Individu vs Masyarakat

Gambar oleh SplitShire dari Pixabay

Individualisme sering dianggap sesuatu yang negatif, yang disejajarkan dengan egoisme (sikap egois) atau egosentrisme. Orang yang dianggap individualistik biasanya orang itu dianggap hanya memikirkan dirinya sendiri, bahkan seraya otomatis dianggap melanggar hak-hak masyarakat.

Konsepsi terhadap paham penting ini memang sering disalahpahami. Padahal, sebenarnya paham ini sangat sederhana. Ia mengakui fakta yang alamiah bahwa setiap manusia dalam memandang dunia di sekitarnya selalu memakai kacamata atau persepsi dirinya sendiri. Tidak ada orang yang mencoba melihat dunia ini lewat pikiran dan mata orang lain selain karena memang tidak mungkin demikian berdasarkan bangunan fisik manusia.

Ada sebuah contoh gampang yang pernah diberikan oleh Adam Smith, pemikir ekonomi yang dianggap sebagai ”Bapak Kapitalisme”. Coba lihat, kata Smith, kalau misalnya ada seribu orang mati di Cina, Anda yang di Inggris mungkin malam itu bisa tidur lelap. Tapi coba jika pada saat yang sama jari keling king Anda tergores sedikit dan kemudian memar atau bernanah.Maka rasa sakit itu mungkin akan membuat Anda semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan jari kelingking Anda itu.

Atau misalnya Anda diberi pilihan yang ekstrem: kalau Anda disuruh memilih antara kehilangan jari kelingking Anda besok pagi karena dipotong atau dua puluh orang meninggal di Cina. Mana yang akan Anda selamatkan: kelingking Anda atau nyawa dua puluh orang itu? Mungkin Anda relakan kelingking Anda. Tapi dilemanya: Anda berpikir tentang sakitnya kelingking Anda itu. Nah, itu berarti Anda tidak salah memikirkan kelingking Anda. Karena bagaimanapun manusia harus
berpikir, dia harus melalui bangunan dirinya.

Individualisme sebagai sebuah paham sebenarnya mulai dari fakta sederhana itu. Dia tidak ingin mengingkarinya dengan berkata bahwa, “Lupakan dirimu atau jangan pikirkan dirimu, tapi pikirkan masyarakat yang lebih besar.” Memikirkan diri sendiri itu jangan disamakan dengan egoisme. Jadi yang bisa dilakukan bahwa dalam melihat masalah dan dilema-dilema masyarakat, jangan ingkari kepentingan individu; jangan ingkari cara berpikir masing-masing individu dalam melihat persoalan dan kepentingannya.

Saya pernah memberi contoh sederhana tentang Siti Nurbaya, yang dipaksa oleh ayahnya untuk kawin dengan lelaki yang bukan pilihannya, Datuk Maringgih. Sang ayah bisa bilang bahwa perjodohan paksa tersebut untuk kepentingan keluarga, padahal kita tahu itu demi penyelesaian utang-piutang. Tetapi apapun alasan di luar Siti Nurbaya, pemaksaan itu sebenarnya tidak mengakui individu sang anak yang boleh memilih bagi dirinya sendiri. Jadi individualisme itu bukan berarti seseorang harus egosentris. Itu sekadar pengakuan bahwa manusia dalam melihat persoalan tidak melalui kacamata orang lain.

Dan hal itu tidak berarti harus bertentangan dengan masyarakat. Justru masyarakat akan sangat beruntung jika individu-individu yang ada di dalamnya, yang membentuk masyarakat itu adalah individu-individu yang matang, dewasa, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri. Masyarakat semacam itulah sebenarnya yang terbaik. Bukan masyarakat yang dikomando oleh seseorang bisa ayah, paman, pemimpin politik, pemimpin agama atau apapun yang memaksakan kehendak bagi individu-individu dalam proses beragam pilihan dalam kehidupan.

