Foto: islami.co
Hans Bague Jassin (1917-2000) bukan hanya kritikus dan dokumentator sastra. Dia adalah satu-satunya kritikus-dan-dokumentator di tanah air kita. Dalam dirinya amalan kritik dan dokumentasi tidak terpisahkan. H.B. Jassin bukan hanya seseorang, tapi sebuah lembaga, yang seringkali identik dengan sastra Indonesia itu sendiri.
Dalam menegakkan kerja kritik-dan-dokumentasi tersebut, Jassin justru bertolak dari hal mendasar, yaitu hasrat akan sastra—dan besaran hasrat atau kecintaan tak dimiliki oleh siapapun selain Jassin sendiri. Demikianlah yang ditekankan oleh dua pembicara, Bagus Takwin (penulis filsafat, pengulas sastra) dan Agus R. Sarjono (penyair dan redaktur sastra) dalam diskusi membahas karya dan pemikiran Jassin di Freedom Institute, 22 September 2011.
Menurut Bagus Takwin, Jassin terus menerus merasa, berpikir dan bertindak untuk kesusastraan. Jassin terus berusaha menggiatkan mentalnya untuk berfungsi menghasilkan tindakan-tindakan sastra. Ia terus menerus memberi perhatian kepada sastra dan melibatkan dirinya dengan sastra.
Cara kerja Jassin memang lebih mengandalkan intuisi (atau dalam sebutannya: perasaan), fungsi mental yang memberikan pengetahuan dan petunjuk tindakan tanpa melalui observasi penalaran terlebih dahulu. Dengan intuisi Jassin justru mengenali daya pikat sastra.
Dalam memperjuangkan kemajuan sastra, Jassin mengambil risiko dan mau menanggung konsekuensi dari perjuangannya. Untuk membela sastra, ia siap diadili dan dihukum. Ia berani mengambil posisi yang tegas dan bertahan dari gempuran pihak-pihak yang tak setuju dengan sikapnya.
Pembelaan Jassin yang terang-benderang terhadap cerpen "Langit Makin Mendung" (1968) dan novel Belenggu (1940-an) Armijn Pane menunjukkan bahwa sang kritikus sanggup melawan masyarakat umum dan menerima risiko sangat tinggi demi menegakkan kebebasan berkreasi dan budaya tulisan.
Jassin, menurut Takwin, menyadari betapa sebuah perubahan yang berarti dalam masyarakat membutuhkan usaha keras dalam waktu lama. Kerja membaca, mengkritik dan mendokumentasikan sastra Jassin berlangsung selama enam dekade.
Hasrat yang bertahan lama, mengimplikasikan adanya citra ideal atau horison sastra universal yang memanggil terus. Dokumentasi sastranya yang meraksasa itu yang dicita-citakannya menjadi dokumentasi sastra dunia pada dasarnya adalah “alat” Jassin untuk mengerjakan kritik sastra. Kegiatan dokumentasi menjadi media berpikir bagi Jassin. Pada Jassin, demikianlah menurut Bagus Takwin, kerangka pikir itu adalah intuisinya tentang citra sastra ideal dan semesta sastra.
Buku-buku Jassin pun menunjukkan kecenderungan dokumentatif itu, misalnya: Gema Tanah Air (1948); Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948); Angkatan 45 (1951); Kesusasteraan Dunia Dalam Terdjemahan Indonesia (1956); Pujangga Baru Prosa Dan Puisi (1963); Angkatan 66 Prosa Dan Puisi (1968); Heboh Sastera 1968 (1970); dan Surat-Surat 1943 - 1983 (1984).
Cara kerja Jassin yang intuitif dan menghadapi karya sastra langsung adalah lawan bagi para pengulas yang datang kemudian, yang mendasarkan diri kepada apa yang bernama teori sastra.
