Huntington: Dari Keteraturan ke Demokrasi

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

PROFESOR SAMUEL P. HUNTINGTON DARI HARVARD University meru­pakan salah satu dari para ilmuwan politik kontemporer yang memiliki pengaruh intelektual yang kuat di bidangnya.

Pada 1968 bukunya yang sangat terkenal, Political Order in Changing Society (Yale University Press), diterbitkan. Buku ini sekarang ini dianggap sebagai karya klasik dalam ilmu perbandingan politik, dan sebuah buku penting bagi para pelajar yang ingin mengkaji berbagai persoalan politik yang dihadapi oleh negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin di tahun-tahun awal modernisasi mereka. Dalam buku ini ia mencoba melihat mengapa, bagaimana, dan dalam kondisi apa keteraturan politik bisa dipelihara.

Pada 1991 The Third Wave (University of Oklahoma Press) diterbitkan. Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa demokrasi terjadi secara bergelombang, dan bahwa dari 1974 dan seterusnya kita menyaksikan gelombang ketiga demokratisasi. Karyanya tersebut dengan demikian dicurahkan terutama untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang ketiga demokratisasi ini terjadi.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengulas The Third Wave. Fokus saya adalah posisi Huntington menyangkut be­berapa isu utama seperti keteraturan dan kebebasan, atau stabilitas dan demokrasi. Dalam bagian berikutnya dari tulisan ini saya men­coba membandingkan kedua buku itu, dan melihat ba­gaimana Huntington, dalam The Third Wave, mengubah pendirian yang ia pegang dalam Political Order.

***

Untuk memahami gagasan-gagasan Huntington dan pentingnya buku Political Order, akan sangat membantu jika kita mu­lai dengan gagasan-gagasan utama dari teori-teori perkembangan politik pada tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia II.

Menurut teori-teori ini, modernisasi politik (perkembangan politik) di Dunia Ketiga mengandaikan runtuhnya tatanan tradisional dan terbentuknya tatanan baru (modern), yang, dalam bentuknya yang mendasar, tidak akan jauh berbeda dari masyarakat modern dan demokratis di dunia Barat.

Karena itu, dalam mengkaji perkembangan politik di Dunia Ketiga, para teoretisi perkembangan politik menawarkan beberapa konsep kunci: urbanisasi, kemelek-hurufan, mobilisasi sosial, munculnya media, diferensiasi struktural, dan sekularisasi budaya. Terlepas dari semua perbedaannya, menurut William Liddle, asumsi dasar dari konsep-konsep kunci ini menunjuk pada satu arah: “demokratisasi [Dunia Ketiga] terjadi menurut ga­ris pengalaman Barat”.5

Dengan kata lain, bagi teori-teori perkembangan politik tersebut, demokratisasi akan terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sebagai akibat langsung dari kemelek-hurufan yang semakin meluas, begitu banyaknya orang yang berpindah dari desa ke perkotaan, transformasi budaya politik, spesifikasi pekerjaan dan ketrampilan, banyaknya informasi yang dihamparkan oleh media, dan seterusnya.

Salah satu contohnya kita bisa melihat pada karya Karl Deutsch. Bagi Deutsch, mobilisasi sosial (“sebuah proses di mana bentuk utama komitmen sosial, ekonomi, dan psikologis lama terkikis atau hancur dan orang menjadi siap menerima pola-pola sosialisasi dan perilaku yang baru”) akan mengarah pada demokratisasi. Dengan mengutip Karl Mannheim, ia menyatakan bahwa hancurnya tatanan lama dan masuknya orang-orang ke dalam pola-pola baru keanggotaan kelompok, organisasi dan komitmen yang relatif stabil merupakan proses “demokratisasi yang mendasar”. Baginya, tugas utama ilmu politik “hanya” membuat pengukuran mo­bilisasi sosial lebih spesifik, dapat dihitung, dan dapat diper­tanggungjawabkan secara empiris. Pemenuhan tugas itu akan menjawab pertanyaan tentang “seberapa besar” mobilisasi so­sial diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (de­mo­kratisasi). Pertanyaan tentang “bagaimana” dan “mengapa” demokratisasi terjadi, baginya, telah terjawab oleh konsep mobilisasi sosial tersebut.6

Namun rantai krisis dan ketidakstabilan yang terjadi pada periode antara 1950-an dan 1960-an di Dunia Ketiga memperlihatkan kelemahan asumsi dasar tersebut. Alih-alih demokrasi, apa yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga adalah kudeta militer dan revolusi sosial, konflik etnis dan pemerintahan yang otoriter. Tentu saja mobilisasi sosial dan urbanisasi terjadi. Namun negara-negara yang mengalami tingkat mobilisasi sosial yang tinggi dan tingkat pengenalan media yang tinggi misalnya Meksiko, Brasil, dan Argentina) tidak bebas dari krisis politik; bahkan terdapat kecenderungan bahwa negara-negara ini mengalami tingkat ketegangan sosial yang relatif lebih tinggi dan ketidakstabilan yang lebih parah.