Dalam ungkapan lain, dalam konteks masyarakat, paham individualisme itu menekankan bahwa hendaknya individu atau hak-hak individu itu dipertimbangkan atau dijamin, bukan digerus atau dikalahkan oleh apa yang disebut kepentingan umum. Dalam bangunan tata masyarakat modern dan demokratis, biasanya yang disebut kepentingan paling dasar individu-individu itu dijamin pada bab-bab konstitusi. Selalu begitu.
Jadi, apa saja yang tidak boleh dipaksa oleh umum dijelaskan garisnya. Kita sebenarnya sudah menerimanya sejak 1945, dengan Pasal 28 UUD, tapi kita masih ragu-ragu. Belum benar-benar clear-cut, atau secara tegas dan penuh. Dengan aman demen terhadap UUD 45 itu, kita sudah bersikap clear-cut, bahwa ada hak-hak dasar individu: hak bicara, hak untuk hidup, hak untuk mencari kebahagiaan, life, liberty, and happiness. Inilah definisi dasar tentang hak-hak individu itu, tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara.

Tetapi tentu saja selalu ada situasi ketika hak-hak ini untuk sementara bisa ditangguhkan. Contoh yang paling klasik adalah: dalam sebuah bioskop yang gelap, Anda tidak boleh berteriak ”Api!”, karena orang bisa kaget, panik, keluar bersamaan, ada yang terinjak-injak dan mungkin mati. Jadi, kebebasan itu bisa dibatasi jika kebebasan itu mengancam hidup orang lain. Inilah yang disebut John Stuart Mill sebagai a verysimple principle of liberty, karena dalam filosofi kebebasan selalu ada pertanyaan: di mana batasnya? Mill, pada pertengahan abad ke-19, memberikan definisi yang amat jelas dan sangat terkenal, yaitu bahwa kebebasan individu berakhir manakala kebebasan itu mengancam hak hidup atau hak orang lain. Ini lah prinsip dasarnya, meskipun penjabarannya sangat kompleks dan mengikuti perkembangan zaman.

Misalnya dalam soal merokok. Tahun 1960-an tidak ada larangan merokok di ruangan, apalagi tahun 1950-an. Dalam politik dulu ada istilah smoke-filled room untuk menunjuk keputusan politik dilakukan dalam ruangan yang penuh asap rokok. Bayangkanlah Amerika atau di Eropa di musim dingin, yang mengharuskan semua jendela ditutup. Dan semua orang di ruang-ruang rapat itu merokok, karena belum ada larangan. Baru pada 1970-an, terutama 1980-an, mulai ada aturan tentang larangan merokok di ruangan tertutup. Lalu pada 1990-an larangan itu diperluas, meliputi restoran. Tahun 2000-an di California, di bar pun orang tidak boleh merokok. Ini jelas pembatasan kebebasan.

Tapi pembatasan itu diterima karena muncul teori kedok teran yang baru: bahwa kalau Anda merokok di ruang seperti itu, Anda membahayakan hidup orang lain, sehingga kebebasan merokok harus dibatasi. Itu contoh yang paling gampang. Tentu saja ada beberapa hal praktis tentang kebebasan yang masih diperselisihkan batas-batasnya, tetapi semua menerima prinsip umumnya, yakni bahwa kalau seseorang tidak membahayakan kehidupan orang lain, dia harus bebas memilih bagi dirinya.

Keberanian dalam hal memberi kebebasan pada individu, yang di banyak negara dijamin oleh konstitusi, sesungguhnya juga didasarkan pada asumsi atau pada kepercayaan bahwa manusia itu sebetulnya bisa atau cenderung berbuat baik. Kita, atau “Masyarakat Timur”, dalam hal ini kadang bersikap ambivalen. Kita sering berkata bahwa kita percaya pada sifat baik dalam diri manusia, the goodness of people, of human being. Tetapi kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya. Kita ingin ngatur hidup orang gaya berpakaiannya, gaya rambutnya. Jadi kita tidak percaya bahwa mereka bisa menentukan pilihannya sendiri.

