Penghargaan Achmad Bakrie 2019

VIVA – Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) tahun ini kembali digelar. Ketua Pelaksana PAB XVII/2019, Anindra Ardiansyah Bakrie, mengatakan acara ini berkat kerja sama antara Yayasan Achmad Bakrie, Freedom Institute dan Bakrie Group.

Ardi mengatakan acara ini digelar juga dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74 tahun, sekaligus sebagai rangkaian memperingati 77 tahun kelompok usaha Bakrie. Menurutnya, falsafah setiap rupiah yang dihasilkan Bakrie harus bermanfaat bagi orang banyak merupakan amanah dari almarhum H. Achmad Bakrie. Hal ini menjadi falsafah dasar Bakrie Untuk Negeri.

Dia melanjutkan, penghargaan Achmad Bakrie merupakan tradisi penganugerahan kepada para tokoh inspirasional yang berjasa bagi kehidupan bangsa. Tokoh-tokoh yang dipilih adalah insan-insan terbaik dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta yang telah membaktikan hidupnya di bidang kemanusiaan.

Selama kurun waktu tujuh belas tahun berturut-turut, PAB telah diberikan kepada 76 penerima yang terdiri dari 72 individu dan empat lembaga.

“Tahun ini adalah tahun ke-17 Yayasan Achmad Bakrie memberikan Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) kepada anak bangsa yang menuangkan pikirannya dalam menghasilkan karya inspiratif yang manfaatnya dirasakan masyarakat. Semoga penghargaan ini juga mampu memotivasi anak-anak bangsa untuk terus berjuang menghasilkan karya-karya terbaik," ujar Ardi di Ballroom Djakarta Theater, Rabu malam, 14 Agustus 2019.

Ardi mengatakan, PAB 2019 menghadirkan empat tokoh Penerima Penghargaan yaitu Jakob Oetama (jurnalisme), Ashadi Siregar (sastra populer), Anna Alisjahbana (kedokteran) dan Anawati (Sains).

Berikut empat tokoh yang mendapat PAB 2019:

Jakob Oetama (Jurnalisme)

Kecerdikan visionernya membangun jurnalisme kepiting yang memungkinkan Kompas bertahan sebagai bagian pilar demokrasi yang keempat di tengah iklim politik yang otoriter, sekaligus kelompok usaha yang dinamis di tengah situasi ekonomi yang tak menentu.

Ashadi Siregar (Sastra Populer)

Lewat trilogi "Cintaku di Kampus Biru” (1974), "Kugapai Cintamu” (1974), dan "Terminal Cinta Terakhir" (1975), ia berhasil membuka babak baru penulisan novel populer di negeri ini. Temanya memang lazim dalam genre sastra pop: dunia anak muda dan mahasiswa yang diwarnai liku-liku percintaan, pendobrakan, dan pencarian diri. Namun semua itu dituturkan Ashadi dengan bahasa yang segar-lugas, dengan pandangan yang lebih tetpelajar.

Anna Alisjahbana (Kedokteran)

Dedikasinya memperbaiki kualitas anak Indonesia secara holistik dan integratif, antara lain mengilhami pengembangan perangkat inovatif dan tepat guna DDTK. "Deteksi Dini Tumbuh Kembang" temuannya ini bertujuan menjaring anak dengan gangguan perkembangan pada masyarakat rentan dan kurang mampu, yang diterapkan pada Taman Posyandu, PAUD dun pendidikan keluarga, untuk mempersempit kesenjangan anak desa kota.

Anawati (Sains)

Rela meninggalkan gemerlap karier dan gemerincing mata uang Euro karena melihat kualitas air minum perdesaan di Sumbawa hampir sebagiannya terkontaminasi logam berat. Risetnya tentang Tubular Anodic Aluminium Oxide (AAO) dan gagasannya memanfaatkan teknologi pelapis bahan lokal, telah membantu masyarakat Sumbawa. (ase)

sumber Viva.co.id

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles