Pak Bill dalam Hidup Saya

PERTAMA KALI saya bertemu Bill Liddle adalah di ruang senat mahasiswa Fisipol UGM, dalam suatu acara diskusi ma­hasiswa di tahun 1989. Dia kebetulan sedang berada di Yog­jakarta dan salah satu kelompok studi di UGM mengundang­nya berbicara mengenai politik Orde Baru; sementara saya di­minta untuk menanggapinya mewakili kaum aktivis ma­ha­siswa.

Isi diskusi kami saya tidak ingat lagi. Tetapi yang masih terus melekat dalam memori saya adalah percakapan singkat dengan Bill Liddle di parkiran Fisipol UGM, di bawah pohon ketapang, setelah diskusi tersebut. “prof. Liddle, kalau saya mau melanjutkan kuliah di Amerika Serikat setelah lulus nanti, Anda bisa bantu memberi rekomendasi?” kira-kira begitu pertanyaan saya pada dia (karena belum kenal sebelumnya, saya masih memanggilnya “Prof. Liddle”, bukan “Pak Bill” yang menjadi panggilan akrabnya.)

Sampai sekarang, 18 tahun kemudian, saya masih ingat de­ngan baik jawaban dia, termasuk ekspresinya saat men­je­laskan apa saja yang saya perlukan untuk bisa diterima sebagai ma­hasiswa pasca-sarjana dalam studi ilmu politik di AS. Dengan ramah dia membuka harapan buat saya dan menekan­kan bah­wa semua itu sebenarnya cukup mudah sejauh saya me­miliki nilai-nilai yang baik saat lulus nanti.

Sebelum kami berpisah dia sempat menekankan bahwa jika dibutuhkan dia pasti akan senang membantu dan memberikan rekomendasi, apalagi kalau universitas yang saya pilih adalah The Ohio State University, tempatnya mengajar. Dia mempersilakan saya untuk menulis surat ke Columbus (waktu itu belum ada email) setelah saya lulus nantinya.

Tentu saja perasaan saya agak melambung. Sebelum itu sebenarnya saya juga sudah bertanya-tanya tentang hal yang sama pada Arief Budiman, Umar Kayam, Herbert Feith, dan Mohtar Mas’oed, yang beberapa tahun sebelumnya me­nyelesaikan studi di Columbus, Ohio. Tetapi dengan penjelasan dan kontak dengan Bill Liddle, yang waktu itu sudah dianggap sebagai salah seorang Indonesianis senior di AS, saya pikir jalan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di negeri Paman Sam sudah semakin terbuka.

Setahun kemudian, setelah lulus dari Fisip UGM dan kemudian mendapat kepastian bahwa saya menerima beasiswa Fulbright, saya mengontak Bill Liddle. Lamaran saya untuk studi ilmu politik diterima di beberapa universitas di AS, termasuk di Columbia University, New York, serta di OSU. Terus terang, waktu itu pilihan saya cenderung ke yang pertama, sebab universitas ini termasuk dalam Ivy League (kelompok uni­versitas terbaik di AS), dengan program studi filsafat politik yang sangat kuat serta lokasinya yang berada di “pusat peradaban”.

Tetapi saya juga masih bimbang. Soalnya adalah dana dari bea­siswa Fulbright, seingat saya, “hanya” US$25.000 per ta­hun,

se­mentara untuk kuliah di Columbia yang dibutuhkan adalah US$40.000 setahun. Saya tidak tahu bagaimana menutup gap se­besar itu. Waktu itu belum ada lembaga sema­cam Freedom Institute yang dapat membantu mencarikan dana tambahan ba­gi mahasiswa berprestasi yang mendapat beasiswa di luar ne­ge­ri.

Persoalan lain yang juga memusingkan saya adalah sebelum melanjutkan kuliah di AS saya mau kawin dulu dengan pacar saya, Dewi, yang waktu itu juga sudah menyelesaikan studinya di jurusan antropologi UGM. Kami sudah cukup lama pa­caran dan saya tidak ingin meninggalkan dia bertahun-tahun, hidup sendiri di perantauan.

Kawin dulu, urusan belakangan–begitu tekad kami waktu itu. Tapi kemudian “urusan belakangan” ini semakin membuat sa­ya berpikir. Kalau untuk hidup sendiri saja beasiswa Fulbright ma­sih kurang, bagaimana pula saya bisa menghidupi istri? Bagai­mana jika kami punya anak nantinya? Hidup di New York dengan anak yang masih kecil dan kehidupan ekonomi pas-pasan a la mahasiswa di perantauan: apakah kehidupan ke­luar­ga yang normal bisa saya jalani serta proses belajar tidak akan ter­ganggu karena memikirkan the basic necessities of a normal life?