Di sini Huntington muncul dengan berbagai penjelasannya. Ia menyatakan bahwa modernisasi menghamparkan pada “orang-orang tradisional bentuk-bentuk kehidupan baru, standar-standar kesenangan baru, serta kemungkinan-kemungkinan kepuasan baru. Pengalaman ini... memunculkan berba­gai keinginan dan kebutuhan baru” (hlm. 53). Dan jika muncul­nya keinginan dan kebutuhan baru ini tidak terpenuhi, orang-orang dengan mudah akan digiring ke dalam politik. Se­lain itu, modernisasi mengubah keseimbangan antara wilayah-wilayah pedalaman dan perkotaan. Dengan mendorong orang-orang pedalaman masuk ke perkotaan (urbanisasi) misalnya, modernisasi menghamparkan kekuatan-kekuatan sosial yang secara potensial dapat dimobilisasi secara besar-besaran ke dalam permainan politik perkotaan. Dan dengan terus berkembangnya perkotaan, kelas menengah yang kemudian muncul akan menuntut andil yang lebih besar dalam politik nasional, yang pada gilirannya mendorong orang-orang pede­saan untuk mengimbangi hal itu (the Green Uprising).

Pendeknya, kita dapat berkata bahwa bagi Huntington, modernisasi menghasilkan partisipasi politik (yang eksesif). Semua faktor yang inheren dalam modernisasi—mobilisasi sosial, meluasnya kemelek-hurufan, berubahnya hubungan antara kota dan wilayah pedesaan—menghasilkan lebih ba­nyak “ma­nusia-manusia politik” yang sangat siap untuk terlibat dalam permainan politik. Penting di sini untuk melihat bahwa Huntington tidak membedakan “sebab-sebab yang mendasari” partisipasi politik: orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang korup dan para petinggi militer yang merancang kudeta untuk mendapatkan kekuasaan pada dasarnya sama. Semua sebab partisipasi digeneralisasi dalam konsep-konsep seperti mobilisasi sosial dan urbanisasi (dalam bagian terakhir tulisan ini, saya akan berusaha untuk menjabarkan implikasi logis dari “generalisasi yang berlebihan” atas sebab-sebab partisipasi politik ini).

Kecuali jika disalurkan melalui berbagai lembaga (lembaga-lembaga politik, terutama partai politik), meningkatnya partisipasi politik yang inheren dalam modernisasi akan menyebabkan ketidakstabilan atau kekacauan politik. Dengan mengutip Talcott Parsons, ia mengatakan bahwa institusionalisasi adalah “proses yang dengannya organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan stabilitas” (hlm. 12). Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Huntington partisipasi yang tak tersalurkan sama artinya dengan para penari yang bergerak tanpa irama, pola, dan sekuens—hasilnya hanyalah gerakan semata, bukan tarian, keliaran, bukan keberadaban. Tepatnya, kekurangan lembaga inilah yang merupakan penjelasan utama mengapa selama periode antara 1950-an dan 1960-an di Dunia Ketiga terjadi kudeta demi kudeta, revolusi, ketegangan, dan krisis. Agar gagasannya bisa dijalankan secara ilmiah, Huntington mengajukan beberapa konsep untuk mengukur ting­kat institusionalisasi sebuah sistem politik; yakni, adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Dengan demikian, bagi Huntington, makin dapat diadaptasi, otonom, kompleks, dan koheren lembaga-lembaga dalam sebuah sistem, maka makin stabillah sistem tersebut.

Jadi, kita dapat berkata bahwa konsep-konsep kunci dalam penjelasan Huntington adalah partisipasi politik dan institusionalisasi. Bagi Huntington, hubungan antara tingkat partisipasi politik dan tingkat institusionalisasi politik menentukan tingkat stabilitas politik. Dengan kata lain, ketidakstabilan politik bergantung pada rasio institusionalisasi dibanding partisipasi. Sebuah sistem politik dengan tingkat institusionalisasi yang rendah dan tingkat partisipasi yang tinggi adalah sebuah sistem yang disebut “praetorian polity”, yang dicirikan oleh tingkat ketidakstabilan yang tinggi. Sebaliknya, sebuah sistem dengan rasio institusionalisasi yang tinggi dibanding partisipasi disebut sebagai “civic polity”, yang dicirikan oleh keteraturan dan stabilitas politik. Di sini penting juga untuk melihat bahwa Huntington menempatkan Uni Soviet pada tingkat tertinggi dari civic polity (tipe-partisipan).

