Indonesia 1996: Tekanan dari Atas dan Bawah (Bersama William R. Liddle)

Image by Jan Vašek from Pixabay

Politik Domestik

Selama masa 1996, inisiatif politik dalam negeri berada di tangan Presiden Soeharto, yang memerintah Indonesia selama tiga dekade lebih. Namun, dalam bulan-bulan terakhir ini­sia­tif politik tersebut berubah dengan cepat. Inisiatif tersebut tidak bergeser ke tangan lawan-lawan politiknya, melainkan ber­geser ke kekuatan-kekuatan sosial yang memiliki akar yang kuat, yang kurang bisa dikontrol olehnya maupun oleh para elite politik yang lain. Pada 29 Mei 1997, pemerintah Orde Baru akan menyelenggarakan pemilu parlementer lima tahunan yang keenam. Pemilu pertama, pada 1971, partai negara, Golkar (Go­longan Karya) memperoleh mayoritas suara, yakni 63%.i Dalam dua pemilu terakhir, pada 1987 dan 1992, Golkar berturut-turut mendapatkan 73% dan 68% suara. Pada Maret 1998, kurang dari 10 bulan setelah Pemilu 1997, MPR akan mengadakan per­temuan untuk mengangkat presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 1998-2003. MPR terdiri atas 1.000 anggota: 425 anggota Parlemen yang dipilih dan 75 anggota Parlemen yang diangkat, ditambah 500 anggota tambahan yang diangkat melalui berbagai proses yang dikontrol oleh Soeharto.

Dalam persiapan untuk Pemilu 1997, obsesi Soeharto—yang seringkali diungkapkan oleh para pembantu politiknya—adalah mendapatkan kembali 5% suara yang hilang dari suara Golkar selama 1987 hingga 1992. Apa yang menjadi persoalan bagi Soeharto bukanlah terus memerintah atau memegang kon­trol yang efektif atas Parlemen dan MPR—suatu hal yang sudah dapat dipastikan akan terjadi, meskipun suara Golkar merosot di bawah 50%, mengingat besarnya jumlah anggota MPR yang diangkat. Apa yang menjadi persoalan adalah memelihara keyakinan—baik di kalangan rakyat Indonesia maupun pihak-pihak asing yang berkepentingan seperti para investor dan negara-negara pemberi bantuan—bahwa rezim Orde Baru dan Soeharto yang berusia 75 tahun masih memegang kendali atas negeri itu. Meninggalnya istrinya yang berusia 48 tahun dan usianya sendiri yang semakin lanjut—ia dibawa ke rumah sakit di Jerman untuk menjalani tes jantung dan ginjal pada bulan Juliii —semakin membulatkan tekad Soeharto untuk terus me­me­rintah dan membuktikan bahwa dia-lah yang memegang ken­dali.

Ancaman utama yang muncul pada tahun-tahun belakangan ini berasal dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia), salah satu dari dua partai politik yang diizinkan untuk bersaing dengan Golkar. PDI adalah hasil penggabungan—yang dipaksakan oleh pemerintah pada 1974—dari 3 partai nasionalis dan 2 partai Kristen yang bisa terus bertahan selama perseteruan politik pada 1950-an dan 1960-an, sebelum Orde Baru berkuasa pada 1966. Yang terbesar dan terpenting dari partai-partai yang kemudian bergabung menjadi PDI itu adalah PNI (Partai Nasional Indonesia), yang pernah sangat menonjol karena hubungannya yang dekat dengan Soekarno, pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia pra-PD II yang kharismatik dan flamboyan, serta presiden pertama Indonesia dari 1945 hingga 1967. Para pemimpin PNI yang beraliran kiri dan pro-Soekarno disingkirkan pada akhir 1960-an, dan hanya menyisakan sekelompok kecil kaum konservatif dan oportunis yang bersedia menerima syarat-syarat partisipasi yang sangat merendahkan yang dite­tap­kan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam Pemilu 1977 dan 1982, partai non-pemerintah yang lain, PPP (Partai Persatuan Pem­bangunan), suatu gabungan karena paksaan dari 4 partai Islam pra-Orde Baru, dilihat sebagai ancaman terbesar terhadap dominasi Golkar. Namun pada 1984, PPP tiba-tiba menjadi macan kertas ketika konstituen terbesarnya, NU (Nahdlatul Ulama), tidak lagi terlibat dalam politik partisan demi untuk menjalankan stra­tegi politik yang lebih fleksibel di belakang layar. Antara 1982 dan 1987, suara PPP merosot dari 28% menjadi 16%.

