"Utopianisme dan anti-Utopianisme dalam Pemikiran Politik Kini" ( Bahan diskusi Goenawan Mohamad )

Utopia bermula sebagai plesetan. Ketika di tahun 1515 Thomas More memperkenalkan kata itu buat pertama kalinya sebagai sebuah judul fiksi tentang sebuah negeri imajiner yang luar biasa, ia mempermainkan kata Yunani ou-topos dengan eu-topos.

Kata yang pertama kira-kira berarti “bukan tempat”; kata yang kedua berarti “tempat yang baik”. Nama tokoh utama cerita rekaan ini, “Raphael Hythlodaeus”, juga gabungan antara dua arti: yang pertama nama malaikat pembawa kebenaran; yang kedua berasal dari sepatah kata Yunani yang berarti “si tukang omong kosong.” Salah satu penerjemah menyebutnya “Raphael Nonsenso.

”Plesetan, gurauan, ambiguitas: “Utopia”, sebuah negeri yang “baik,” [tapi] adalah sebuah negeri yang tak bertempat. Tiap impian tentang sebuah masyarakat yang sempurna pada akhirnya akan memberi tempat bagi ironi -- momen ketika orang mengambil jarak dari keyakinannya sendiri, dengan bahasa yang cerdas dan sedikit mencemooh.

Utopia More menunjukkan pentingnya hal itu, sejak judulnya. Fiksi ini, pendahulu imajinasi utopian setelah Republik Plato, adalah buah zamannya. Ia lahir dari Renaissance Eropa, ketika masyarakat hidup dengan kesadaran akan kondisinya yang retak. Zaman More adalah zaman ketika jurang makin terkuak antara yang diyakini dan yang dipraktekkan, ketika iman dan lembaga keagamaan tak lagi mengisi penuh kehidupan.

Di masa itulah ironi, seperti kata Richard Maurius, penulis biografi Thomas More, merupakan “pengalaman hidup.” Sebagai penyegar ingatan baiklah diikhtisarkan di sini bahwa cerita rekaan More itu berpangkal pada kisah perjalanan Raphael Hythlodaeus, satu dari 24 orang yang dibawa sang penjelajah termashur, Amerigo Verpucci, dalam perjalanan dan ditinggal di Cabo Frio, Brazil.

Tapi Raphael pun berkelana lebih jauh lagi, hingga pada suatu hari ia tiba di Pulau Utopia. Ia tinggal selama lima tahun di situ untuk mengamati kehidupan di sana. Sang pengarang, More, menyimak dengan sopan, terkadang mempersoalkan, dan kemudian mencatat dan menyampaikan apa yang menurut Hythlodaeus disaksikannya di pulau itu: sebuah negeri yang berdasarkan asas “kesejahteraan bersama,” atau “persemakmuran”, (commonwealth), di mana tak ada hak milik pribadi tapi segala hal tersedia cukup buat semua orang, di mana pintu rumah tak perlu dikunci karena mustahil ada maling, di mana orang tak merasa perlu makan di rumah sendiri karena bangsal santap bersama menyediakan segala hal.

Dapat ditebak, ada kritik yang tersirat kepada keadaan sosial zaman ketika cerita ini ditulis. Ketika Eropa terdiri dari kota-kota yang jorok dan bacin, negeri Utopia adalah ruang hidup yang bersih sebersih-bersihnya. Ketika di Eropa orang bekerja tak henti-hentinya untuk memperoleh dan menghimpun harta, di Utopia orang cuma bekerja enam jam sehari. Menjelang penutup, Raphael mengucapkan sesuatu yang tampakya ditujukan ke sekitar yang dilihat More sang pengarang: “Jika saya renungkan sistem sosial yang manapun yang ditegakkan di dunia modern, saya mau tak mau melihat sebuah komplotan orang-orang kaya yang hendak mendahulukan kepentingan mereka dengan dalih buat menata masyarakat.

”Adakah dengan demikian model negeri Utopia sebuah desain besar alternatif bagi keadaan Eropa (atau Inggris) ketika buku ini ditulis? Adakah ini negeri yang ideal?