Sebagian dari penekanan Huntington yang kuat pada institusi dan institusionalisasi dapat ditemukan dalam penjelasannya tentang hubungan antara lembaga politik dan ke­penting­an publik. Huntington mendefinisikan kepentingan publik “dalam kaitannya dengan kepentingan konkret peme­rintah”. Ia juga mengatakan bahwa kepentingan publik adalah “apapun yang memperkuat institusi pemerintahan”. Di sini dia mengaburkan garis pemisah antara kepentingan publik (tujuan) dan lembaga politik (sarana)—dan ketika dia pada akhirnya berkata bahwa “kepentingan publik adalah kepentingan lem­baga publik”, ia pada dasarnya sepenuhnya menghapuskan ga­ris pemisah itu: ia menyamakan kepentingan publik dengan lembaga politik (hlm. 24-25). Ia, misalnya, berkata bahwa “apa yang baik bagi Kepresidenan [AS] adalah baik bagi negeri itu... kekuasaan kepresidenan sama dengan kebaikan masyarakat” (hlm. 26). Contoh lain yang menarik adalah pandangannya bahwa lembaga-lembaga pemerintah hendaknya mendapatkan legitimasi dan otoritas mereka:

Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa Huntington me­lihat lembaga bukan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan kehendak dan keinginan tertinggi rakyat. Baginya, lembaga adalah tujuan pada dirinya sendiri. Lembaga adalah kepentingan publik. Karena itu, apapun yang baik bagi pemerintah, bagi partai, bagi kepresidenan, maka hal itu pasti baik bagi negeri itu dan rakyatnya. Seorang ilmuwan politik menyebut cara pandang normatif terhadap lembaga ini sebagai suatu “payung moral yang luas”.7

Dalam membaca Political Order, orang tidak dapat mengabaikan kesan bahwa Huntington menempatkan keteraturan politik dan pemerintahan yang kuat dan otoritatif sebagai tujuan terpenting perkembangan politik. Lebih jauh, keteraturan politik bagi dia tampak bisa menggantikan modernisasi politik. Dalam hal ini, dia menulis bahwa persoalan utama di Dunia Ketiga “bukanlah kebebasan, melainkan pem­bentukan tatanan publik yang absah” (hlm. 7). Alasannya:

Orang tentu saja bisa memiliki tatanan keteraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa tatanan keteraturan (order). Otoritas harus ada sebelum ia dapat dibatasi, dan otoritas-lah yang jarang ada di negeri-negeri yang sedang mengalami modernisasi terse­but, di mana pemerintah lemah di hadapan kaum intelektual yang terasing, para kolonel yang sangat ambisius, dan para pelajar yang liar. (hlm. 7-8)

Karena kecenderungan kuat untuk menempatkan ke­teratur­an dan otoritas pada tempat tertinggi dari proses poli­tik ini, Huntington melihat bahwa perbedaan antara demo­kra­si dan kediktatoran kurang penting dibanding perbedaan anta­ra pe­merintahan yang lemah dan tidak efisien dengan pemerintahan yang kuat dan otoritatif. Dengan kata lain, bagi Huntington, “Distingsi politik paling penting di antara berbagai ne­gara bukan menyangkut bentuk pemerintahan mereka, melain­kan menyangkut tingkat pemerintahan mereka.” (hlm. 1)

Ia menempatkan negara-negara komunis totaliter dalam kotak yang sama dengan demokrasi-demokrasi liberal. Ia bah­kan memuji yang pertama itu karena efisiensi dan otoritas me­reka.

...satu hal yang dapat dilakukan pemerintahan-peme­rintahan komunis adalah memerintah; mereka mem­per­lihatkan otoritas yang efektif. Tantangan nyata yang diperlihatkan kaum komunis terhadap negara-negara yang sedang mengalami modernisasi bu­kanlah bahwa mereka sangat baik dalam menumbangkan peme­rintahan (sesuatu yang mudah), melainkan bahwa mereka sangat bagus dalam membuat pemerintahan (yang meru­pakan suatu tugas yang jauh lebih sulit). Mereka mung­kin tidak menyediakan kebebasan, namun mereka me­nye­diakan otoritas; mereka menciptakan pemerintahan-pe­me­rintah­an yang benar-benar bisa memerintah. (hlm. 8; huruf mi­ring ditambahkan)

Dengan kata lain, apa yang dikemukakan Huntington adalah bahwa keteraturan pertama-tama harus ada sebelum segala sesuatu yang lain, bahkan dengan mengorbankan kebebasan, sebagaimana yang terjadi di dunia komunis. Dan meskipun Huntington tidak menulis secara eksplisit dan mendetail tentang apa hubungan antara keteraturan dan pemerintahan yang kuat, penjelasan-penjelasannya cenderung membawa kita pada kesimpulan bahwa sebuah pemerintahan yang kuat adalah prasyarat mutlak bagi keteraturan politik.

Namun mengapa keteraturan dan otoritas yang kuat harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan? Mengapa keteraturan dan kebebasan harus ditempatkan “secara kronologis” (pertama-tama keteraturan, kemudian kebebasan)? Bagi Huntington, hal itu sangat jelas: jawabannya adalah bahwa di Dunia Ketiga, kebebasan akan mendorong partisipasi politik (yang eksesif), yang pada gilirannya akan menghasilkan ke kacauan politik. Dan karena ia menganggap bahwa keti­dak stabilan di Dunia Ketiga disebabkan oleh partisipasi politik yang eksesif tanpa adanya institusionalisasi yang memadai, kita kemudian cenderung menyimpulkan bahwa bagi Huntington Dunia Ketiga cukup memiliki kebebasan. Pendeknya, mengutip kata-katanya sendiri yang dinukil di atas, bukan kebebasan melainkan “otoritaslah yang jarang ada di negeri-negeri yang sedang mengalami modernisasi tersebut”.