Semua itu saya singgung dalam surat pada Bill Liddle. Bebe­rapa saat kemudian saya menerima surat balasan darinya yang cukup panjang. Dia membujuk saya untuk memilih OSU dan mengatakan bahwa setelah saya menyelesaikan program master dan beasiswa Fulbright berakhir, dia akan meyakinkan teman-temannya di fakultas untuk menerima saya dalam program doktor, dengan beasiswa dari universitas dalam bentuk TA (teaching assistanship).

Selain itu dia juga menambahkan bahwa untuk kehidupan keluarga saya Columbus pasti jauh lebih baik dan ramah ketimbang New York City. Columbus lebih kecil, lebih bersahabat, serta lebih murah. Singkatnya, Dewi dan saya pasti akan lebih merasa nyaman di Columbus, apalagi jika kami nantinya akan membesarkan seorang anak.

Surat Bill Liddle itulah yang membantu saya untuk men­jatuh­kan pilihan pada OSU. Arief Budiman, begitu mendengar hal ini, langsung berkata, “Ngapain lu ke sana, jauh banget.” (Maksud­­nya, jauh dari kota-kota besar di pantai timur dan pan­tai barat yang menjadi pusat kosmopolitanisme AS). Tapi cepat-ce­pat Arief menambahkan, “Saya kenal Bill. Orangnya baik ba­nget.”

***

Tiga bulan setelah kawin, Dewi dan saya berangkat ke AS pada awal Agustus 1992. Di pesawat saya meyakinkan Dewi bahwa hidup baru yang akan kami jalani di Ohio nanti pasti menyenangkan, dengan lingkungan yang baik, dan saya bisa lebih memusatkan perhatian untuk belajar.

Setiba di Columbus pada awal September kami langsung membereskan apartemen dan berbagai persiapan lainnya. Setelah semua urusan yang cukup melelahkan ini selesai saya mengajak Dewi menemui Bill Liddle di kantornya, waktu itu masih di Neil Hall, sambil berjalan kaki menyusuri kampus Buckeye di awal musim gugur yang indah itu.

Itulah kedua kalinya saya bertemu Bill Liddle. Saya menyampaikan salam beberapa kawan di Yogja, dan dia menjelaskan lebih jauh tentang kehidupan universitas di AS dan tentang kota Columbus. Dalam pertemuan ini, sambil tersenyum dia sempat mengatakan bahwa perjanjian pertama antara dia dan saya adalah jika kami bertemu bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dia ingin terus melatih bahasa Indonesianya yang memang sudah hampir sempurna itu. Perjanjian berikutnya: kalau dia menulis kolom atau makalah dalam bahasa Indonesia, dia berharap saya mau mengoreksi isi dan bahasanya. (Kemudian saya tahu, “perjanjian” semacam ini juga berlaku untuk semua mahasiswanya, sebelum dan setelah saya.)i Seingat saya, dalam pertemuan ini juga, saya mulai memang­gilnya dengan sapaan “Pak Bill”.

Pada kuartal pertama salah satu matakuliah yang saya pilih adalah poliscience 741: Politics of the Developing World, yang diisi oleh Pak Bill. Untuk matakuliah ini, sebagai tugas akhir, saya menulis dua paper. Yang pertama mengulas kesinambungan dan perubahan pemikiran Samuel Huntington lewat dua bukunya, Political Order in Changing Societies (1968) dan The Third Wave of Democratization (1991). Draft pertama yang saya serahkan hanya diberinya catatan singkat dan saya diminta untuk menulis revisi yang lebih serius. Setelah beberapa hari begadang saya kemudian menyerahkan hasil revisi yang sudah jauh berbeda dari sebelumnya, jumlah halamannya juga berkembang, dari 15 menjadi 24.

Dalam dua atau tiga hari saya menerima kembali paper ini dari Pak Bill. Di dalamnya sudah banyak berisi catatan dan coretan dia, baik dalam mengoreksi bahasa Inggris saya maupun dalam memberi penekanan ide-ide yang ada di dalamnya. Di halaman terakhir paper ini dia memberi komentar, dengan tulisan tangannya yang tinggi-kurus, dengan lekukan yang tajam itu: “[This is] a very big improvement from the first draft. Your summary really captured the heart of the two books...imaginative, thoughtful, serious...”

Dia memberi nilai A untuk paper pertama ini, yang tentu saja sangat menyenangkan perasaan saya sebagai mahasiswa yang baru dua bulan berada di Columbus dan baru mulai mengenal sistem perkuliahan di AS.

Untuk paper yang kedua rupanya saya agak kurang ber­untung. Dalam paper ini saya membahas perubahan pemikiran Peter L. Berger dalam melihat peran sistem kapitalisme di ne­gara berkembang, juga lewat dua bukunya yang agak berbeda, Pyramids of Sacrifice (1974) dan The Capitalist Revolution (1986).