Kita tak akan dapat memperoleh jawaban “ya” atau “tidak.” Marius mencoba menjelaskan Utopia dengan menggunakan model “karnaval” dalam pengertian Mikhael Bakhtin. Dengan membuat kisah yang dicemoohnya sendiri mirip omong kosong, More membebaskan diri sejenak dari tatanan masyarakatnya yang masih menyimpan apa yang disebut Bakhtin sebagai “keseriusan yang tak lega hati”, “bernada sepihak”, “membatu” dan “dingin”, dari kebudayaan resmi Abad Pertengahan.

Fiksi ini berperan jadi “kehidupan kedua” yang terlepas dari kehidupan “pertama” yang dibentuk dengan resmi di masyarakat -- sebagaimana karnaval rakyat melepaskan diri dari iring-iringan keagamaan dan parade kenegaraan. Saya kira kita akan terlalu jauh melangkah untuk menerapkan model “karnaval” kepada fiksi More ini. Ada dua unsur dalam model “karnaval” Bakhtin yang tak terdapat dalam Utopia dan agaknya luput dari pengamatan Marius.

Yang pertama adalah sifat “vernakuler”, yang tak didapatkan dalam buku yang ditulis dalam bahasa Latin klasik dengan judul De Optimo Reipublicae Statu deque Nova Insula Utopia ini.

Yang kedua adalah spontanitas yang membiarkan yang grotesk lalu lalang. Meskipun dalam fiksi ini kita dapat temukan elemen humor dan gambaran yang dilebih-lebihkan, More tak menampilkan yang gambaran yang tercetus begitu saja, tk disangka-sangka, sesuatu yang “vernakuler” dan yang gila-gilaan; ia menuliskan karyanya ini dengan niat menghasilkan sesuatu yang konsisten dan sistematik.

Namun benar bahwa Utopia berbeda dengan satire modern tak meletakkan diri di luar dan di atas hal yang dibicarakan dan dicemoohnya. Di sinilah imajinasi sebagai ironi menampilkan salah satu kecenderungannya: ia bermain petak umpet dengan dan dalam antinomi. Salah satu antinomi tampak ketika Raphael mengajukan premis, bahwa hak milik adalah sumber penyakit sosial.

Dengan demikian, Pulau Utopia yang komunistis itu seharusnya sebuah masyarakat yang sehat. Tapi pada saat yang sama dikisahkan hadirnya mesin-mesin pemaksa, termasuk hukuman mati, untuk menjaga kesehatan tubuh politiknya – sebuah indikasi bahwa ketidak-sempurnaan tak henti-hentinya merundung tubuh itu.

Walhasil, membaca Utopia kita tak tahu persis, adakah kita mengikuti sebuah gambaran tentang kesempurnaan atau sebuah deskripsi tentang kejatuhan manusia. Kita tak tahu persis, adakah kita sedang menikmati sebuah risalah ringan segar yang menawarkan mimpi seraya mengritik keadaan, atau sebuah prolog bagi agenda masa depan dunia.

Dalam fiksi More, Utopia adalah negeri yang diperintah bukan oleh raja (di sana tak ada raja), melainkan oleh konformitas: tiap orang harus meyesuaikan diri dengan kebersamaan. Individualitas dan kehidupan privat merupakan ancaman bagi negara. Emosi dan gairah pribadi dikendalikan, juga ruang dan waktu.

Cerita Raphael: “…di manapun juga, orang harus bekerja. Tak pernah ada alasan buat berleha-leha. Tak ada lepau tuak, kedai anggur, bordil, tak ada kesempatan buat merayu, tak ada tempat pertemuan rahasia. Tiap orang mengawasi kita, jadi kita pun praktis dipaksa terus menjalankan tugas, dan menggunakan waktu senggang dengan semestinya saja.

”Dalam keadaan itu, kebebasan seseorang tak dianggap penting. Hak asasi adalah sesuatu yang asing. Pezinah akan dihukum mati, juga warga Utopia yang beradu pendapat soal politik di kamarnya sendiri. Meskipun demikian, tak dapat dikatakan Utopia hidup di bawah kediktaturan. Di ibu kotanya tiap undang-undang diperdebatkan, setidaknya selama tiga hari. Negeri persemakmuran itu sebuah republik federal. Tak ada pemimpin yang menonjol. Hanya pendirinya, Utopus, yang disebut namanya.