Bahwa sekali atau dua kali mereka salah, itu lebih baik dianggap sebagai proses belajar ketimbang Anda yang harus menentukan pilihan mereka, misalnya mereka harus pakai jilbab dan sebagainya. Padahal, dengan semangat ngatur-ngatur itu, implikasinya secara filosofis, kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya sendiri; kita mau bilang, “Tuhan sudah pilihkan A buat kamu, agama sudah pilihkan B buat kamu.” Kita mau limpahkan semua paket itu, sehingga yang tersisa pada individu hanyalah kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada. Kita mau patuh, tentu saja. Masyarakat yang individualis itu sebenarnya masyarakat yang patuh pada aturan yang dianggap masuk akal dan diputuskan secara bersama. Di jalan mereka tertib pada aturan umum. Kita di sini mau kepatuhan, tapi pada saat kita harus patuh, kita sangat liar.

                                                                                                  ***
Dilihat dari sudut lain, antara motif individual dan kepentingan masyarakat itu juga sering terjadi ”keanehan”. Milton Friedman, pemenang Nobel Ekonomi 1978, pernah bilang bahwa biasanya kegiatan-kegiatan ekonomi itu dimulai dengan motif individual, motif pribadi, yang dalam perjalanannya kemudian menguntungkan orang banyak. Inilah yang sering terjadi ketimbang sebaliknya: orang yang semula berpretensi atau berkata bahwa semua kegiatannya bukan buat dirinya sendiri melainkan buat orang banyak, ternyata justru merugikan masyarakat; jadi, masyarakat yang diatasnamakan itu dirugikan,dan dia secara pribadi diuntungkan, diperkaya. Kasusnya yang ekstrem adalah korupsi. Tapi di luar soal korupsi juga banyak kasus semacam itu.

Dalam hal ini kita bisa melihat fakta yang tak terbantah bahwa di negeri-negeri yang paling kaya cenderung juga menjadi negeri-negeri yang paling bebas. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi itu rupanya berhubungan. Penjelasannya macam-macam. Selain memakai penjelasan Friedman, kita juga bisa menengok contoh yang paling klasik yang sudah diberikan Adam Smith dua ratus tahun silam. Waktu itu dia bicara soal penjual roti. Dia bertanya, “Dari mana kita dapat roti setiap hari?” Dengan hanya lima sen, sangat gampang kita beli roti di pasar. Kalau kita melanggan di rumah, roti diantar ke rumah kita. Pendeknya kita dapat makan roti. Apakah karena pedagang atau penjual roti ini mau menolong kita atau penjual roti itu sebenarnya mau mencari untung buat dirinya sendiri? Ternyata penjual dan pemilik pabrik yang mengantar roti itu mencari keuntungan buat dirinya sendiri.

Nah, sistem ekonomi tersusun dari begitu banyak penjual, pencari, pedagang roti, dan macam-macam pedagang lainnya, dan semua ini mencari untung bagi dirinya sendiri, tetapi akibatnya ada suplai pada masyarakat. Kita dapat ini, kita jual itu; saling membeli dan saling menjual. Ketersediaan roti atau beras bagi masyarakat dengan demikian jadi tercukupi. Itulah yang disebut masyarakat yang interaksi ekonominya bebas. Setiap orang mencari untung bagi diri masing-masing. Dan dengan cara itu, kebutuhan semua orang ternyata tercukupi; semua orang pun bahagia karena merasa dimudahkan.

Justru harus kita ragukan atau curigai kalau ada orang berteriak-teriak, “Hei, saya mengantarkan roti ini sebenarnya bukan untuk mencari untung! Saya mau kasih saja roti ini pada kalian, hai para konsumenku.. Saya tidak mau untung. Saya mau rugi...” Orang itu pasti gila atau setidak-tidaknya munafik. Dalam sejarah, ada sistem yang pernah mencoba cara itu dengan berbagai variasi. Ada sistem komunisme di Soviet, Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kuba.

