AIDS: Metamorfosa Tiga Dekade

 

Seri diskusi sains Freedom Institute kembali membahas peran ilmu pengetahuan modern dalam mengangkat kualitas hidup umat manusia. Subyek yang didiskusikan pada malam 5 Mei 2011 itu ini adalah AIDS: Tanggapan Ilmiah VS Tanggapan Religius. Meski jumlah korbannya kian menurun, namun UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa hingga kini, penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa, membuatnya jadi salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah.

Pembicara pertama, Roslan Yusni Hasan, dokter ahli bedah dan peneliti sel, menyajikan antara lain sejarah pandangan medis atas AIDS sejak gejala penyakit mundurnya kekebalan tubuh ini diumumkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 5 Juni 1981.  Pada mulanya, CDC tidak punya nama resmi untuk gejala  penyakit ini. Mereka sering merujuk keadaan ini sebagai hal yang berkaitan dengan beberapa penyakit, misalnya, radang kelenjar getah bening. Dari sini kemudian diketahui adanya virus yang pada saat itu diberi nama HIV (human immunodeficiency virus). Dalam keterangan CDC yang dirilis saat itu, muncul istilah Gay Related Imuno Deficiency (GRID), rusaknya kekebalan tubuh yang berhubungan dengan dunia Gay! Inilah benih stigma yang kelak tumbuh subur dan tak mudah ditumpas.

Dengan  melihat berbagai gejala pada keadaan penyakit ini pada saat itu, CDC mendefinisikan keadaan ini sebagai "4H Disease",  karena diduga muncul dari Haiti, terjadi pada homoseksual, semua menderita hemofilia, dan pengguna heroin. Keterbatasan data memang membuat CDC melakukan kekeliruan yang belakangan berdampak besar. Namun, riset ilmiah atas gejala itu terus berlangsung, dan setelah didapati bahwa penyakit ini ternyata tidak hanya terjadi pada komunitas homoseksual, pada bulan September 1982 CDC mulai memakai nama AIDS.

Riset AIDS yang terus berlangsung itu membuat para ilmuwan kian paham penyebab hilangnya imunitas tubuh manusia dan dari sana terus berupaya mencari pengobatan yang lebih efektif. Terapi yang terus berkembang itu kini sudah berada  pada tahap yang menggembirakan. Jika awalnya AIDS adalah penyakit mematikan, saat ini ia sudah masuk kategori penyakit kronis saja, sama seperti antara lain penyakit tuberclosis. AIDS bukanlah penyakit yang tak bisa disembuhkan, demikian kata Ryu.

Di ujung tahun 2010, diumumkan bahwa seorang warga Amerika yang berobat di Berlin, secara medis telah pulih dari leukemia dan AIDS yang menyerangnya. Dokter yang merawatnya, memanfatkan transplantasi stem-cell untuk menyembuhkannya. Kasus “Pasien Berlin” ini memperbesar kemungkinan menaklukkan AIDS dan melenyapkannya dari kehidupan manusia.

Terlepas dari kemajuan mutakhir ini, sebagaimana kemudian dikemukakan oleh pembicara kedua, Muhamad Guntur Romli, penulis dan penganjur Islam modern, sebagian kaum muslimin, khususnya di Timur Tengah, masih saja tertinggal pandangannya. Ketika di awal 1980an para peneliti masih bingung mencari penyebab rontoknya imunitas tubuh manusia, sejumlah kaum agamawan yang juga sedang bingung dan panik segera mengisi kekosongan penjelasan itu dengan mencapnya sebagai penyakit kutukan Tuhan akibat dosa homoseksualitas manusia.

Pandangan religius yang secara medis terbukti keliru itu terus saja dipegang teguh sampai sekarang, bersama terus bertahannya anjuran pengasingan bagi para pengidap AIDS. Celakanya, walaupun pandangan tersebut bukanlah pandangan kaum agamawan mainstream di Indonesia (khususnya Islam), masih ada pejabat negara, setingkat menteri, yang tetap bersemangat menandaskan bahwa homoseksualitas adalah sumber penyakit AIDS. Ini jelas pandangan kolot yang tertinggal 30 tahun, kata Guntur.