Dipimpin oleh elemen PNI, PDI pada 1987 dan terutama pada 1992 muncul sebagai oposisi utama terhadap Golkar dan pemerintah. Di bawah kepemimpinan Soerjadi, yang ironisnya dipilih sebagai pemimpin partai oleh pemerintah, PDI mulai menampilkan dirinya sebagai partai populis yang mengecam otoritarianisme, peran politik tentara, kesenjangan yang sema­kin besar antara si kaya dan si miskin, dan bahkan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Pada 1987 PDI memperoleh 11% suara, dan pada 1992 meningkat menjadi 15%, hampir me­lebihi PPP sebagai partai kedua terbesar. Pada 1993, Megawati Soekarnoputri, anak perempuan Presiden Soekarno dan anggotaParlemen, terpilih menjadi ketua PDI yang baru—bertentangan dengan kemauan Presiden Soeharto, yang mengerahkan kekuatan politik dan bersenjatanya untuk menggagalkan pemilihan tersebut. Pada awal 1996, menjadi jelas bahwa suatu (gerakan) oposisi anti-Soeharto mulai terbentuk, dengan PDI Megawati sebagai unsur utamanya. Tokoh-tokoh oposisi utama antara lain Abdurrahman Wahid, ketua organisasi Islam tra­disio­nal (NU) yang memiliki anggota 30 juta; Muchtar Pakpahan, ketua SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia); dan Goenawan Mohamad, ketua KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), sebuah organisasi yang dibentuk pada 1995 berdasarkan NAMFREL dari Filipina, yang memainkan suatu peran yang sangat penting dalam menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986.

Strategi (tidak ada bukti tentang koordinasi yang ketat) para pemimpin oposisi tersebut adalah mengambil keuntungan dari potensi suara yang didapatkan Megawati sebagai anak pe­rempuan bapaknya. Meskipun Soekarno yang kharismatik wafat lebih dari seperempat abad yang lalu, kenangan akan diri­nya masih umum didengungkan. Para pemuda Indonesia, yang tidak memiliki kenangan nyata tentang tahun-tahun Soekarno dan kini merupakan mayoritas pemilih, membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih berprinsip dan lebih berko­mit­men terhadap kepentingan rakyat dan nasional ketimbang Soeharto dan para pemimpin Orde Baru lainnya. Bahkan orang-orang yang lebih tua cenderung mengagung-agungkan kon­tribusi positif Soekarno bagi bangsa Indonesia dan melu­pakan keme­rosotan ekonomi, kekacauan politik, dan kegagalan-kega­galan kebijakan luar negeri di awal 1960-an.

Para pemimpin oposisi tersebut berharap bahwa kenangan- kenangan positif tersebut akan berubah menjadi jumlah suara yang substansial bagi PDI Megawati. Partai ini telah mene­guhkan dirinya dalam dua pemilu sebelumnya sebagai partai protes, dan partai ini kini untuk pertama kali dalam sejarah Orde Baru memiliki seorang pemimpin yang sangat mungkin me­­narik suara para pemilih awam, terutama di Jawa Timur dan Tengah yang berpenduduk padat. Dukungan Abdurrahman Wahid, pemimpin NU—sebagai partai politik yang independen, NU memenangkan 18% suara pada 1955 (satu-satunya masa di mana ada pemilu yang bebas di Indonesia) dan 1971—mungkin akan menghisap jutaan pemilih dari PPP dan Golkar. Muchtar Pakpahan yang dekat dengan PDI, yang memakai peci seperti Soekarno, dan para aktivis buruh yang lain bisa memobilisasi puluhan ribu buruh yang kecewa, khususnya di wilayah-wilayah industri baru di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan. Terakhir, KIPP Goenawan Mohamad secara independen akan memantau—dengan publisitas internasional seluas mungkin—kampanye-kampanye dan penghitungan suara partai itu, dan de­ngan demikian mengurangi kemungkinan pemerintah menggu­nakan trik-trik kotor.