The Third Wave

Dalam Political Order, sebagaimana yang dapat dilihat di atas, ben­tuk pemerintahan tidak dianggap sepenting tingkat pe­merintahan. Usaha Huntington dengan demikian terpusat pada per­­tanyaan mengapa, bagaimana, dan dalam keadaan apa keteratur­an politik bisa dicapai. Baginya, persoalan utamanya adalah ke­­ti­­dakstabilan politik; dan jawabannya adalah institusionalisasi politik. Dalam The Third Wave, sebaliknya, perhatian utamanya ber­­­fokus pada bentuk pemerintahan (demokrasi). Di sini dia men­­­­­coba untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana demo­krasi terjadi. Stabilitas atau ketidakstabilan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi dari berbagai pertarungan po­­litik untuk membangun demokrasi tidak dianggap penting bah­­­­­­kan untuk ditulis dalam sebuah sub-bab. Jadi, di sini kita me­­­­lihat Huntington yang berbeda, dalam pengertian bahwa per­ha­­tian utama yang ia geluti sebelumnya (tingkat peme­rintahan) te­­lah ditinggalkan, dan digantikan oleh perhatian pada demokrasi.

Sebelum kita bahas lebih jauh, penting untuk melihat secara singkat apa itu demokrasi bagi dia dalam buku ini. De­mokrasi, menurut Huntington, baik pada dirinya sendiri. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia juga memiliki beberapa “fungsi”: “Ia memiliki konsekuensi-konsekuensi positif bagi kebebasan in­dividu, stabilitas dalam negeri, perdamaian inter­nasional, dan Amerika Serikat” (hlm. xv). Dalam hal stabilitas politik, ia me­nga­takan bahwa sistem demokratis, dengan mem­beri suatu ruang bagi oposisi dan ekspresi politik, “jauh lebih kebal terhadap pergolakan revolusioner besar dibanding sistem otoriter” (hlm. 29). Pendek kata, bagi Huntington, demokrasi adalah suatu kebaikan bukan hanya karena hakikatnya sebagai penge­jawantahan hasrat tertinggi manusia kebebasan), melainkan juga karena fungsinya sebagai pra-syarat bagi perdamaian dan stabilitas.

The Third Wave memperlihatkan pada kita bahwa proses demokratisasi memiliki fluktuasi dan gelombangnya sendiri. Sebuah gelombang demokratisasi adalah “sebuah kumpulan transisi” menuju pemerintahan demokratis “yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu...". (hlm. 15). Bagi Huntington, tiga gelombang telah terjadi di dunia modern. Gelombang pertama dan kedua diikuti oleh apa yang dia sebut sebagai “ge­lombang pembalikan”, yakni kembalinya sekelompok negara ke da­lam rezim-rezim yang tidak demokratis.

Gelombang pertama terjadi antara 1828 dan 1926. Ia bermula ketika pemerintah AS menghapuskan syarat-syarat kepemilikan dan mengakui hak pilih universal orang dewasa bagi 50 persen populasi laki-laki kulit putihnya pada pemilu presiden 1828. Gelombang ini berakhir setelah Perang Dunia I ketika Mussolini, Hitler, Salazar berkuasa dan memperkenalkan bentuk baru otoritarianisme di Eropa.

Gelombang kedua terjadi antara 1943 dan 1962. Gelombang ini bermula ketika Tentara Sekutu mengalahkan Jerman, Italia dan Jepang. Gelombang ini juga ditandai oleh munculnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang lepas dari kekuasaan kolonial. Banyak dari negara-negara baru ini mencoba untuk mempraktikkan gagasan-gagasan demokratis dengan membentuk suatu jenis prosedur demokratis. Ge­lombang pembalikan bermula ketika eksperimen-eksperimen dengan demokrasi di negara-negara baru ini gagal, dan otoritarianisme militer atau birokratis mulai menghantui seba­gian besar dari negara-negara itu.

Gelombang ketiga mulai pada April 1974. Gelombang ini ber­­mula, sebagaimana yang dengan cerdas dikemukakan Huntington, ketika sebuah stasiun radio memutar lagu “Grandola Vila Morena” di Lisbon, Portugis. Lagu ini merupakan suatu sinyal untuk memulai suatu gerakan militer yang mengak­hiri kediktatoran Portugis. Setelah gerakan di Portugis ini, gerakan-gerakan demokratis di seluruh dunia mendapatkan ke kuat­annya dan muncul sebagai pemenang. Di Yunani, Kara­manlis memperoleh suara mayoritas dari rakyat dan me­run­tuhkan monarki. Di Spanyol, Juan Carlos dan Suarez mem­peroleh persetujuan umum untuk membentuk majelis baru. Di Filipina, Ny.Aquino memimpin rakyat menghancurkan rezim Marcos. Di negara-negara Komunis, Gorbachev mem­peroleh kekuasaan untuk mempersiapkan revolusi yang mengu­burkan sebagian besar rezim totaliter di Rusia dan Eropa Timur. Singkatnya, me­nurut Huntington, setelah April 1974, “rezim-rezim demokratis menggan­tikan rezim-rezim otoriter di sekitar 30 negara di Eropa, Asia, dan Amerika Latin. Dan di negara-ne­gara lain, be­gitu ba­nyak liberalisasi yang terjadi da­lam rezim-rezim oto­riter” (hlm. 21).

