Novel ”Snow” transkip diskusi

PEMBICARA: IHSAN ALI-FAUZI, AYU UTAMI

MODERATOR: ADI WICAKSONO

Moderator: Selamat Malam saudara-saudara. Malam ini kita akan berdiskusi tentang novel Snow karya Orhan Pamuk.

Pamuk adalah orang Turki. Kita tidak akan membicarakan Turki, tapi Foucault dan sastra. Tapi perlu saya informasikan bahwa, Turki ini dalam kancah kesastraan Indonesia ataupun dalam pemikiran merupakan negara yang paling sedikit dikenal. Tahun 80-an, generasi saya, kalau menulis puisi dan membaca karya-karya sastra yang bersal dari Timur Tengah dan Asia Barat yang paling mengenai banyak sastra sufi—sufisme dalam sastra. Itu merupakan hasil dari golden age(masa kejayaan Islam). Itu banyak dipelajari disini melalui penerjemah seperti RA. Nikhalson yang menerjemahkan karya-karya sufi ke dalam bahasa inggris kemudian dari bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Itu pun baru sekitar tahun 1980-1990-an yang merupakan era paling panas saat para penyair kita mempelajari karya-karya sufisme. Orang Turki yang masuk dalam pembicaraan penyair pun hanya dua, yaitu Yunus Emre dan Estrevoglu. Rumi yang sering dibicangkan itu dipahami sebagai orang Turki.

Padahal ia orang Afganistan yang menghabiskan akhir hidupnya di kota konya, Turki. Sekitar 6 jam perjalanan dari Angkara dengan naik bus. Kemarin di Turki diperingati 800 tahun kelahiran rumi yang lahir 1207.Setelah Yunus Emre kita tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan Turki.

Meskipun Bung Karno pengagum berat Kemal Attaturk, pendiriTurki modern yang mendirikan sekuleritas dalam negara. Yang kita tahu hanya masalah sepak bolanya. Tahun 1989-1990 Turki diterima oleh UFA sebagai bagian dari kompetisi dengan Eropa. Nama-nama pemain lebih dikenal di sini.

Orang-orang Turki paling banyak imigran di Suiz dan Jerman. Di Suiz ada pemain sepak bola yang bernama Hakan Yakin. Ia adalah orang Turki. Latar belakang yang panjang mengenai islam, lahirnya Turki modern, dan lahirnya sekularisme yang kuat. Kita ingat presiden Gul yang terpilih kemarin. Mula-mula ia ditolak karena istrinya berjilbab.

Di sini ada mba Ayu Utami yang akan membandingkan karya Pamuk dengan pemenang nobel dua tahun sebelumnya, Elfriede Jellinek. Kemudian Ihsan Ali-Fauzi alumnus Ohio State. Ia banyak menerjemahkan buku-buku tentang Islam.

Saya membaca pamuk baru-baru ini. Masih ada beberapa buku yang belum selesai saya baca. Banyak sekali hal-hal yang menarik yang tentunya butuh kajian lebih lanjut. Buku orhan pamuk Snow, My Name is Red dan banyak sekali mengandung hal yang perlu dibahas. Saya memilih tema kekerasan sebagi pintu masuk dalam membahas buku ini. Karena kekerasan bukanlah tema-tema sampingan dalam karyanya. Kemudian saya bandingkan dengan karya Jelinek pemenang nobel 2004 dari Austria.

Kalau kita melihat buku My Name is Red atau namaku merah Kirmizi novel itu bermula dari mayat hasil bunuh diri. Sebagai seorang penulis fiksi, saya merasa tema kekerasan merupakan tema yang menarik. Ia mudah tergelincir untuk menjadi sukses dan mudah stereotip. Ketegangan dan resolusi merupakan tema yang mudah untuk meraih sukses. Cara membikin ketegangan yang paling baik adalah denga kekarasan. Seperti film-film Holywood. Dalam penggarapan kisah-kisah populer biasanya kekersan itu selalu menguntungkan laki-laki.

Dalam film-film Holywood misalnya, aktor utama atau jagoan disiksa terlebih dulu dan pada akhirnya ia menang. Ini merupkan adegan yang paling disukai dan penonton pun senang. Juga hingga tahun 1980-an image perempuan itu selalu akan diperkosa—dengan pakaian yang terkoyak—dan diselamatkan seorang lelaki yang gagah.

Stereotipnya selalu begitu sampai sekarang. Saya tertarik para penulis besar yang mengarap tema-tema kekerasan tetapi tidak tergelincir dalam stereotip itu dan juga tidak jatuh pada setereotip yang lain—melawan, feminin. Karya Pamuk dan Jelinek sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Karena itu akan saya bandingkan—meskipun sebenarnya tidak harus dibandingkan. Jelinek di beberapa tempat mengambarkan prasangka Barat terhadap Turki. Saya kira ada beberapa sisi yang bisa mencerminkan satu sama lain. Orhan Pamuk tidak naif mengenai kekerasan. Ia tahu seterotip mengenai kekerasan mudah terjadi. Setiap pengarang yang sadar akan bentuk estetika pasti akan memberikan pendekatan kunci-kunci estetika pada karyanya.

Misalnya kesadaran Orhan Pamuk mengenai setereotip kekerasan terdapat dalam Snow dalam bagian yang lucu. secara garis besar bercerita tentang seorang laki-laki bernama Ka. ia ingin pergi ke kota Kars. Kota kecil dekat Armenia. Ia kembali ke kotanya dengan alasan yang ia sadari dan yang tak ia sadari. Sebagaian ia akui dengan jelas dan sebaian ia simpan sebagai kemungkinan-kemungkinan.

FREEDOM INSTITUTE, Rabu, 26 September 2007

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.