Presiden Soeharto tampak sangat sadar akan strategi itu. Selama 1995 dan 1996, ia menolak untuk bertemu dengan Abdurrahman Wahid dan secara diam-diam menyokong oposisi ter­hadap kepemimpinan Abdurrahman dalam NU. SBSI Muchtar Pakpahan tidak pernah diberi status legal oleh peme­rintah, dan Muchtar sendiri dipenjara pada 1994 karena diduga menggerakkan kerusuhan buruh di Medan, meskipun ia pada 1995 kemudian dibebaskan oleh seorang hakim Mahkamah Agung yang bersimpati padanya. Sebaliknya, para pemimpin KIPP diabaikan sebagai para pemain yang tidak penting dan diancam akan ditangkap jika mereka mencampuri proses pemilu. Namun Megawati, karena peran pentingnya dalam strategi oposisi tersebut, menjadi sasaran utama kebencian pemerintah. Pada Juni 1996, faksi Soerjadi, yang sebelumnya diremehkan oleh Soeharto, kembali berkuasa di PDI. Sebuah konggres luarbiasa PDI digelar di Medan, kali ini di bawah kontrol ketat para perwira tentara, dan Megawati disingkirkan, diganti oleh Soerjadi. Megawati dan para pendukungnya menolak menerima ke­putusan ini, dan mempertahankan kendali mereka atas kantor pusat partai di Jakarta serta mengajukan sebuah gugatan terhadap pemerintah karena melakukan campur-tangan ilegal dalam persoalan-persoalan internal partai.

Selama berminggu-minggu para pengikut Megawati di PDI dan tokoh-tokoh oposisi yang lain mengecam pemerintah melalui berbagai mimbar bebas yang digelar di halaman kantor pusat partai itu. Pada 27 Juli, pemerintah sudah tidak dapat menahan diri lagi.‑iii Di saat fajar, sebuah pasukan yang mungkin terdiri atas para tentara berpakaian preman, para anggota sebuah organisasi kepemudaan kuasi-kriminal, dan para ang­gota faksi Soerjadi dengan paksa mengambil-alih kantor pusat partai itu. Hal ini memunculkan reaksi dari para pengikut Megawati, para aktivis oposisi yang berkumpul untuk melakukan mimbar bebas, dan warga miskin serta kelas buruh Jakarta yang berada di sekitar tempat itu yang mendapatkan kesempatan untuk meng­­­ungkapkan kemarahan mereka terhadap pemerintah. Banyak mobil dan bangunan di sekitar tempat itu yang dijarah dan dibakar dalam suatu kerusuhan besar yang belum pernah terjadi di Jakarta sejak kerusuhan Malari pada Januari 1974. Se­lama beberapa jam keadaan kacau-balau, dan menurut angka-angka yang dikeluarkan pada Agustus 1996 oleh Komnas HAM, ada 5 orang yang tewas, 74 hilang, dan 149 terluka.iv

Tanggung-jawab utama atas penjarahan dan pembakaran pada 27 Juli tersebut, yang kemudian disebut sebagai Sabtu Kelabu, mungkin ada pada para penduduk anonim yang tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh di sekitar kantor PDI. Na­mun, para pejabat pemerintah dengan segera menuduh sebuah kelompok oposisi kecil berhaluan kiri, PRD (Partai Rakyat Demokratik), sebagai pihak yang melakukan kerusuhan dan para perancang kerusuhan itu. Gaya dan retorika organisasi pa­ra pemimpin PRD selama minggu-minggu mimbar bebas dianggap sangat mirip dengan gaya dan retorika Partai Komunis yang lama dilarang, sehingga menjadikan mereka kambing hitam dan sasaran represi. Beberapa pemimpin PRD ditang­kap dan dituduh melakukan subversi, sebagaimana Muchtar Pak pahan. Dalam pemeriksaan para pemimpin PRD tersebut, menjadi jelas bahwa perhatian utama pemerintah bukan pada apa yang terjadi pada 27 Juli, melainkan pada berbagai ke berhasilan yang dicapai oleh afiliasi-afiliasi kecil organisasi buruh dan pemuda tersebut dalam memobilisasi para buruh untuk melakukan pemogokan dan de­monstrasi di beberapa kota.v Kerusuhan buruh kini dilihat—dan mungkin benar sebagai suatu titik yang secara politik sangat rawan, baik di da­lam negeri karena semakin banyaknya jumlah buruh yang marah dan secara politik bisa dimobilisasi, maupun di kancah internasional karena perhatian yang semakin besar yang kini dicurahkan di Amerika Serikat dan di negara-negara lain terhadap upah yang rendah dan kondisi kerja yang mem­pri­hatinkan, terutama di pabrik-pabrik yang berorientasi ekspor.