Mengapa gelombang ketiga ini terjadi? Menurut Huntington, ada lima faktor yang memainkan peran yang pen­ting dalam memunculkan gelombang ketiga tersebut.

Pertama, legitimasi rezim-rezim otoriter yang menurun. Sebagai akibat melambungnya harga minyak pada awal dan akhir 1970-an, rezim-rezim otoriter menghadapi krisis ekonomi. Dengan sedikit pengecualian, menurut Huntington, kebijakan-kebijakan rezim-rezim tersebut untuk mengatasi krisis ini seringkali menjadikan keadaan ekonomi mereka memburuk; angka inflasi yang tinggi, depresi yang berkepanjangan, dan utang yang semakin besar merupakan contoh-contoh hasil kebijakan mereka. Karena semua inilah legitimasi mereka melemah. Di Filipina, misalnya, 90 persen minyaknya merupakan hasil impor. Ketika krisis minyak terjadi, Marcos terpaksa semakin ba­nyak meminjam dari lembaga-lembaga keuangan inter­nasional. Ia harus menukar lebih banyak sumberdaya-sumberdaya eko­nomi negeri itu dengan dollar untuk membeli minyak. Hasilnya: dari 1980 dan seterusnya, pendapatan per kapita di Filipina terus-me­nerus menurun; dan legitimasi Marcos semakin merosot saat krisis ekonomi ini semakin besar. Pendeknya, ketidak­mam­puan untuk memecahkan krisis eko­no­mi ini memperlemah alas­an mengapa rakyat harus terus mendukung rezim oto­riter.

Kedua, perkembangan ekonomi. Selama 1950-an dan 1960-an, dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya belum pernah terjadi. Sebagai akibatnya, pada 1960-an,misalnya, angka GNP negara-negara berkembang naik rata-rata di atas 5 persen. Pada 1970-an, pertumbuhan ekonomi glo­bal ini meningkatkan zona transisi ekonomi, dari level $300-$500 sebelum-perang ke kisaran $500-$1.000. Pertum­buhan ekonomi ini, menurut Huntington, memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan demokrasi dalam dua hal. Di satu sisi hal ini memunculkan:

Sebuah perekonomian baru yang jauh lebih beragam, kompleks, dan saling terkait, yang semakin sulit dikontrol oleh rezim-rezim otoriter. Perkembangan ekonomi tersebut memun­culkan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru di luar negara dan suatu kebutuhan fungsional untuk memindahkan pembuatan keputusan. (hlm. 65; huruf miring ditambahkan)

Di sisi lain, hal ini mendorong perluasan kelas menengah: “bagian masyarakat yang semakin besar yang terdiri atas orang-orang bisnis, kaum profesional, para pengusaha, para guru, para pegawai negeri, manajer, teknisi, dan para pendeta” (hlm.66). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi menyuburkan benih-benih demokrasi dengan menciptakan dan memperluas masyarakat sipil.

Ketiga, berubahnya peran Gereja Katolik Roma. Pada 1970-an, Paus menjadi lebih eksplisit dalam mengutuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pada 1979, Yohanes Paulus II secara tersurat menyatakan gereja sebagai pengawal kebebasan. Dengan demikian, di negara-negara di mana gereja Katolik memiliki basis yang kuat (yakni, Polandia, Filipina, Amerika Latin), para pendeta sangat terlibat dalam gerakan-gerakan demokratis. Contoh umum tentang bagaimana gereja memiliki andil yang sangat penting dalam membangun demokrasi bisa dilihat di Filipina pada awal 1980-an dan di Polandia pada pertengahan 1980-an.

Keempat, kebijakan-kebijakan global baru dari negara-negara dan oraganisasi-organisasi besar. “Pada akhir 1980-an,” tulis Huntington, “sumber-sumber utama kekuasaan dan pengaruh di dunia—Vatikan, EEC, Amerika Serikat, Uni Soviet sangat aktif mendorong liberalisasi dan demokratisasi” (hlm.86). Amerika Serikat, misalnya. Pada puncak Perang Dingin pada 1960-an dan 1970-an, Amerika lebih memilih untuk mendukung sebuah rezim otoriter daripada mengutuknya dan, karena itu, melihatnya menjadi sebuah negara komunis di bawah pengaruh Uni Soviet. Namun ketika Carter, dan khu­susnya Reagan, menjadi presiden, keseluruhan bahasa diplomasi global Amerika berubah. Carter, Reagan—dan kemudian Gorbachev di Uni Soviet—menjadikan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagai salah satu agenda dunia.