Komentarnya di halaman akhir paper kedua ini: “Your discussion at the end was not quite as directly as you might have. Also, you should have made a clearer separation between the two books at the beginning... But it’s a good start–a well or-ganized paper....” Paper ini diberinya nilai A mi­nus.

Setelah lulus poliscience 741 saya masih mengikuti be­berapa kelas Pak Bill. Tetapi minat saya sejak awal sebenarnya bukan terutama ingin belajar tentang politik Indonesia atau mengkhususkan diri hanya pada studi perbandingan politik yang menjadi bidang spesialisasi Pak Bill. Salah satu persoalan saya adalah saya tidak memiliki cukup kesabaran untuk mempelajari satu atau dua hal saja. Terkadang kepala dan hati ti­dak sinkron: yang satu sudah penuh sesak, sementara yang satunya lagi masih terus tertarik dengan berbagai topik lain­nya.

Untungnya Pak Bill memahami dan menerima hal itu. Saya, dan saya kira semua mahasiswa yang pernah berada di bawah bimbingan Pak Bill, merasa bersyukur bahwa dia benar-benar mempraktikkan semboyan tut wuri handayani. Ia membiar­kan mahasiswanya untuk berkembang sendiri, mencari penge­tahuan dan menelusuri minat masing-masing. Dari belakang ia seringkali hanya melontarkan pertanyaan dan mengajak diskusi.

***

Salah satu wilayah yang saya gemari adalah sejarah libe­ralisme, dalam pengertian klasik. Di UGM, pada tahun-tahun awal, saya termasuk aktivis mahasiswa kiri. Tetapi menjelang lu­lus saya semakin menempuh the road less traveled by dalam konteks pergerakan kemahasiswaan saat itu: saya semakin ber­gerak ke kanan. Di Columbus perubahan ini semakin insentif dan saya mencoba memahami lebih jauh tradisi pemikiran li­be­ral.

Pak Bill menyambut baik hal itu dan mendorong saya untuk melakukannya dengan serius. Tapi saya tahu hatinya se­benarnya agak mendua. Bagaimanapun, dia adalah seorang pengikut setia Franklin D. Roosevelt dan secara intelektual menjadi bagian dari arus progresif di negerinya, sebuah tradisi intelek­tual yang dasar-dasarnya tidak selalu berimpitan dengan pemikiran liberal klasik.

Kalau dalam membaca perkembangan di Indonesia dan di negara berkembang umumnya, diskusi kami berdua biasanya berakhir dengan kesepakatan: demokrasi dan modernitas perlu diperjuangkan, ekonomi pasar diperluas, kesejahteraan ditingkatkan dan pemerintah diefisienkan. Selebihnya adalah isu-isu kembangan, seperti peran militer, pertumbuhan kelas menengah, kekuatan Islam, kebudayaan politik, peran partai dan semacamnya. Perdebatan di antara kami paling-paling hanya berkisar pada metode mencapainya, cakupan dan kecepatan pen­capaiannya, serta perbedaan dalam mengevaluasi isu-isu kem­bangan yang mengitarinya.

Tetapi begitu mendiskusikan negara maju, khususnya AS, maka dinamika diskusi kami agak meninggi. Saya biasanya memuji Ronald Reagan dan mencoba memahami godfather intelektual yang berada di balik kemunculan tokoh politik ini, dari F.A. Hayek, Milton Friedman, William F. Buckley Jr. hingga Irving Kristol yang dianggap sebagai pionir gerakan neokon itu. Kalau sudah begini bukan satu atau dua kali saja Pak Bill menyinggung Richard Rorty, tokoh posmo-pragmatis yang brilian itu, dengan akibat yang agak memicu perputaran darah saya, sebab dalam beberapa tulisannya Rorty kadang me­nyinggung bahwa munculnya Reagan sebenarnya tidak lebih hanyalah sebentuk pencurian harta yang dilakukan oleh kaum berduit terhadap kelas menengah dan kelas bawah. Tentu saja saya sadar juga bahwa Pak Bill mengutip Rorty bukan karena “teori ekonomi” yang terlalu sederhana itu, tetapi karena pendapat Rorty yang membela tradisi progresif AS dengan penjelasan filosofis yang memang tajam dan mendalam.

Kalau sudah sampai pada tingkat itu biasanya diskusi kami berakhir tanpa kesimpulan apa-apa selain pada kesadaran bahwa kami tidak mungkin bisa mengubah pendapat masing-masing, setidaknya untuk sementara waktu. Dan seingat saya, karena dasarnya memang seorang guru, tidak pernah sekalipun Pak Bill marah terhadap kritik yang saya lontarkan; malah, kalau pendapat saya agak lemah di matanya dia kerap merekomendasikan satu atau dua buku yang harus saya baca.