Penyingkiran Megawati tersebut, dilihat dalam konteks pemilu parlementer 1997 dan sidang MPR 1998, jelas merupakan suatu kemenangan bagi Soeharto. Abdurrahman Wahid secara implisit juga mengakui hal itu ketika ia mendesak Megawati beberapa hari setelah Sabtu Kelabu itu untuk menghentikan gugatan hukumnya terhadap pemerintah. Abdurrahman juga melakukan perdamaian pribadi dengan bertemu dengan Soeharto pada November di sebuah pesantren di Jawa Timur, yang hampir pasti berarti bahwa dia sekarang tidak akan menghalangi para anggota NU untuk memilih Golkar tahun depan.

Namun meskipun Soeharto jelas masih tetap merupakan penguasa politik Indonesia, cengkeraman kekuasaannya semakin lemah karena usianya. Dan selama tahun itu muncul banyak tan­da bahwa perlawanan dan tuntutan yang sangat kuat semakin meng­akar dalam masyarakat, dan hanya menunggu kesempatan long­garnya represi otoriter untuk meledak ke permukaan. Tanda-tanda ini antara lain berbagai demonstrasi, kerusuhan, dan penculikan di Ujung Pandang, Irian Jaya, Timor Timor, dan di tempat lain, dan tentu saja kekerasan massa setelah pengambilalihan kantor pusat PDI di Jakarta.

Mungkin kerusuhan yang paling banyak menimbulkan masalah terjadi di Situbondo, Jawa Timur, pada Oktober, dan di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Desember. Dalam kedua kasus tersebut, orang-orang Islam yang marah karena perilaku otoritas—keputusan pengadilan di Situbondo, kekejaman polisi di Tasikmalaya—mengamuk dengan melakukan penjarahan dan pembakaran. Lima orang tewas di Situbondo dan empat orang di Tasikmalaya. Dalam kedua kasus tersebut, target-target utama kemarahan itu—gereja-gereja Kristen di Situbondo, dan gereja-gereja serta bangunan-bangunan orang-orang Cina di Tasikmalaya—tidak ada hubungannya dengan berbagai insiden yang awalnya memicu protes massa itu, yakni perselisihan-perselisihan yang hanya melibatkan orang-orang Islam di kedua belah pihak. Para pengamat Indonesia dan asing memberikan banyak penjelasan terhadap persitiwa ini, termasuk rangkaian teori konspirasi yang lazim yang terkait dengan para pejabat tinggi pemerintah. Orang-orang Kristen melihat hubungan peristiwa itu dengan semakin besarnya kesalehan dan militansi Islam selama dekade terakhir. Namun, sebagian besar pemimpin dan intelektual Islam, dan juga banyak pengamat lain, mengklaim bahwa persoalan utama atau yang mendasari peristiwa-peristiwa itu bukanlah kebencian keagamaan melainkan kesenjangan ekonomi yang semakin besar. Kaum kaya sebagian be­sar adalah warga Cina-Indonesia dan Kristen, dan dengan demikian menjadi sasaran kebencian kaum miskin, yang seba­gian besar orang Islam. Meskipun populer, penjelasan ini ku­rang me­yakinkan. Sebagaimana yang ditulis orang seorang pe­mikir skeptis: “Kesenjangan terbesar ada di Jakarta dan Su­­ra­baya, bukan Tasikmalaya dan Situbondo.... Selain itu, dalam ke­nyataan tidak ada peningkatan kesenjangan, paling tidak sebagaimana diukur melalui Indeks Gini, dalam 20 tahun terakhir.”vi

Ekonomi

Pada 1996, perekonomian tumbuh kira-kira sekitar 7,5%, lebih rendah dibanding angka pertumbuhan pada 1995, yakni 8,07%, namun masih sangat bagus, bahkan jika dilihat dari standar Asia Timur. Pertumbuhan tersebut didorong oleh investasi dalam negeri dan asing yang tinggi, dan hal ini adalah hasil dari serangkaian kebijakan liberalisasi perbankan dan perdagangan yang dijalankan oleh pemerintah sejak akhir 1980-an. Inflasi menurun dari 7,9% menjadi sekitar 7,4%.vii