Walhasil, inilah sebuah tanahair warga yang anonim, negeri yang selamanya seia sekata. Tak mengherankan bila dalam keseragaman itu orang dan anak dapat dipertukarkan, rumah hanya ruang impersonal, semuanya mirip. “Kalau kamu sudah melihat satu, kamu sudah melihat semuanya,” kata Raphael.

Ada yang menakutkan dalam gambaran tentang negeri komunistis yang khayali itu, terutama bagi generasi yang telah mendengar brutalnya utopianisme Khmer Merah dan “Revolusi Kebudayaan” yang mengharuskan seluruh negeri hidup sama-rata-sama-rasa. Jika bagi manusia masyarakat yang ideal adalah seperti itu, maka manusia hanyalah makhluk yang tak amat berharga. Seorang penelaah Utopia menyebut karya ini sebagai "dongeng paling sedih” tentang manusia, sebuah “dakwaan” yang kejam bagi kemanusiaan.

Memang ada tendensi kuat dalam diri More untuk mengikuti pandangan Santo Agustinus terutama dalam pesimismenya memandang manusia. Sebab itu ia membenarkan otoritas paternalistik, atau untuk memakai kata-kata St. Agustinus, meniscayakan “pengampuan yang teguh dari seorang guru yang streng” di tengah masyarakat, di mana warga dianggap sebagai anak-anak yang suka nakal. Manusia adalah makhluk yang telah jatuh dari surga, dan hanya di “kota Tuhan”, yang tak di dunia, ia dapat menemukan kembali apa yang hilang. Tentu, Utopia bukanlah versi baru dari De Civitate Dei.

Masing-masing ditulis dari latar yang berbeda, untuk persoalan yang berbeda pula. Santo Agustinus menuliskan karya besarnya di abad ke-5, sebagai respons terhahap runtuhnya kemaharajaan Romawi. Utopia ditulis di abad ke-16, ketika More hidup dalam zaman yang menyaksikan merasuknya humanisme bahkan ke kalangan Kristen, tantangan Reformasi terhadap Gereja di Roma, naiknya kelas pemodal dalam tatanan sosial yang mengakumulasikan milik, dan mulai terbukanya geografi dunia dengan penjelajahan ke benua-benua jauh – juga datangnya kesulitan-kesulitan politik dalam pergantian tahta.

Sebab itu, More tak hanya membawakan seuatu yang bersifat “karnaval”. Ada yang dihasratkan oleh sang pengarang, seperti dinyatakanya sendiri: “Saya tak dapat sepenuhnya setuju terhadap apa yang ia [Raphael] kisahkan. Namun banyak hal dalam persemakmuran Utopia yang lebih saya inginkan ketimbang saya harapkan, tampak diikuti dalam pemerintahan-pemerintahan kita.

”Kata-kata More bagi saya mengisyaratkan, bahwa makna “Utopia” sejak mula memang bukanlah sebuah masyarakat yang ideal, yang sempurna, melainkan sebuah masyarakat di mana hasrat akan kesempurnaan diterima sebagai sesuatu yang sah, justru ketika “kesempurnaan” dialami sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat diartikulasikan. Utopia More sebab itu mengandung “dis-utopia”: suatu gambaran yang sama sekali tak menarik yang mungkin terjadi. Pada dasarnya, beberapa gambaran khas “dis-topia” seperti yang ditampilkan Aldous Huxley dalam Brave New World, tentang sebuah dunia masa depan yang secara teknologi maju dan secara ekonomi tak berkekurangan, namun kehilangan kehidupan seni, ilmu, dan filsafat – sebuah “abad Amerika” yang buruk dengan Ford, sang kapitalis, disebut seakan-akan “Lord” -- senantiasa membayang bahkan dalam fiksi yang paling optimistis sekalipun.