Topik lain yang seingat saya juga sering memunculkan diskusi hangat di antara kami berdua adalah masalah separatisme dan eksistensi keindonesiaan. Saya melihat masalah ini dengan berusaha menggabungkan dua aliran pemikiran, yaitu kaum pelopor argumen raison d’etat di satu pihak serta kaum liberal klasik di pihak lain. Memang, penggabungan kedua aliran ini agak kontradiktif. Tetapi jika dilihat secara sequential, keduanya sebenarnya saling membutuhkan: yang satu harus mendahului yang lain.

Dalam praktik hal ini berarti bahwa sebelum demokrasi dan ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik, unit organisasi politiknya, yaitu negara-bangsa, harus relatif beres dulu. Demokrasi dan pasar bekerja dalam sebuah konteks, dan di mana-mana dalam sejarah, konteksnya yang modern adalah negara-bangsa tersebut. Sebaliknya jika unit politik ini masih terus dipersoalkan atau terganggu, misalnya oleh separatisme atau kontestasi oleh negara lain, maka banyak hal yang tidak mungkin tumbuh dengan sehat.

Barangkali saya terlalu kaku dalam mengikuti konsekuensi pemikiran semacam itu dalam melihat kasus-kasus konkret, misalnya di Aceh dan Papua. Yang jelas, setiap kali hal itu kami bicarakan suhu diskusi akan meninggi. Pak Bill tidak me­nentang cara berpikir saya, tetapi dia lebih peka pada dimensi kema­nusiaan serta sangat tidak yakin bahwa kaum militer (alat sekaligus pengendali nation-state di zaman Orba) bisa me­na­han diri dan menyelesaikan ketegangan di daerah. Di Aceh Pak Bill memiliki pengalaman yang cukup panjang dan sering­kali dia menimba dari pengalaman ini untuk menjelaskan pen­dapatnya.

Harus saya akui, dalam soal ini, diskusi kami sering membuat saya merenung sendiri. Saya kuatir bahwa saya terlalu terjebak dalam dunia gagasan sehingga agak melupakan bahwa fondasi kehidupan adalah manusia-manusia konkret yang memiliki perasaan dan hidup masing-masing. Tetapi saya juga ragu, jika humanisme semacam ini saya ikuti terus ke ujungnya, termasuk dalam melihat proses pembentukan negara-bangsa, maka pembelaan terhadap sebuah unit politik yang disebut sebagai Republik Indonesia menjadi sangat rapuh, dengan konsekuensi jangka panjang yang justru ingin dihindari oleh setiap kaum humanis.

Kalau sudah berputar-putar seperti itu biasanya saya kemudian mencari bacaan-bacaan baru yang dapat membantu saya. Tetapi terus terang, dalam soal ini, setelah sekian tahun, sampai sekarang pun saya belum dapat menyelesaikan dilema yang ada dalam pikiran saya. Kalau diungkit, hal itu masih terus menggantung. Mungkin penyelesaiannya bukan terletak pada dataran konseptual tetapi pada proses kehidupan yang terus mengalir dan membawa kenyataan dan harapan baru.

***

Salah satu topik yang menjadi top hit pada pertengahan 1990-an, sebelum era reformasi, berkisar di seputar isu tentang the nature of the New Order—bagaimana memahaminya, b­agaimana mendudukkan peran Soeharto, pencapaian serta ke­gagalannya. Semakin lama berada di Columbus tanpa sadar saya sema­kin mendekati posisi Pak Bill dalam isu-isu ini. Hal demikian barangkali tidak langsung terkait dengan pergerakan ideologis seperti yang saya singgung sebelumnya, tetapi lebih ber­hu­bungan dengan pengertian yang lebih baik, setidaknya me­­nurut saya, terhadap kompleksitas kehidupan dan kenyataan ma­syarakat Indonesia.

Pak Bill sendiri melihat Orba dalam banyak seginya. Kalau misalnya dia menggali sejarah kemunculan rezim yang diba­ngun Soeharto ini, dia tidak akan terpaku hanya pada pem­bahasan peristiwa pembunuhan kaum komunis. Kalau memang membahas tragedi tersebut biasanya dia melihatnya dalam pers­­pektif yang luas, yang berhubungan dengan dinamika politik saat itu, tanpa terjebak pada penghakiman sebuah rezim pemerintahan. Sebaliknya, kalau memuji keberhasilan pembangunan ekonomi Orba, hal ini tidak berarti bahwa dia memberi pembenaran pada sebuah sistem politik yang otoriter.