Mitos yang dikutif oleh sang menteri itu bukan berasal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau ormas Islam di Indonesia, tapi dari penjelasan dan fatwa Lembaga Fiqh Islam Internasional (al-Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Dawli) yang berkedudukan di Saudi Arabia. Forum ini merupakan perkumpulan ulama-ulama fiqh dari dunia Islam yang didukung penuh oleh Kerajaan Saudi Arabia.

Salah satu keputusan dari Lembaga Fiqh itu mengatakan bahwa AIDS disebabkan oleh perzinahan dan prilaku homoseks. Untuk mencegah AIDS maka ummat harus kembali ke ajaran Islam yang lurus. Lembaga ini juga menegaskan dan mendukung Kerajaan Saudi Arabia yang melarang individu yang terinfeksi virus HIV naik haji. Untuk menyikapi orang yang hidup dengan HIV/AID lembaga ini merekomendasikan agar dipisahkan (‘azl) dari masyarakat.  Rekomendasi religius semacam ini menopang stigmatisasi dan diskriminasi, yang dasar-dasar pemikirannya sebenarnya telah dibantah oleh ilmu pengetahuan. Ketimbang ikut mengendalikan penyakit AIDS, rekomendasi religius ini, bersama sejumlah prasangka sosio-kultural yang lain, justeru bisa menghambat pengendalian AIDS, dan yang pasti melanggar hak dasar sejumlah warga.

Sekalipun banyak tokoh agama yang memiliki pandangan kabur atas AIDS, namun agama itu sendiri tetap bisa sangat bermanfaat dalam kampanye pencerahan tentang AIDS, tegas Guntur. Seruan agama, betapa pun, memang masih sanggup menggerakkan ummat. Namun wacana keagamaan yang dipakai untuk pencerahan itu harus dengan sadar melengkapkan diri dengan pengetahuan modern dan terkini tentang berbagai hal, termasuk tentang penyakit AIDS, anjur Guntur.

Diskusi yang dihadiri sekitar 80 peserta ini didahului dengan pemutaran film pendek yang dipinjamkan oleh OneVoice. Film ini berisi kisah sejumlah perempuan muda yang berjuang menghadapi serangan HIV itu dan stigma yang ditempelkan masyarakat awam pada mereka, serta upaya mereka bergabung dalam gerakan kampanye sadar AIDS.

Pemutaran film dan diskusi terbuka semacam ini, seperti ditegaskan moderator Nirwan Arsuka, adalah juga bagian dari kampanye menghadapi AIDS dengan rasional. Yang pasti, tanpa pendekatan rasional dan sistematis,  penanggulangan wabah Maut Hitam (Black Death) di Mediterania dan Eropa Lama, misalnya, butuh waktu lebih dari 500 tahun. Berbaur dgn aneka tegangan sosial ekonomi, fanatisme agama justeru ikut membuat Wabah Hitam menumpas populasi Eropa sekitar 30 sampai 60 persen. Cara-cara irasional dalam menghadapi wabah maut seperti yang pernah terjadi di masa silam, itu terbukti tak bisa menandingi cara-cara rasional. Kalangan medis, seperti yang diperlihatkan oleh CDC misalnya, memang tak kebal dari kesalahan, karena keterbatasan data. Namun, dalam waktu hanya tiga dekade, riset ilmiah sistematis atas AIDS telah terbukti bisa mengubah status penyakit itu dari wabah yang paling mengerikan bagi dunia modern ke penyakit biasa yang sungguh bisa disembuhkan.

Makalah Ryu Hasan

Makalah M Guntur Romli

dokumen audiovisual diskusi AIDS: Tanggapan Ilmiah VS Tanggapan Religius klik

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.