

Kalau kebanyakan bekas koleganya di kabinet-kabinet Suharto dipermainkan nasib, Harmoko justeru mempermainkannya. Umumnya mereka tampil kuyu, seakan berniat memeras simpati publik akan ketakberdosaan mereka. Sebagian harus bolak-balik ke pengadilan, atau mampir ke tahanan kejaksaan, atau meninggal dalam status tersangka koruptor. Harmoko menyeringai menonton semua itu. Ia punya cara sendiri dalam mencuci uang, misalnya dengan membuat satu-dua yayasan keagamaan --aspek yang tak dilacak oleh Tempo. Ia tetap tampil selicin rambutnya yang makin disegani oleh nyamuk dan lalat yang konon tergelincir jika coba-coba hinggap di sana.

Ia kembali ke sumber intelektualnya, harian Pos Kota, sambil siaga dengan tangkisan-tangkisan untuk setiap tudingan tentang masa lalunya: bahwa semua itu berdasar aturan yang berlaku dan dia hanya melaksanakan. Semuanya adalah ulah Suharto. Sisanya fitnah belaka.

Yang ia tuding memfitnah antara lain Arswendo Atmowiloto, mantan pengelola divisi majalah Kelompok Kompas Gramedia. Wendo tahu jurus untuk menghadapi pedagang seperti Harmoko. Gramedia memberi saham kosong kepada Harmoko atau kerabatnya, selain menyetor duit tiap bulan. Hubungan Wendo-Harmoko memang hanya mengulang pola kerajaan-kerajaan kuno atau dunia preman modern: sang terlindung menyajikan upeti ke pundi si pelindung.

Benarkah pengungkapan Wendo?

“Itu fitnah!” kata Harmoko, tanpa menyatakan niat untuk menggugat pencemar namanya. (Ya, nama saja, bukan nama baik). Harmoko memang berdaulat penuh dalam menentukan episode yang dia ingin ingat setajam-tajamnya (misalnya rincian nomor dan isi surat keputusan atau persentase sahamnya di koran tertentu) dan mana pula yang dia lupa, meski peristiwanya sederhana dan berulang-ulang.

Dulu dia rajin memberitahu rakyat Indonesia berapa banyak beras, terigu atau gula yang telah mereka telan. Dengan kaca mata setengah-hitamnya, ia mengingatkan rakyat bahwa di “tahun takwim” inflasi setinggi sekian persen, dan cadangan devisa melimpah ruah pendeknya segalanya beres belaka.

Ia muncul di televisi jauh lebih sering daripada semestinya, sampai teman-teman saya di Sumenep menyimpulkan bahwa dialah presiden RI. Lalu, Suharto itu apa? “Itu ta’ rajanya ....”

Ada yang kagum dan heran pada rasa percaya diri Harmoko. Banyak yang jengkel pada penampilannya yang terlalu tertib, nol imajinasi, dan luncuran kata-katanya yang seperti rambutnya: tak boleh ada sehelai pun yang mencuat dari barisan, semuanya harus terekat rapi oleh pomade yang diguyurnya dengan melanggar saran semua penata rambut.

Sekali-sekalinya ia berimprovisasi, dengan bicara tanpa minta petunjuk, hasilnya bencana: ia dihujat banyak orang karena memelesetkan ayat Quran. Mereka yang jengkel konon mengembangkan teknologi baru dalam mekanika televisi: setiap Harmoko muncul, pesawat itu mati sendiri…. Orang lalu koor memanjangkan akronim namanya: Hari-hari Omong Kosong atau Harta Modal Koran.

Prestasi politiknya tidak kecil. Dialah penemu klompencapir (ini bukan sejenis daun berkhasiat, melainkan kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa), lumbung yang dibentuknya sampai puluhan ribu guna memasok jutaan suara pemilu untuk Golkar, yang di masa kepemimpinannya mematok target perolehan sesuai tanggal dan bulan kelahirannya (70,02 persen atau varian ganjil lainnya).

Ke manapun “Bapak Presiden” melangkah, ia akan disambut klompencapir, dan Harmoko senantiasa sigap menyediakan ritual nasional berupa dialog “dari hati ke hati” antara sang presiden dengan rakyatnya di lapis bawah, yang didatangkan dari seluruh Indonesia, terkadang lengkap dengan pakaian adat masing-masing.

Hasilnya sungguh mengharukan: segenap rakyat melihat di televisi betapa orang-orang kecil itu sedemikian menghayati nilai-nilai demokrasi dengan bebas bertanya atau memohon petunjuk (ini memang bukan trade mark Harmoko, meski dialah yang paling royal mengobralnya). Bapak Presiden menanggapinya dengan bijak bestari dan cerdas, disertai rincian hitungan tentang berapa pakan ternak untuk sekian sapi guna meraih penghasilan berapa. Kalau saja mereka sungguh-sungguh mengamalkan resep-resep manjur Pak Tani yang sukses mengelola peternakan Tapos itu, tentu hidup mereka jauh lebih sejahtera.

Kalau Bapak Presiden sedang di Jakarta atau luar negeri, giliran Harmoko sendiri yang mewejang kumpulan klompencapir dengan metode temuannya, “komunikasi sambung rasa,” dalam forum yang juga hasil temuannya yang gemilang, “temu kader” (atau, menurut anak-anak kelas V SD, “kampanye sebelum waktunya alias mencuri start”).

Di akhir pertemuan, rupanya rasa itu benar-benar tersambung, sehingga Harmoko kerap digendong dengan gembira-ria oleh para pecintanya –-foto inilah yang jadi sampul buku tentang dirinya, ditulis oleh sepasang intelektual muda yang tak sanggup membendung ketakjubannya pada kecemerlangan si Bung; suatu “pendekatan akademis” untuk memahami fenomena Harmoko.

Sebutan Bung itu sendiri adalah temuan Harmoko yang gagal di pasar pergaulan. Ia ingin mendidik bangsa agar menyapa orang dengan sebutan dari jaman pergerakan itu. Maksudnya mulia. Tragis, tak ada yang sudi menuruti ajakan luhur Harmoko. Tinggallah Bung hanya ditujukan untuk dirinya sendiri dan dengan nada geli, bukan dengan semangat revolusioner.

Hikayat Harmoko juga menyajikan babak suram dalam sejarah pers Indonesia. Dia tentu tersenyum melihat media besar tampil seolah mahluk paling bersih di muka bumi, dengan mengedepankan deretan “agenda publik.” Sebagai pedagang SIUPP, Harmoko tahu pasti bagaimana mereka memperoleh izin terbit dan berapa mereka membeli dagangannya dari PT Penerangan Tbk. yang didirekturinya.

Harmoko pasti ingat semua itu. Kali ini giliran kitalah yang menyeleksi memori. Dan kita tahu, sejarah adalah guru terbaik. Tapi si Bung juga tahu bahwa kita selalu jadi murid terbodoh.

Seorang wartawan radio baru-baru ini bertanya: Benarkah Bung memohon petunjuk Bapak Presiden tentang merek minyak rambut yang harus Bung pakai dan berapa takarannya, serta ke mana arah sisiran Bung? “Itu fitnah!”

Hamid Basyaib

3 Februari 2003
www.pantau.or.id

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.