Terakhir, dampak-dampak demonstrasi. Demokratisasi yang berhasil di sebuah negara mendorong demokratisasi di negara-negara lain. Karena revolusi komunikasi dunia melalui Televisi dan mesin fax, efek-efek ini menjadi lebih kuat dibanding yang terjadi pada dua dekade yang lalu. Efek demonstrasi yang paling dramatis, menurut Huntington, terjadi di negara-negara komunis pada akhir 1980-an ketika kekaisaran Soviet mulai runtuh.

Bagi Huntington, kelima faktor ini sangat penting sebagai “lingkungan” yang mempersiapkan jalan menuju demokrasi. Mereka adalah faktor-faktor yang menjadi latar belakang, yang membantu mendorong para aktor politik memajukan demokrasi. Pendeknya, kelima faktor tersebut merupakan sebab-sebab, namun demokrasi pada dasarnya maju dan berkembang karena adanya orang-orang yang memunculkan sebab-sebab tersebut: para aktor politik, para pembaharu di dalam pemerintahan yang ada, dan para pemimpin publik. Jadi, jika kita menganggap kelima faktor tersebut sebagai dorongan-dorongan sejarah, maka tindakan para aktor tersebut dalam perjuangan mereka mencapai demokrasi bisa dianggap sebagai membuat sejarah menjadi realitas. Tindakan dan interaksi aktor-aktor ini dengan demikian menentukan bagaimana demokrasi berjalan.

Menyangkut hal ini, menurut Huntington, kita bisa mengidentifikasi tiga jenis proses demokratik. Pertama, trans­formasi. Di sini para aktornya adalah mereka yang berkuasa dalam rezim otoriter. Mereka memainkan peran penting dalam mengakhiri rezim otoriter tersebut dan mengubahnya menjadi sebuah rezim yang demokratis. Dengan kata lain, ini adalah suatu proses dari atas ke bawah. Kasus yang paling penting dari jenis ini terjadi di Uni Soviet, ketika Gorbachev berkuasa.

Proses jenis ini terjadi terutama karena tidak terdapat oposisi yang signifikan di luar rezim tersebut, dan juga karena tidak adanya basis masyarakat sipil yang kuat. Ini juga terjadi karena para pembaharu di dalam rezim tersebut merasa bahwa keberlanjutan kekuasaan mereka hanya bisa terjaga jika mere­ka berhasil mereformasi sistem otoriter yang ada. Menurut Huntington, pada akhir 1980-an, jenis demokratisasi ini terjadi pada enam belas dari tiga puluh lima negara yang tercakup dalam gelombang ketiga tersebut.

Kedua, penggantian. Di sini, berlawanan dengan proses transformasi tersebut, demokratisasi terjadi karena didorong oleh para pemimpin di luar rezim otoriter tersebut. Para pembaharu di dalam rezim itu lemah atau bahkan tidak ada. Kekuasaan diperoleh para pemimpin oposisi karena rezim tersebut menjadi semakin lemah. Penggantian umumnya terjadi pada rezim yang dianggap sebagai kediktatoran personal, sebagaimana yang terlihat di Filipina (Marcos), Rumania (Ceaucescu) dan Jerman Timur (Honecker).

Ketiga, transplacement. Dalam jenis ini, para pembaharu dan kaum oposisi bekerjasama untuk mengakhiri rezim yang ada dan menggantikannya dengan rezim demokratis. Di sini para pembaharu tersebut tidak mampu untuk mentransformasi sistem itu sendiri baik karena terdapat suatu koalisi yang sangat kuat di dalam pemerintahan yang memiliki kepentingan yang berlawanan dengan reformasi maupun karena mereka tidak melihat alasan yang cukup bagus untuk mempertaruhkan posisi yang mereka pegang di hadapan ketidakpastian perubahan. Karena itu, mereka harus dibantu dan didorong oleh tekanan-tekanan yang berasal dari kaum oposisi. Contoh kasus dari jenis ini adalah transisi panjang di Korea Selatan dan Polandia pada pertengahan 1980-an. Selama 1970-an dan 1980-an, menurut Huntington, sebelas negara mengalami jenis demokratisasi seperti ini.

Setelah menjelaskan apa itu gelombang ketiga de­mo­kratisasi, mengapa dan bagaimana hal itu terjadi, Huntington menutup bukunya dengan bertanya apakah gelombang ketiga yang sekarang kita alami tersebut akan berlangsung terus atau akan segera diikuti oleh gelombang pembalikan ketiga. Ia mengatakan bahwa bagian terakhir bukunya tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun dari bagian akhir bu­kunya kita tahu bahwa baginya nasib demokratisasi, perluasan dan stabilitasnya, akan bergantung pada beberapa faktor, dan yang paling penting di antaranya adalah faktor-faktor yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan kepemimpinan yang mumpuni. Sebagaimana yang dikemukakan di atas, pertum­buhan ekonomi memunculkan masyarakat sipil. Ia me­munculkan orang-orang yang merasa bahwa kebebasan bukan merupakan gantinya roti—dan para pemimpin yang baik adalah mereka yang memahami perasaan ini, dan bekerja keras untuk mewujudkannya. “Pertumbuhan ekonomi,” kata Huntington, “membuat demokrasi menjadi mungkin; kepemimpinan politik menjadikannya nyata” (hlm. 316).

