Dia dan Ia

Gambar oleh Please Don't sell My Artwork AS IS dari Pixabay

Para penerjemah dari bahasa Inggris ke Indonesia mungkin telah terbiasa menghadapi masalah perbedaan struktur MD (menerangkan-diterangkan) dan DM (diterangkan-menerangkan) yang sering kali menyulitkan sang penerjemah dalam menghasilkan terjemahan yang bagus, tidak membingungkan, dan tidak bertele-tele.

Masalah perbedaan struktur MD-DM yang potensial menghasilkan terjemahan yang membingungkan tersebut dapat dilihat jika seorang penerjemah bertemu, misalnya, dengan kalimat seperti ini: Mrs Barnds' studio, appropriately named The White Doll House, is a favorite "dropping in place" for the local ladies who participate in classes to learn the fine art of doll making (dikutip dari www.irclibrary.org). Kalimat yang tampak sederhana dan jelas ini akan menjadi membingungkan jika ia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang memakai struktur DM: Studio Nyonya Barnd, yang dinamai Rumah Boneka Putih, .... Apa yang berwarna putih? Rumah atau boneka?

Para penerjemah profesional mungkin mafhum bahwa tak ada cara lain untuk memecahkan masalah perbedaan struktur bahasa seperti ini selain melalui keterampilan si penerjemah sendiri dalam menyusun kalimat dalam bahasa Indonesia (masalah seperti ini tidak mungkin dipecahkan dengan, misalnya, mengubah konvensi bahasa-karena jika hal ini dilakukan, itu berarti mengubah keseluruhan sistem tata bahasa Indonesia).

Namun ada masalah lain yang tak kalah pelik yang, selain bisa terminimalkan melalui keterampilan si penerjemah, menurut saya, sebenarnya juga bisa dihilangkan dengan mengubah konvensi bahasa Indonesia. Mari kita lihat contohnya:

Lest you get too puffed up, Filettino-we all know how noble both your parents are. She wipes her nose on her elbow, and he doesn't spit on the ground, except on holy days. (Janus Pannonius, The Epigrams, Gyomaendr?d: Kner Printing House, 1985, halaman 143)

Bagi mereka yang tak hendak me-nerjemahkan dan hanya ingin membaca, puisi Janus Pannonius ini tampak tak mengandung masalah: ia adalah semacam satire atau olok-olok si penulis kepada orang yang bernama Filettino. Namun, di mata seorang penerjemah, teks semacam ini jelas mengandung suatu masalah serius: bukan karena teks ini mengandung ambiguitas makna atau metafor yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, melainkan karena kata "she" dan "he" yang dipakai bergantian dalam satu kalimat. Agar lebih jelas, mari kita terjemahkan bagian puisi yang mengandung masalah itu: Dia menggosok-gosokkan hidungnya pada lengannya//dan ia tidak meludah di tanah, kecuali pada hari-hari suci.

Bagi pembaca yang kebetulan tidak memiliki versi Inggris puisi itu, terjemahan semacam ini tentu -sangat membingungkan. Membingungkan karena tidak jelasnya orang yang dirujuk oleh kata "dia" dan "ia" itu: dalam bahasa Indonesia, kedua kata ini sangat mungkin ditafsirkan merujuk pada satu orang, sedangkan dalam versi Inggrisnya, kedua kata itu jelas merujuk pada ibu dan ayah Filettino.

Seorang penerjemah yang "ge-ga-bah" mungkin bisa begitu saja mengganti kata "she" dan "he" dalam puisi itu dengan "ibu" dan "ayah": Ibumu menggosok-gosokkan hidungnya pada lengannya//dan ayahmu tidak meludah di tanah, kecuali pada hari-hari suci. Namun ini akan memunculkan masalah baru: terjemahan seperti ini terlalu jauh mengubah puisi aslinya: satire dalam puisi Janus yang halus dan ringkas tersebut berubah menjadi terlalu kasar dan bertele-tele. Dan ini berarti mengurangi nilai "puitis" puisi tersebut.

Lalu bagaimana mengatasi masalah di atas? Masalah seperti ini tak akan sepenuhnya teratasi jika kita hanya mengandalkan keterampilan se-orang penerjemah, selihai apa pun penerjemah itu dalam -menguasai ba-hasa asal ataupun bahasa sasaran, karena masalah seperti ini -muncul dari watak dua bahasa yang sangat berlainan. Seperti yang saya katakan di atas, masalah seperti ini, menurut saya, hanya bisa terpecahkan jika kita mau bersepakat mengubah sebagian konvensi yang ada dalam bahasa Indonesia. Konvensi itu adalah menyangkut makna (petanda) yang dirujuk oleh kata ganti (penanda) "dia" dan "ia". Melalui tulisan ini, saya mengusulkan agar kita mulai memberikan makna baru pada kedua penanda ini: dia = orang ketiga perempuan (sama dengan she), ia = orang ketiga laki-laki (sama dengan he).

Saya tidak tahu apakah usul seper-ti ini lazim terjadi dalam sebuah komunitas bahasa (saya sadar bahwa dalam sebuah bahasa, konvensi menyangkut hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara diam-diam, manasuka [arbitrer], dan tidak bisa dipaksakan). Namun saya yakin bahwa perubahan ini akan sangat bermanfaat, bukan saja untuk menghasilkan terjemahan yang bagus dan berkualitas di tengah bom terjemahan yang sekarang ini masih terjadi, melainkan juga untuk menjadikan bahasa Indonesia secara umum lebih efektif dan efisien.

Zaim Rofiqi

sumber: http://majalah.tempointeraktif.com

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.