Dalam melihat peran Soeharto secara khusus hal yang sama dia lakukan pula. Pak Bill bukan seorang Marxis tetapi dalam hal ini ia tidak berbeda jauh dengan Marx, dalam 18th Brumaire: manusia memang membuat sejarah, tetapi dalam me­lakukan­nya mereka tidak bisa seenaknya sendiri, man makes historybut they do not make it as they please. Soeharto, dalam pan­dangan Pak Bill, adalah seorang tokoh di panggung politik yang bertindak secara rasional dalam mencapai tujuannya, mem­buka peluang dan menghadapi tantangan berdasarkan sumberdaya politik yang dimilikinya.

Kesadaran akan peran aktor dalam sejarah itulah yang men­­ja­­di salah satu ambisi teoretis Pak Bill. Dari kasus Indonesia yang bersifat khusus, dia ingin membangun sebuah pengertian umum yang lebih jauh tentang peran kepemimpinan, peran tokoh dalam perubahan–sebuah tema besar yang biasanya dibahas de­­­ngan menggabungkan ide-ide dari berbagai disiplin keil­mu­an.

Selain berusaha mewujudkan ambisi keilmuannya, Pak Bill juga tidak lupa menulis di media populer Indonesia, terutama harian Kompas dan majalah Tempo. Dia sangat bangga dengan posisinya sebagai seorang kolumnis, dan periode paling produktif Pak Bill sebagai kolumnis kebetulan bersinggungan dengan periode saya belajar di Columbus.

Bagi saya hal itu mendatangkan keasyikan sekaligus kerepotan tersendiri. Terkadang pagi-pagi benar, atau menjelang tengah malam, dia menelpon ke apartemen saya, memberitahukan bahwa satu lagi kolom dia sudah selesai. Artinya, saya harus segera ke Derby Hall mencari hardcopy-nya di kotak surat saya (setelah zaman email, hal ini jauh lebih mudah) dan mengedit bahasanya.

Tidak jarang setelah menulis kolom, apalagi jika isinya bernada kritik terhadap pemerintah atau terhadap suatu kecenderungan dalam masyarakat Indonesia, Pak Bill me­nyampaikan keluh-kesah dan perasaan bersalah. Dia terlalu sensitif, tidak ingin dianggap sebagai orang asing, dari Amerika Serikat lagi, yang selalu menggurui orang Indonesia. Hal ini membuatnya sangat hati-hati, malah beberapa kali kebingungan sendiri merumuskan posisi yang tepat manakala berada dalam diskusi atau polemik yang hangat dan tajam.

Kalau sudah begitu, yang biasanya saya lakukan adalah mengingatkan sambil mengejek sedikit. “Pak Bill, kita semua manusia universal. Tidak ada pengkotakan Indonesia-Amerika, Timur-Barat. Hak Anda mengkritik Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dibanding hak saya. Lagian, ilmu juga bersifat universal. Apa urusannya dengan ketersinggungan satu dua kelompok yang masih berpikir primordial?”

Setiap kali saya mengatakan hal seperti itu, reaksi Pak Bill hampir selalu sama. “Anda benar. Anda mungkin benar...” Namun dari raut wajahnya saya tahu bahwa sesungguhnya dia tidak pernah benar-benar yakin mengatakannya.

***

Saya bersyukur bahwa hubungan kami berdua tumbuh dari sekadar hubungan guru-murid, profesor-asisten. Setelah sa­tu atau dua tahun hubungan kami justru lebih terasa sebagai saha­bat. Hal semacam ini juga pasti dirasakan oleh mahasiswa Pak Bill lainnya, mulai dari Mohtar Mas’oed, Makarim Wibisono, Salim Said, Bahtiar Effendy, Denny JA, Saiful Mujani, Eep Saefulloh Fatah, Takeshi Kohno, Blair King, Dody Kuskridho Ambardi dan yang lainnya.

Rumah Pak Bill yang luas dan nyaman di Upper Arlington se­ring menjadi tempat berkumpul teman-teman yang belajar di Columbus, lengkap dengan keluarga masing-masing, baik dalam merayakan malam tahun baru, 17 Agustusan, 4 Julian, atau jika ada teman dan tamu yang datang dari Indonesia. Setiap kali ada pertemuan semacam ini dia selalu memamerkan salah satu kelebihannya yang jarang tertandingi oleh maha­siswanya, yaitu memasak, terutama rendang Aceh. Istri Pak Bill yang ramah dan baik hati itu, Wanda Carter, selalu mem­beri toleransi yang luas jika beranda atau ruang tamunya ke­mudian berubah men­ja­di arena para talking heads dengan diskusi yang berkepanjangan.