Cara yang kemudian meluas ke sistem sosial dan politik itu kemudian runtuh semua, atau tetap terbelakang dibanding negeri-negeri lain. Di Cina, Mao dulu pernah bilang (adaptasi dari Lenin) bahwa kita harus menciptakan manusia-manusia baru. Sebelumnya, di Soviet, Lenin ingin menciptakan manusia-manusia sosialis yang tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi memikirkan kepentingan rakyat banyak, kaum buruh. Mereka lupa pada fakta dasar tentang manusia yang, menurut data-data biologis, sosio-bologis, sudah berumur lebih dari sejuta tahun dalam bentuknya yang sudah mulai modern. Jadi, Mao, Lenin, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka pasti tidak akan mampu mengubah manusia. Tidak ada namanya manusia baru itu.

Manusia adalah hasil evolusi panjang dengan karakteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamata dirinya, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistis akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, karena pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem baru, tetapi pada fundamentalnya ingin menciptakan manusia baru dengan karakteristik baru. Manusia yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tidak memikirkan anaknya, keluarganya, bapaknya, melainkan memikirkan masyarakat sosialis. Karena itu di Cina, waktu Revolusi Kebudayaan, bapak, ibu, anak dipisahkan.

Ide itu sebenarnya mengikuti Plato. Dalam karya masyhurnya, Republic, dia menyebut bahwa pendidikan terbaik yang ideal adalah jika anak dan ibu dipisahkan sejak awal, karena ini akan menumbuhkan pikiran-pikiran anak berdasarkan bakat-bakatnya. Ini masyarakat idealis-utopis. Jadi ini yang diulang dalam bentuk baru oleh Lenin di Rusia, Mao di Cina, Pol Pot di Kamboja. Mereka mau mencetak anak-anak sosialis baru. Itu sebabnya sejak kecil, setiap bangun tidur, mereka di haruskan baca Buku Merah, kitabsuci Mao.

Yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan yang amat dahsyat. Proses di Cina itu memakan korban puluhan juta jiwa yang kelaparan. Sistem pertanian Cina samasekali ambruk. Kolektivisme runtuh, dan baru mulai diperbaiki kembali oleh Deng Xiao Ping, pada 1978. Hasilnya sekarang cukup menakjubkan, sebagai keberlanjutan dari semakin terbukanya kebebasan ekonomi di Cina, belum politik. Jadi kolektivisme dibalikkan dan elemen-elemen liberalisme diperkenalkan. Sejak beberapa belas tahun lalu, ekonomi Cina tumbuh dua digit, 11, 12, 13 persen setahun.

Di sisi lain, sistem Soviet hanya bertahan 70 tahun, jika kita hitung dari Revolusi Bolshevik 1917. Sangat singkat. Bandingkanlah misalnya dengan Amerika Serikat yang sudah berusia 200-an tahun tak perlulah kita bandingkan dengan Inggris yang sudah terlalu lama. Jadi kemenangan sistem yang percaya pada kebebasan itu juga karena ia cocok dengan watak manusia, dan juga fleksibel terhadap perubahan. Kuncinya adalah karena pada dasarnya keputusan diambil oleh begitu banyak individu. Sementara pada sistem komunisme, yang mengambil keputusan adalah sekretariat jenderal partai (politbiro), yang hanya terdiri atas 50-an orang. Bandingkan dengan sistem pasar, di mana di dalamnya begitu banyak pedagang, penjual, dan pembeli sama-sama memutuskan yang mana paling menguntungkan.

Ada jutaan orang setiap hari mengambil keputusan; jutaan keputusan berdasarkan kepentingan diri masing-masing. Dan paradoksnya lagi, sistem yang sangat bebas ini justru yang sangat teratur. Ia dinamis, fleksibel, cepat. Dan seperti yang dikatakan Friedrich Hayek, seorang filsuf asal Austria yang pernah mendapat hadiah Nobel Ekonomi, sebenarnya kepentingan diri yang dicerminkan oleh harga yang mau kita bayar itulah yang akhirnya membuat sistem yang luarbiasa, yang di dalamnya jutaan orang berinteraksi tanpa saling mengenal.