Menurut Agus R. Sarjono, begitu sibuknya para akademisi sastra dengan gelombang-gelombang teori sastra sehingga membuat mereka abai dengan karya sastra itu sendiri. Dan mereka langsung gagal ketika berhadapan langsung dengan karya sastra. Mereka menggunakan teori sastra seperti mode pakaian terbaru.
Membaca karya para sastrawan sebelum karya itu diterbitkan adalah salah satu posisi khas H.B. jassin karena ia menjadi redaktur hampir semua media sastra terkemuka. Sebagai redaktur, pada dasarnya ia menjalankan kerja dasar seorang kritikus: membaca, memberi catatan, membaca dengan penuh apresiasi dan kritis. Semua itu dilandasi oleh kepekaan intuisinya, ketelitian, kesabaran, dan cinta.
Di negeri yang minat dan tradisi membacanya sangat rendah ini, tidak bisa dibayangkan bahwa sastra Indonesia modern dapat langsung diterima dan mengisi khazanah perbincangan dan khasanah batin masyarakat Indonesia. Jassinlah yang dengan sabar tak putus-putusnya mengabarkan fenomena sastra Indomesia modern langsung dari gelanggang kepada masyarakat. Sejumlah pelabelan yang dilakukannya melekat di ingatan masyarakat dan tak kunjung bisa digeser, seperti Angkatan Pujangga Baru Angkatan 45, juga Angkatan 66. Selain angkatan, julukan yang ia buat pun populer dan melekat dalam ingatan pembaca sastra, seperti Chairil Anwar Tokoh Penyair Angkatan 45, Amir Hamzah Raja Penyair Baru, dan sebagainya.
Menurut Agus R. Sarjono, kiprah Jassin memang tepat bagi situasi sastra yang kebanyakan sastrawannya lebih berbekal bakat alam ketimbang intelektualisme. Dalam posisi ini, Jassin menjadi seorang pembaca dan pembimbing sastrawan agar bahan bagus yang dimiliki sastrawan bersangkutan Jassin menemukan keunggulan Amir Hamzah dan terutama Chairil Anwar di bidang puisi.
Semua reputasinya dalam kritik sastra didapat dari ketekunannya membaca, mengapresiasi, kemudian menuliskan semua pendapat pribadinya atas karya sastra yang dibacanya. Cara tersebut boleh dibilang sangat sederhana dilihat dari keberbagaian sastra yang beredar di Indonesia sekarang ini. Adapun para kritikus yang berteori-teori tidak pernah mencapai posisi sekokoh H.B. Jassin.
Jassin memberi contoh bahwa pertemuan pribadi dari hati ke hati, jiwa ke jiwa antara pembaca dengan karya yang dibaca tidak dapat dilewati dan diabaikan oleh seorang kritikus. Sedangkan pada para pengamat yang menggemari teori, maka teori demikian justru menghalangi mereka berhadapan dengan karya sastra.
Membaca dan mencintai sastra, itulah yang dilakukan dan dijalani H.B. Jassin sepanjang hidupnya. Bahkan saat ia membaca dan menilai sastra, ia menjalaninya dalam proses membaca dan mencintai sastra. Tanpa cinta, cukup banyak yang menjadi kritikus dengan tidak membaca tapi menilai sastra. Untuk menutupi ketidakmembacaan sastra yang hendak dinilainya, sang kritikus menaburkan berbagai penjelasan mengenai berbagai pendekatan dan teori sastra sebagai kamuflase. Kritikus semacam ini bisa saja nampak canggih, namun tak mampu menggeser kebersahajaan kritik H.B. Jassin, baik dalam kepekaan maupun kecintaan. Demikian dikatakan Agus R. Sarjono.
Sidang peserta diskusi mengakui bahwa kepergian Jassin adalah absennya dua hal penting dalam khazanah sastra Indonesia sekarang, yaitu pembacaan penuh cinta pada karya sastra dan pengabdian secara total pada kritik sastra.
You must be logged in to post a comment.