Tidak mengherankan bahwa Huxley dapat menuliskan novel itu sebagai semacam parodi terhadap optimisme H.G. Wells dalam Men Like Gods. Wells, pelopor “fiksi ilmu” itu, pada dasarnya mengakui bagaimana tiap utopia mengandung antinominya sendiri. Saya menemukan kutipan ini dari novelnya, A Modern Utopia, yang membayangkan akan terjadinya dunia yang bersatu di bawah kediktaturan orang-orang yang terbuka dan cerdas: There must always be a certain effect of hardness and thinness about Utopian speculations. Their common fault is to be comprehensively jejune. That which is the blood and warmth and reality of life is largely absent; there are no individualities, but only generalized people … Hasrat akan sebuah masyarakat yang sempurna tampaknya akan tersangkut dengan keniscayaan, bahwa “darah dan kehangatan dan realitas kehidupan”, juga “individualitas”, selalu akan menginterupsinya entah di bagian mana.

Yang saya paparkan di atas tentu saja bukan pemikiran politik, tapi lebih saya ambil dari karya yang disebut “fiksi”. Saya sengaja melakukan itu karena bagi saya, motif utopianisme dalam pemikiran politik mempunyai persamaan dengan karya-karya sastra jenis ini: kedua-duanya berangkat dari proses “menganggit”, imagining. Anggitan itu mau tak mau mengandung semangat preskriptif, untuk memberi arahan – atau insiprasi – bagi sebuah agenda politik, tentang apa yang seharusnya terjadi atau dilakukan dalam hidup.

Yang sering diabaikan dalam sebuah agenda politik justru ketika ia tidak belajar dari gagalnya dinamika naratif dalam karya-karya sastra utopian. Wells telah menyebut“a certain effect of hardness and thinness” dalam kisah yang terjadi – penceritaan yang begitu terasa keras, kering dan tipis karena manusia dlihat lebih sebagai tipe, sesuatu yang anonim seperti dalam Utopia More, bukan sebagai sosok yang senantiasa berbeda, dan acapkali tak disangka-sangka.

Kegagalan dinamika naratif itu juga terjadi ketika karya-karya fiksi utopian itu lebih banyak becerita tentang tempat atau ruang ketimbang tentang perubahan atau waktu: selama lima tahun di pulau Utopia, Raphael tak mencatat adanya pergolakan dan pertarungan. Harmoni yang lengkap jadi seakan-akan bisa tercapai.

Mungkin itu sebabnya, Pulau Utopia (hampir seperti Korea Utara, dan dalam batas tertentu agaknya juga Saudi Arabia), akhirnya bukan saja menutup diri dari waktu yang bergerak, tapi juga dari ruang yang lain: dalam kisah More, pulau itu dipisahkan dari dunia lain dengan sebuah kanal.

Di ruang itu juga sebenarnya tak ada dialog yang sungguh-sungguh. Tiap percakapan sudah diarahkan ke makna yang sudah dirumuskan. Konsensus sudah ditetapkan sebagai sesuatu yang mungkin dan langgeng. Politik sebab itu mati. Sebuah ilusi telah dipaksakan: apa yang diimpikan masyarakat telah diartikulasikan secara penuh.

Jika ada sumbangan yang diberikan dari imajinasi utopian, seperti yang kita dapatkan pada karya Thomas More, adalah mempersoalkan ilusi itu dengan sesuatu yang telah saya sebut di atas: ironi. Tentu saja ada catatan: ironi dapat mengendurkan saat ketika subyektifitas dipanggil, diimbau, dalam sebuah kejadian di mana kebenaran mengguncang seluruh diri, dari mana militansi lahir – satu proses yang diistilahkan oleh Alain Badiou sebagai “kejadian”, l’événement.

Tapi apa yang belum dikemukakan Badiou ialah bahwa ketika “kejadian” dengan dahsyat menghadirkan imajinasi utopian yang menggugah – katakanlah sebuah masyarakat yang adil – kita pada akhirnya selalu akan menemukan unsur “distopian” di dalam imajinasi itu sendiri.

Masyarakat adalah senantiasa masyarakat yang dirundung hasrat. Utopianisme sebab itu tak akan mati, dan tak harus mati. Tapi kita telah lebih belajar untuk lebih rendah hati kepada sejarah, bahwa “negeri yang sempurna baik” tak akan punya tempat, meskipun kita senantiasa menuju ke sana untuk mencapainya.

Freedom Institute, Jakarta, 13 Nopember 2007.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.