Tentang Haji Achmad Bakrie (1916 – 1988)

Minat terhadap dunia usaha sudah ia tunjukkan sejak remaja. Pada usia 20 tahun, Achmad Bakrie mulai dengan menjadi seorang pedagang perantara untuk karet, lada, dan kopi, di daerah kelahirannya Kalianda, Lampung. Ia lalu bekerja pada NV Van Gorkom, sebuah perusahaan dagang Belanda.

Sebagai penjaja keliling, ia menjelajahi hampir seluruh pelosok Sumatera Selatan. "Di sini saya memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang barang-barang dan organisasi perusahaan," kata Bakrie, suatu ketika. Merasa cukup dengan pengalaman sebagai pegawai, pada 1941 Bakrie meninggalkan Van Gorkom. Ia kembali menekuni perdagangan karet, lada, dan kopi. Labanya ia tabung sedikit demi sedikit. Setahun kemudian, tepatnya pada 10 Februari 1942, ia mendirikan Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent di Teluk Betung, Lampung. Semasa pendudukan Jepang, nama Bakrie & Brothers tidak boleh digunakan karena berbau Barat. Bakrie kemudian memindahkan perusahaannya ke Jakarta pada 1943.

Di sini ia melanjutkan usahanya dengan menggunakan nama Jasuma Shokai. Begitu Jepang takluk, nama awal perusahaan itu dimunculkan kembali. Pada 1952, Bakrie mulai beranjak dari pedagang antardaerah menjadi pedagang antarnegara. Ia merintisnya dengan mengekspor karet, lada, dan kopi ke Singapura. Hal ini membuatnya menjadi salah satu eksportir pionir dari kalangan pengusaha pribumi. Dari usaha perdagangan, pria kelahiran Kalianda, Lampung, 1 Juni 1916 ini merambah dunia industri.

Ia memulainya pada 1957 dengan membeli sebuah pabrik kawat dan kemudian memperluas bisnisnya dengan mendirikan pabrik pipa baja, pabrik cor logam, dan pabrik karet remah. Sampai dengan Bakrie tutup usia pada 15 Februari 1988 di Tokyo, ia telah berhasil mendirikan satu kerajaan bisnis terkemuka di Indonesia, PT Bakrie & Brothers Tbk. Kerajaan bisnis ini telah berkembang ke berbagai bidang usaha seperti telekomunikasi, properti, industri pipa, pertambangan, investasi, serta bisnis lainnya. Perusahaan yang kini telah menjadi perusahaan publik tersebut memiliki lebih dari 3000 karyawan yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia.

Selama lebih kurang 40 tahun menggeluti bisnisnya, Bakrie didampingi oleh istrinya Roosniah Bakrie, wanita berdarah Batak dengan marga Nasution. Pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak, yakni Aburizal Bakrie, Roosmania Kusmulyono, Nirwan D. Bakrie, dan Indra Usmansyah Bakrie. Setelah wafatnya Bakrie senior, panji Bakrie di dunia usaha dipanggul oleh Aburizal Bakrie serta adik-adiknya. (Aburizal sendiri telah mengundurkan diri sebagai pimpinan perusahaan sejak pertengahan 2004. Dan sejak Oktober 2004, dia menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.)

Apakah arti sukses bagi seorang Achmad Bakrie? Sebagaimana yang diceritakan Aburizal, muara dari keberhasilan usaha dan keuntungan finansial, menurut Achmad Bakrie, adalah digunakannya hal-hal tersebut untuk kepentingan sosial. "Uang bukanlah tujuan hidup, melainkan sekadar alat untuk menyenangkan orang banyak," ungkap Bakrie senior. Sebagai salah satu wujud komitmennya terhadap masyarakat, pada 1981 ia mendirikan Yayasan Achmad Bakrie.

Bakrie beserta istri dan keempat anaknya tercatat sebagai pendiri yayasan yang bertujuan membantu biaya pendidikan anak-anak yang cukup pandai namun kurang mampu itu. Yayasan yang ketika berdiri hanya bermodalkan uang Rp 5 juta tersebut, hingga kini telah membantu ribuan siswa sekolah menengah maupun mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, terutama mahasiswa dari jurusan ekonomi dan bisnis. Bahkan, sejak 2004, Beasiswa Achmad Bakrie juga telah mulai diberikan kepada pelajar-pelajar Indonesian yang berprestasi internasional. Inilah salah satu wujud kepedulian sosial dan kecintaan Bakrie terhadap ilmu pengetahuan. Ia selalu menekankan pentingnya menuntut ilmu. Perjalanan hidup Bakrie muda punya andil besar terhadap pembentukan sikapnya yang seperti itu.

Achmad Bakrie, yang lahir dalam keluarga petani kecil itu, hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar. Namun tekad putra dari H. Oesman Batin Timbangan ini sangat besar untuk menimba ilmu. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai di NV Van Gorkom, ia rela menyisihkan waktu luangnya untuk bersekolah dagang di Hendlesinstitut Schoevers (1937-1939). Sepanjang perjalanan hidupnya, Bakrie tak lepas dari kegiatan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan.

Dalam setiap kesempatanapakah di perjalanan, saat menunggu, atau di waktu senggangmembaca adalah kegiatan utamanya. Buku-buku sejarah, sastra, ekonomi maupun berita terkini menjadi temannya sehari-hari. "Saya paling kesal kalau tidak bisa membaca," kata Bakrie suatu ketika. Ia percaya, pengetahuan yang luas membuat orang mandiri dan percaya diri. Bagi Bakrie, berilmu adalah memerdekakan diri. Dan seseorang yang lebih pintar harus dihormati. Bakrie yakin betul dengan kutipan yang disimpannya:

Freedom makes opportunities,
Opportunities makes hope,
Hope makes life and future.

Kepercayaan dan penghargaan Bakrie terhadap kekuatan ilmu pengetahuan dan orang yang berpengetahuan menyatu dengan caranya menyikapi keberhasilannya sebagai seorang pengusaha. Hal ini selaras dengan kata bijak yang ia sukai: one cannot help the poor by discouraging the rich. Komitmen Bakrie senior terhadap dunia pengetahuan kini diteruskan oleh Aburizal Bakrie. Pada Desember 2001, Aburizal mendirikan Yayasan Freedom Institute, yang salah satu kegiatannya adalah memberikan Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang kesusastraan dan pemikiran sosial, suatu penghargaan tahunan yang dimulai pada 2003.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.