***

Dengan mengulas Political Order dan The Third Wave sebagaimana yang kita lakukan di atas, kita bisa melihat bagaimana Huntington telah berubah dalam mendefinisikan persoalan utama proses politik. Dalam buku yang pertama, persoalannya adalah ketidakstabilan politik; dalam buku yang kedua, apa yang ia tulis sepenuhnya tentang proses demo­kratisasi. Buku yang pertama jelas memiliki andil yang sangat signifikan dalam wacana di bidang perkembangan politik; se­mentara arti-penting buku yang kedua dapat dilihat dari ring­kasannya yang cerdas atas banyak karya intelektual sebelumnya yang mengkaji persoalan mengapa dan bagaimana demokratisasi terjadi.

Tentang Political Order, kritik kita dapat diringkaskan dalam paragraf berikut:

Kita telah melihat bahwa Huntington tidak membedakan sumber-sumber otoritas. Sebuah pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari teror dan penindasan yang kejam ditempatkan dalam kotak yang sama dengan pemerintahan yang mendapatkan otoritasnya dari kebebasan. Persoalan teror atau kebebasan dengan demikian kurang penting dibanding persoalan kuat dan efektifnya sebuah pemerintahan. Dengan memuji negara-negara komunis, Huntington menjadikan kita berpikir bahwa tidak masalah jika kebebasan dihancurkan asalkan otoritas yang kuat bisa dibangun. Namun se­bagaimana yang terlihat dari runtuhnya negara-negara komunis, otoritas yang kuat tanpa kebebasan bak rumah yang didirikan di atas pasir. Di sini kita juga bisa berkata bahwa sebuah otoritas yang kuat tidak niscaya berarti sebuah pemerintahan yang efektif: birokrasi-birokrasi komunis gagal untuk secara efektif menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang paling dasar dan sederhana bagi warga masyarakatnya.

Huntington juga melakukan hal yang sama menyangkut sumber-sumber partisipasi politik. Semua jenis partisipasi di generalisasi dalam sebuah istilah yang sangat luas, yakni mobilisasi sosial. Hal ini dengan demikian menyangkal relevansi perbedaan antara para kolonel yang bernafsu akan kekuasaan dan melancarkan kudeta, dan para mahasiswa, kaum intelektual, dan para aktor politik yang lain yang melibatkan diri mereka dalam perjuangan politik karena tuntutan mereka akan kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Bagi Huntington, dalam Political Order, para kolonel, intelektual, dan mahasiswa tersebut sama: mereka semua adalah instrumen kekacauan politik di Dunia Ketiga.

Dengan mengabaikan sumber-sumber otoritas dan partisi­pasi, ia juga tampak menutup mata terhadap kemungkinan bah sebuah otoritas yang kuat bisa menyalahgunakan ke­­­kuasaanya dan menyebabkan terjadinya ketidakstabilan. Ba­gi­nya pemerintah adalah kepentingan publik, dan kita men­­dapatkan kesan dari penjelasan-penjelasannya bahwa ke­­­pen­tingan publik yang paling utama adalah keteraturan politik. Namun, dalam kenyataannya, sebagaimana yang dike­mukakan Mark Kesselman, banyak pemerintahan kuat di Dunia Ketiga, demi untuk melanggengkan kekuasaan hegemonik me­reka, “sa­ngat suka melucuti lembaga-lembaga yang ada (par­lemen, pe­milu)”.8 Dengan kata lain, pemerintahan yang kuat—dan bu­kan hanya para kolonel, kaum intelektual yang “terasing”, dan para mahasiswa—juga bisa menjadi faktor penyebab keka­cauan politik.

Dengan demikian, Huntington, dalam Political Order, sebagaimana yang dikemukakan Mark Kesselman, tidak mem­beri ruang bagi pembenaran untuk menentang otoritas, meskipun otoritas tersebut korup.9 Di sini dia dengan mudah dapat dianggap sebagai seorang pembela otoritas yang korup, seorang konservatif yang lebih memilih “kedamaian dengan penindasan” ketimbang ketidakpastian perubahan yang dimunculkan oleh perjuangan untuk mengejawantahkan kebebasan dan keadilan.

Selain itu, penjelasan-penjelasan Huntington juga mengandaikan bahwa keteraturan politik harus dilihat dalam kaitannya dengan partai politik. Baginya, sebuah otoritas yang kuat hanya bisa diteguhkan jika ia dididasarkan pada partai-partai politik yang kuat. Namun di sini Huntington melihat partai po­litik terutama sebagai instrumen keteraturan politik, bukan ins­trumen perwakilan atau kontrol. Itulah mengapa ia menganggap bahwa salah satu ukuran kekuatan partai adalah “otonomi”. Sebuah partai politik kuat sampai tingkat di mana ia dapat menolak berbagai pengaruh dari kelompok dan lem­baga apapun selain dirinya sendiri. Partai adalah sebuah lembaga yang bukan oleh dan untuk rakyat; ia adalah lembaga yang di tu­jukan untuk kestabilan sistem.