Pak Bill juga sering mampir ke tempat mahasiswanya. Seringkali dia mengetuk pintu apartemen saya, membawa sebuah bungkusan kertas coklat yang di dalamnya berisi roti tawar yang masih hangat, buatan tangannya sendiri. Dewi dan saya se­­be­nar­nya juga sering membuat roti sendiri. Tetapi harus kami akui, setelah bertahun-tahun mencoba bermacam kombinasi resep, roti tawar kami tidak pernah seempuk dan segurih roti Pak Bill.

Seringkali kami juga mengadakan acara barbecue bersama kawan-kawan yang lain. Salah satu yang terus saya ingat adalah sebuah acara barbecue di halaman belakang apartemen saya di Trumbull Court, Buckeye Village, sehari setelah Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998.

Saya mengerahkan segenap keahlian untuk memanggang ayam dan rusuk sapi kegemaran anak saya, Guntur, yang waktu itu masih berusia lima tahun. Takeshi Kohno, seorang kawan dari Jepang yang juga sedang menyelesaikan program doktor dalam studi Indonesia di OSU, menyempatkan diri mengambil bendera Merah Putih dari kantornya. Kawan-kawan lain juga ikut dan meluapkan perasaan dengan cara masing-masing. Dari jauh kami semua ingin merasa terlibat, turut serta dalam proses perubahan yang sedang terjadi di tanah air.

Sore itu Pak Bill datang lengkap dengan seluruh keluarganya, Wanda, Caitlin, Adam, Craig dan Hedwig. Bagi kami peristiwa peralihan kekuasaan di Jakarta adalah sebuah momen sejarah. Bagi Pak Bill makna peristiwa itu lebih khusus lagi. Setelah lulus dari Yale Univeristy dia memulai kariernya sebagai pengamat Indonesia bertepatan dengan periode peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Lebih 30 tahun karir profesionalnya dia bangun dengan menulis dan meneliti Orde Baru, Pak Harto, TNI dan semacamnya. Kini, praktis dalam se­hari, semua itu sudah berlalu.

Jadi, sambil menghirup asap berbecue, di tengah perayaan kami menyongsong datangnya era baru di tanah air, terasa juga sebuah suasana nostalgia, sebuah kesadaran bahwa suatu tahap dalam kehidupan sudah lewat dan tidak mungkin kembali lagi. Tapi seingat saya sore itu Pak Bill tak tampak larut dalam perasaan melankolik. Kalau saya lihat kembali foto-foto yang mengabadikan suasana sore di penghujung musim semi itu, yang tampak adalah senyum lebar dan mata yang berbinar. Dan salah satu foto favorit dalam album keluarga kami, yang terus menghiasi meja kerja saya sampai sekarang, adalah foto Guntur yang sedang tersenyum sambil berdiri memegang ujung bendera Merah Putih yang dibawa oleh Takeshi, diapit oleh kedua orangtuanya, sementara Hedwig, menantu Pak Bill, lewat di belakang sambil memegang piring yang berisi ayam dan rusuk bakar yang mak nyus itu.

Peristiwa lain yang juga tidak pernah saya lupakan adalah pada saat Pak Bill menelpon ke apartemen saya sekitar jam 1 di­nihari, 20 Oktober 1999. “Anda berlangganan CNN? Saya ke tem­pat Anda sekarang.” Rupanya saluran TV langganan dia kebe­tulan sedang rusak, sementara CNN sedang menyiarkan secara langsung pemungutan suara di MPR untuk memilih pre­siden pengganti BJ Habibie, antara Gus Dur atau Megawati. Pe­ristiwa seru ini berlangsung siang hari di Jakarta tetapi karena Columbus berada di belahan bumi yang persis ber­lawanan, siar­an CNN dimulai tepat tengah malam dan berlangsung hingga subuh.

Sekitar 15 menit setelah menelepon Pak Bill muncul di pintu apartemen saya, membuka jaketnya, dan langsung duduk di sofa mengikuti siaran CNN. Sekian jam kami tidak banyak bicara, mengikuti pencatatan suara yang menegangkan. Tubuh Pak Bill yang tinggi kurus itu melingkar di sofa saya, wajahnya lurus menatap TV.

Setelah Gus Dur akhirnya terpilih dengan suara terbanyak Pak Bill menghela napas panjang. Saya lihat matanya berkaca-kaca. Dia tidak banyak bicara, tetapi saya mengerti gumpalan perasaannya.

Dia kenal Gus Dur sejak lama. Pada tokoh inilah (pemimpin Islam moderat, intelektual, aktivis sosial) dia banyak berharap. Pak Bill begitu mencintai Indonesia dan pada dinihari itulah dia langsung menyaksikan betapa proses demokrasi meng­hasilkan the best of all possible worlds. Begitu banyak harapan, begitu banyak kemungkinan baik yang dapat terjadi di masa depan–dan semua itu mungkin diwujudkan oleh seorang tokoh, seorang sahabat, yang memang sejak lama telah ia ramalkan akan menjadi pemimpin Indonesia.