Sistem yang liberal itu tak perlu dikhawatirkan bakal menimbulkan kekacauan. Sebab yang terjadi adalah ”kekacauan yang kreatif” atau situasi dinamis yang sangat kreatif (a very creative and dynamic situation). Lihatlah ekonomi Amerika atau Hongkong yang begitu dinamis, tetapi begitu cepat menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini ada satu elemen yang membuat perdagangan juga penting dari segi moral dan segi kebudayaan. Ini sudah dikatakan dua abad yang lalu oleh Montesquieu, seorang pemikir Prancis.

Dulu orang menganggap bahwa perdagangan itu membuat orang serakah, materialistis, dan sebagainya. Tetapi, kata Montesquieu, sebelum tumbuhnya sistem perdagangan atau pertukaran modern, yang terjadi justru adalah perang suku, perang etnis, perang agama. Orang jadi terkucil oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat nilai dan keyakinan. Tetapi di pasar, di mana ada penjual dan pembeli, yang penting harganya cocok. Entah penjualnya orang Arab, Yahudi, atau Cina, kalau harganya cocok kita beli. Artinya, sebagai sistem, pertukaran yang didasarkan pada kepentingan tersebut sebenarnya membuat manusia menghilangkan prasangka. Jadi kalau model pertukaran ini menjelma menjadi sistem sosial, atau menopang sistem sosial, maka pada dirinya sendiri sistem ini tidak mengandung bias prejudice, yang telah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat manusia. Itulah salah satu pengaruh penting sistem pertukaran yang kita sebut sebagai perdagangan modern.

Di dalam kehidupan ini memang ada banyak elemen. Kita juga tidak bisa berkata bahwa sistem pertukaran ini akan merembes ke mana-mana, ke semua aspek kehidupan. Orang masih kembali ke agama, etnik, daerah, bahkan ada yang disebut sebagai nation state. Ini semua bercampur-aduk. Tetapi yang ingin saya tegaskan di sini adalah bahwa kita ingin melihat individualisme dalam berbagai macam manifestasinya. Kita tidak bisa dengan sederhana berkata bahwa individualisme itu anti-masyarakat, anti-kepentingan umum atau egois. Ini sebuah paham modern yang menurut saya menjadi salah satu dasar dari suksesnya masyarakat modern. Jadi janganlah paham ini dipandang secara sangat simplistis. Ia berhubungan dengan berbagai macam hal dan justru menjadi salah satu kekuatan konstruktif yang progresif dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat modern.

Kita kemudian teringat pada Francis Fukuyama, yang bilang bahwa sejarah sudah berakhir. Tentu yang dia maksud bukan sejarah dalam arti kronologis, tapi sejarah dalam arti pertarungan gagasan, antara sistem demokrasi liberal dengan komunisme. Dengan runtuhnya komunisme, maka demokrasi liberal yang merupakan abstraksi atau perluasan paham individualisme menjadi pemenang, dan sejarah berakhir. Ide Fukuyama ini memang masih terlalu abstrak. Tapi pada dasar nya dia ingin berkata bahwa pada akhirnya sistem masyarakat yang ingin kita buat, setelah berputar ke mana-mana dan melakukan macam-macam percobaan, akhirnya membuat kita kembali ke kearifan lama yang benar, yang kebetulan dia namakan kapitalisme-liberal. Dasarnya adalah penghargaan pada kedaulatan individu, pada kebebasan masing-masing orang untuk memilih.  Kalau Anda pakai paham itu, Anda bikin sistem itu, tentu namanya kapitalisme-liberal, tidak bisa lain.

Mereka yang hidup dalam sistem itu punya kebebasan, punya kehendak untuk bebas. Itulah yang menjadi motor perubahan. Ke sanalah arah sejarah. Masyarakat yang masih memakai sistem yang di dalamnya ada perbudakan, misalnya, suatu saat akan hilang. Budak-budak itu akan merdeka. Mereka akan merdeka, dalam arti akan menentukan kehendaknya sen diri, menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Itulah yang dikatakan Fukuyama. Dan kita sulit menyebut bahwa dia keliru.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.