Ilmuwan dan Aktivis

KOLOM saya di Gatra, 17 Agustus, tentang Arief Budiman rupanya mendapat tanggapan yang cukup serius dan menarik. Yang perama datang dari Arief sendiri (Kompas, 27 Agustus), dan kedua dari Bur Rasuanto di majalah ini (Gatra, 23 November).

Apa yang bisa saya katakan terhadap kedua tanggapan tersebut? Karena agak lebih sederhana, saya mulai dengan tulisan Bur. Kalau saya tak keliru, inti tulisan dia terletak pada kalimat penutupnya: “Saya ilmuwan. Saya tidak bisa ikut menuntut UU Antisubversi dihapus, karena saya harus mulai dari ragu-ragu dan berakhir dengan ragu-ragu.” Dengan ironi semacam ini, Bur ingin mengkritik saya yang dianggapnya telah berpandangan bahwa ilmuwan haruslah bersikap netral secara moral dan politik.

Terus-terang saya agak kurang mengerti kenapa Bur sampai pada kesimpulan seperti itu. Buat saya, tak ada yang secara prinsipil membatasi seorang ilmuwan untuk memilih sikap moral dan politik tertentu terhadap berbagai hal dalam kehidupan ini. Yang menjadi soal adalah, dalam waktu dan konteks tertentu, sering pilihan moral ini menjadi dilematis jika dihadapkan pada pengetahuan dan fakta-fakta yang dipelajarinya sebagai seorang ilmuwan.

Dilema semacam inilah yang sesungguhnya menjadi topik utama kolom saya terdahulu. Arief Budiman “kebetulan” saat itu saya anggap sebagai contoh sosok yang berada dalam dilema tersebut. Jadi, buat saya, kritik Bur salah alamat. Bur, agaknya, mencampuradukkan dua hal yang berbeda ini: skeptisisme sebagai “metode” dalam memandang serta mempelajari realitas dan pilihan moral sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi.

Menyangkut tanggapan Arief Budiman, harus saya akui bahwa persoalannya agak lebih rumit. Ada beberapa argumen Arief yang serius, ada pula yang agaknya sekadar ekspresi kegenitan yang tak perlu. Dalam hal terakhir ini bisa kita lihat, misalnya, saat dia berkata bahwa pandangan saya bersumber pada aliran positivis-empiris yang ‘simplistis dan ketinggalan zaman’. Saat ini, bagi dia, ‘teori ilmu sudah berkembang jauh’ dan karena itu mereka yang berpendapat seperti saya ‘perlu lebih banyak membaca teori-teori baru di bidang filsafat ilmu’.

Menarik juga bahwa Arief ternyata tetap membaca buku-buku baru. Cuma sayangnya, dari sejumlah pemikir yang disebut Arief, tak satu pun yang betul-betul ‘baru’. Arief lagi-lagi balik ke Gramsci, Foucault, dan Marx. Saya harap, lain kali Arief bisa menyinggung Bobbio, atau paling tidak Charles Taylor, kalau memang ingin berbicara tentang hal yang sedikit lebih baru dan masih tetap berdiri di samping kawan sealiran.

Di samping itu, saya harap Arief mau menjelaskan tentang relevansi ‘baru’ dan ‘lama’ dalam menilai kualitas sebuah argumen dalam filsafat. Apakah argumen dalam filsafat bersifat kumulatif? Kalau ya, seperti yang implisit pada pernyataan Arief tentang filsafat ilmu yang ‘berkembang jauh’, tidakkah berarti bahwa dia menentang pandangannya sendiri yang menolak positivisme, mengingat bahwa klaim akumulasi ilmu pada dasarnya adalah klaim positivistik?

Argumen Arief yang serius bersumber pada penolakannya untuk menyederhanakan hubungan antara pengetahuan (subyektivitas) dan realitas empiris (obyektivitas). Hubungan ini bersifat dialektis. Dalam penjelasannya, yang Arief maksudkan dengan ini adalah realitas empiris tak mudah kita dekati tanpa bantuan nilai dan ideologi. Bahkan kedua hal terakhir inilah yang menjadi dasar dari pengetahuan kita. Realitas (baca: kebenaran) kita simpulkan bergantung pada posisi kita dalam konstelasi kedua hal ini.

Karena begitu menentukannya nilai dan ideologi ini maka, buat Arief, sejak awal seorang ilmuwan harus berpihak. Tanpa pemihakan ini sang ilmuwan hanya menjadi alat kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada. Karena hal inilah maka dikotomi ilmuwan dan aktivis, seperti yang saya lakukan, menjadi lebur dan tak relevan. Dengan ini pula Arief menolak anjuran saya untuk lebih menjadi ilmuwan ketimbang sekadar aktivis, seorang fighter with a lost cause.

Apakah semua ini berarti bahwa, bagi Arief, “sekali sosialis, tetap sosialis”, tanpa ada satu hal pun yang bisa mengubahnya? Jika ada, dalam bentuk apa, dan bagaimana cara kita mengetahuinya? Apakah kriteria “salah-benar” semata-mata bergantung pada ideologi dan posisi politik kita masing-masing? Lalu masih adakah yang disebut ilmu?

Dalam konsepsi saya, skeptisisme seorang ilmuwa adalah kesediaannya untuk menerima kemungkinan bahwa sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata bisa keliru. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang bisa berkata, “Well the facts are too strong for me not to change my mind.” Katakanlah saya seorang ilmuwan sosial dan percaya pada sosialisme. Saya berharap bahwa proposisi Marxian, misalnya akumulasi kapital akan memiskinkan kaum buruh, memang benar. Tapi ternyata, dari fakta-fakta yang ada, saya tahu bahwa peningkatan akumulasi itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Artinya, ada kemungkinan bahwa proposisi yang saya yakini keliru. Menolak kemungkinan ini berarti meruntuhkan dasar kemungkinan pengembangan ilmu.

Saya tahu, bagi Arief, konsepsi tentang fakta itu sendiri harus dipertanyakan. Dalam hal ini argumen Arief cukup kukuh. Persoalannya adalah ia kemudian berusaha menjelaskan bahwa pada akhirnya segala hal bertumpu pada ideologi, dan dengan demikian, pemihakan politik. Dengan cara ini dia bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan serius tentang gagalnya percobaan sosialisme, dari Rusia hingga Cina dan Kuba.

Sekarang di tangan Arief, yang tak memegang kekuasaan politik apapun, argumen ‘total politik’ semacam itu mungkin cukup menarik. Tapi bagaimana jika dia berkuasa dan menerapkan dalil bahwa ‘kebenaran’ bergantung pada posisi ideologi dan politik seseorang? Bagaimana jika dalil ini dipegang oleh seorang penguasa yang tak sebaik Arief?

30 N0vember 1996

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.