Saya sendiri, seingat saya, selain merasa senang dan takjub akan denyut perputaran sejarah yang demikian intens, sebenarnya pada saat itu juga mulai merasa kuatir. Di kepala saya menggumpal sekian pertanyaan.

Tetapi saya lebih memilih diam dan mengantarkan Pak Bill, setelah siaran itu selesai, mengambil jaketnya dan menuju pintu untuk kembali ke Upper Arlington, menyetir mobilnya menembus gelap di musim gugur.

***

Dalam kehidupan mahasiswa, masa yang paling menyenangkan sekaligus menguras energi adalah masa penelitian dan penulisan disertasi. Tidak ada lagi kuliah, paper dan ujian. Tetapi pada saat yang sama segenap pikiran harus dicurahkan untuk meneliti serta menulis satu topik yang spesifik dan menyumbangkan sebuah pengertian baru, atau merevisi pe­ngertian lama, mengenai topik tersebut.

Pada umumnya penulisan disertasi dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian dan pengumpulan bahan serta tahap analisis dan penulisannya. Untuk itu, pada awal April 1996, saya sekeluarga ke Indonesia dan selama 10 bulan saya harus menggali informasi dan melakukan wawancara di Jakarta yang berkaitan dengan topik disertasi saya, yaitu peran ide dalam perubahan kebijakan ekonomi. Saya bukan peneliti yang tekun dan karena itu periode penelitian ini saya lewati tidak dengan hasil yang maksimal.

Setelah tahap ini saya lalui, kami balik lagi ke Columbus. Seharusnya saya langsung menulis dan menyelesaikan disertasi. Tetapi saya merasa bahan yang ada belum memadai dan juga perumusan ide di kepala saya belum kental benar. Selain itu, hanya beberapa bulan setelah kami tiba lagi di Columbus krisis moneter terjadi dan situasi di Jakarta gonjang-ganjing, yang tentu saja sangat menarik untuk diamati tetapi dengan akibat bahwa perhatian dan fokus pikiran saya jadi terbelah. Jadinya, selama kurang lebih setahun penulisan disertasi saya hanya berjalan di tempat.

Pak Bill sangat sabar, bahkan mungkin terlalu sabar. Melihat situasi penulisan saya yang belum jelas, dia tidak pernah mendesak atau menegur saya. Sesekali dia bertanya, tetapi umumnya dia menunggu saja, berharap bahwa masa-masa tanpa kejelasan itu segera berlalu.

Saya mulai lagi mengerjakan disertasi pada pertengahan 1998, dan bab demi bab segera mengalir ke Pak Bill. Setiap kali saya menyerahkan satu bab, beberapa hari kemudian halamannya sudah penuh dengan komentar dan coretan Pak Bill. Saya revisi, dia koreksi lagi, demikian seterusnya sehingga naskah yang ada memuaskan kami berdua.

Itulah masa yang paling menyenangkan selama saya belajar di Columbus. Puncaknya adalah pada saat bab-bab terakhir sudah mendekati penyelesaian, menjelang musim dingin 1999. Semua langkah saya jadi lebih ringan dan hidup terasa penuh dan berharga.

Saat disertasi saya rampung Pak Bill termasuk dalam salah satu dari empat komite penguji. Dia lebih banyak mendengarkan serta membiarkan tiga profesor lainnya untuk bertanya. Kalau tidak lupa, salah satu pertanyaan dia adalah tentang Max Weber dan Clifford Geertz, bagaimana saya menghubungkan peran ide-ide yang ada dalam disertasi saya dengan kebudayaan dan jaringan makna yang banyak ditulis oleh kedua tokoh pemikir tersebut.

Saya tidak ingat lagi jawaban saya. Yang saya ingat adalah, setelah ujian tersebut selesai, Pak Bill bersama ketiga anggota komite lainnya menandatangani sebuah formulir yang mengesahkan kelulusan saya. Setelah itu kami berdua, beserta beberapa kawan, keluar ruangan dan menyusuri Oval Mall untuk mencari makan siang.

***

Setelah diwisuda pada musim panas 2000 saya dan keluarga masih tinggal lagi di Columbus, mengajar beberapa mata-kuliah selama setahun. Walaupun sudah cukup lama berada di AS saya masih ingin memperpanjang masa tinggal kami beberapa saat lagi. Guntur saat itu masih kelas 1 SD, dia sangat menyenangi lingkungannya dan kami ingin kemampuan bahasa Inggrisnya betul-betul baik sebelum pulang ke Indonesia. Dewi juga masih sangat menikmati pekerjaannya sebagai personal banker di Huntington Bank yang tepat berada di tengah kota Columbus.