Karena itu, baginya, pentingnya partai di Dunia Ketiga hanya terbatas sampai tingkat di mana mereka bisa menampung le­dakan partisipasi yang dimunculkan oleh modernisasi. Posisinya dalam hal kebebasan masih sama: tidak ada satu hal pun dalam tulisannya tentang partai-partai politik yang menye­butkan bahwa keberadaan mereka penting sebagai pengeja­wantahan kebebasan, dan bukan hanya untuk alasan ins­tru­mental, stabilitas.

Dengan kata lain, bahkan ketika ia ber­bicara tentang partai-partai politik, ia masih terus meng­gumamkan filosofi utamanya: “manusia bisa memiliki ke­teraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa keteraturan”.

Dalam The Third Wave posisinya berubah. Transisi dari kekuasaan totaliter dan otoriter bukannya tanpa ongkos: ketidak­stabilan dan ketidakpastian. Sebagaimana yang terlihat dari sejarah di negara-negara bekas komunis belakangan ini, demokratisasi sampai tingkat tertentu selalu disertai oleh kekerasan dan kekacauan politik. Jika Huntington meyakini posisi yang sama, ia akan menulis tentang gelombang ketiga demokratisasi itu dalam nada yang skeptis. Ia akan mengutuk Gorbachev atas tindakan-tindakannya yang menyebabkan merosotnya otoritas pemerintahan yang “kuat”. Ia akan menulis beberapa nasihat bagi para mahasiswa di Cina bagaimana bagaimana melakukan demokratisasi dengan masuk partai (komunis).

Sebaliknya, kita bisa merasa bahwa Huntington menulis The Third Wave dengan optimisme yang tinggi dan dengan senang hati. Ia bahkan memberikan saran tentang bagaimana mengakhiri rezim-rezim otoriter, dan berkata: “Jika [nasihat yang penuh nilai] itu menjadikan saya tampak seperti seseorang yang ingin menjadi seorang Machiavelli demokratis, biar sajalah” (hlm. xv). Di sini ia melihat bahwa modernisasi [per­tumbuhan ekonomi] bukan lagi merupakan persoalan bagi perkembangan politik; hal itu kini dilihat sebagai sebuah potensi, yang menjadikan manusia dan organisasi mampu berjuang demi kebebasan. Ia juga melihat, sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa sistem-sistem demokratik, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi ekspresi dan oposisi politik, jauh lebih aman dari berbagai ketidakstabilan politik besar.

Dalam pengertian ini, bisa dikatakan bahwa The Third Wave merupakan suatu deklarasi tentang bagaimana posisi Huntington sebelumnya telah ditinggalkan.

Pergeseran posisi Huntington tersebut mungkin paling baik dipahami dari perspektif bagaimana sejarah itu sendiri berubah. Pada 1950-an dan 1960-an sejarah kita dicirikan oleh berbagai pergolakan politik besar yang disertai dengan tingkat kekerasan yang tinggi. Prague Spring, Revolusi Budaya, Perang Arab-Israel, Perang Vietnam, Krisis Kuba, pembunuhan massal komunis di Indonesia, dan banyak peristiwa lain yang menggam­barkan patologi politik. Di Amerika Serikat sendiri, 1960-an merupakan salah satu dekade yang paling bergejolak: pembunuhan John dan Bob Kennedy, Martin Luther King, dan Malcom X, gerakan orang-orang kulit hitam, dan gerakan mahasiswa anti-perang dan anti-kemapanan.

Semua peristiwa ini memberi kesan bahwa dunia berada dalam kekuasaan anarki, dan bahwa tugas utama seorang pemimpin yang cakap adalah menciptakan suatu jenis keteraturan. Dan, bagi seorang profesor di salah satu lembaga terbaik di dunia, Universitas Harvard, yang secara mendalam membaca filsafat Burke, Niebuhr, dan Madison, tidak ada jawaban lain yang lebih masuk akal bagi persoalan ini selain konservatisme: suatu pemikiran dan kecenderungan politik bahwa memelihara keteraturan, menjaga lembaga yang ada di tengah-tengah berbagai perubahan yang bergejolak secara moral unggul.

Namun sejarah berubah. Pada 1980-an kita melihat kegagalan pemerintahan militer di banyak negara Dunia Ketiga. Selain itu, kita juga melihat “Kegagalan Besar” rezim-rezim sosialis, yang mengakhiri Perang Dingin. Perubahan-perubahan ini memunculkan suatu gelombang baru optimisme—kita sadar: salah satu babak yang paling berbahaya dalam sejarah telah berlalu.

Perubahan-perubahan inilah, menurut saya, yang me­mengaruhi Huntington sehingga membuatnya kurang skeptis terhadap ketidakpastian kemajuan politik. Ia tidak bisa menahan gelombang optimisme baru tersebut.

5 William Liddle, Comparative Political Science and the Third World, the Ohio State Univ., unpublished paper

6 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, ASPR LV, September 1961

7 William Liddle, Op. Cit.

8 Mark Kesselman, "Order or Movement? The Literature of Political Development as

9 Ideology", World Politics XXVI, Oktober 1973. Kesselman, Ibid.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.