Selain itu, mengajar kelas saya sendiri di universitas merupakan tantangan tersendiri, sebuah pekerjaan yang menyenangkan dan mengenalkan saya lebih jauh dengan alam pemikiran mahasiswa yang berasal dari berbagai negara.

Saya mendapat sebuah ruangan kecil sebagai ruang kerja di lantai 4 Derby Hall, tepat di atas kantor Pak Bill. Jika sempat saya selalu mampir ke lantai bawah atau mengajak Pak Bill ngobrol sambil makan siang di Oval Mall di depan fakultas. Beberapa saat setelah wisuda, Pak Bill mendorong saya untuk mengirimkan naskah disertasi saya ke beberapa penerbit universitas di AS dan Australia. Dia yakin disertasi tersebut layak untuk diterbitkan. Saya tentu senang dengan usul tersebut dan langsung mengikuti sarannya.

Tiga bulan kemudian saya mendapat surat dari East-West Center, University of Hawaii. Waktu itu lembaga ini sedang bekerjasama dengan Stanford University dan sedang menca­ri naskah-naskah di seputar topik ekonomi-politik Asia un­tuk diter­­bitkan. Mereka tertarik dengan disertasi saya, de­ngan beberapa catatan: selain merevisi beberapa bagian, saya masih harus menambah satu bab lagi di bagian akhir, semacam epilog, yang menghubungkan tahun penelitian disertasi saya (1989-1992) dengan apa yang terjadi setelah itu, terutama dengan adanya krismon di Indonesia pada tahun 1997-1998.

Waktu membaca surat tersebut hati saya bercabang. Saya senang bahwa sebuah lembaga yang ternama telah membuka kesempatan untuk menerbitkan disertasi saya. Tetapi saya juga galau, sebab untuk itu saya masih harus melakukan penelitian beberapa bulan lagi, melengkapi data dan menulis sebuah bab tambahan. Terus terang, setelah mengerjakannya selama tiga tahun saya sudah jenuh membaca topik di seputar disertasi saya. Saya ingin menghirup udara segar dengan mengikuti topik-topik lainnya yang juga saya gemari.

Seperti biasa, saya membawa persoalan itu ke Pak Bill. Dia mendorong saya untuk melakukan penelitian tambahan. Dia meyakinkan saya bahwa hasil akhirnya nanti pasti akan berman­faat untuk mengerti situasi Indonesia dengan lebih baik lagi.

Tetapi dia juga tahu bahwa hati saya sudah berada di tempat lain, tidak lagi berada di seputar topik disertasi itu. Dia juga tahu bahwa saya sebenarnya tidak pernah benar-benar ngin menempuh sebuah karier di dunia akademis semata sebuah hal yang dibutuhkan sebagai sumber motivasi agar saya mau meluangkan waktu tambahan beberapa bulan meneliti dan menulis.

Setelah beberapa saat akhirnya saya putuskan untuk mengikuti kata hati saya. Pak Bill dapat memahami sepenuhnya keputusan ini, walaupun saya tahu bahwa dia sebenarnya agak sedih juga.

***

Pada awal Juni 2001 kami sekeluarga kembali ke Indonesia, se­telah sembilan tahun di Columbus melewati masa-masa yang indah dan mengesankan. Bersama teman-teman lain Pak Bill mengantarkan kami ke bandara. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Di pesawat, Guntur dan Dewi menitikkan air mata.

Hidup berjalan terus, dari tahap yang satu ke tahap lainnya. Tetapi Columbus akan tetap berada di hati kami, selamanya.

Terimakasih, Pak Bill. Selamat ulang tahun ke-70.

31 Desember 2007

i. Sebenarnya, Bill Liddle tidak perlu terlalu kuatir dengan kemampuan bahasa Indonesianya. Dari segi bahasa, kolom dan artikel yang ditulisnya tidak banyak yang perlu diubah. Di antara banyak Indonesianis yang saya kenal hanya Ben Anderson yang sedikit berada di atas kemampuan Bill Liddle. Untuk mengekspresikan pikiran dalam bahasa Indonesia dia hampir tidak menemukan kesulitan samasekali, kecuali dalam percakapan cepat, kata ganti “kami” dan “kita” selalu menjadi batu sandungan yang permanen sebagaimana umumnya yang dialami oleh setiap orang yang tumbuh dari lingkungan berbahasa Inggris. Dalam soal bahasa, tokoh yang paling dia kagumi di Indonesia adalah Goenawan Mohamad, yang dijulukinya The Indonesian Shakespeare.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.