Kebijakan ekonomi pemerintah yang paling penting adalah mendukung pembuatan “mobil nasional”. Sebuah keputusan presiden yang dikeluarkan pada Maret menjadikan Kia-Timor Motors—yang dimiliki bersama oleh anak Soeharto, Hutomo Mandala Putera (Tommy), dan Kia Motors Korea Selatan—bebas bea impor dan pajak selama tiga tahun, asalkan peru­sahaan tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan muatan lokal. Tu­juan pembebasan tersebut adalah untuk memungkinkan perusahaan tersebut memproduksi mobil sedan berkualitas ting­gi dengan harga yang relatif rendah. Namun, segera menjadi jelas bahwa Kia-Timor Motors tidak dapat memenuhi per­syaratan-persyaratan muatan lokal tersebut, dan pada bulan Juni keluar keputusan presiden yang memberi keleluasaan bagi perusahaan tersebut untuk mengimpor 45.000 mobil bebas pajak. Hal ini menunjukkan dominasi keluarga Soeharto yang semakin besar, bukan saja dalam memenangkan kontrak-kontrak besar, melainkan juga dalam memengaruhi proses pemb­uatan kebijakan, yang seringkali dengan akibat mem­perlemah peran menteri-menteri Soeharto sendiri. Tommy ha­nya salah satu dari 6 anak Soeharto, yang semuanya sangat si­buk membangun berbagai kerajaan bisnis. Beberapa menteri dikenal sangat kritis terhadap penetrasi bisnis yang semakin besar dari keluarga tersebut, namun tampak tidak banyak me­miliki kekuasaan untuk menentukan proses kebijakan. Sebagai contoh, Menteri Perdagangan dan Industri Tungki Ariwibowo selama bertahun-tahun disanjung sebagai pendukung kebijakan-kebijakan pro-pasar, namun karena pembelaan publiknya ter­ha­dap proyek mobil tersebut, ia kini umum dikenal sebagai boneka Tommy.

Proyek mobil nasional tersebut juga mengikis harapan bahwa Soeharto akan menjadi pelopor utama perdagangan bebas Asia, sebagaimana yang ia janjikan sendiri dalam konferensi APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) di Bogor dua tahun lalu. Selain itu, kebijakan tersebut secara langsung bertentangan de­­ngan aturan the most-favored-nation dari WTO (World Trade Organization) di mana Indonesia menjadi anggotanya. Lebih jauh, proyek tersebut merupakan contoh dari terus berlanjutnya kekuasaan pemikiran ekonomi nasionalis dan dirigis di puncak pemerintahan Indonesia, terlepas dari hampir satu dekade peng­alam­an positif dengan liberalisasi. Contoh penting yang lain ada­lah pembalikan keputusan pada 1995 untuk tidak melin­dungi Chandra Asri, sebuah perusahaan yang sebagian dimiliki oleh kroni Soeharto. Pada pertengahan 1995, pemerintah me­nolak per­mintaan Chandra Asri akan perlindungan bea 40% untuk im­­por barang-barang modal bagi sebuah mega proyek yang ber­nilai $1,3 miliar. Namun, pada Januari tahun ini perusahaan ter­se­but secara diam-diam diberi perlindungan bea 25% hingga 2003.

Pemerintah juga berusaha untuk memainkan peran sesosok Santa Claus populis pada 1996, dengan memilin tangan kaum ka­ya dan menyalurkan sumberdaya-sumberdaya negara ke dalam ber­bagai proyek untuk membantu mereka yang kurang ber­un­tung. Program Kemitraan, yang dicanangkan pada Desember, mem­bebankan pajak 2% pada individu-individu dan perusa­haan-perusahaan yang memiliki pendapatan lebih dari $45.000 setahun. Uang tersebut akan dikumpulkan oleh sebuah yayasan pri­badi yang diketuai oleh Soeharto sendiri, dan disebarluaskan ke­pada hampir 12 juta keluarga yang kurang mampu, yang masing-masing akan menerima sekitar $8. Banyak pengamat berkomentar bahwa program baru tersebut akan tidak efektif sebagai langkah untuk memerangi kemiskinan, dan secara sub­stansial akan menambah jumlah pengeluaran offbudget yang telah sangat besar, tanpa ada pertanggungjawaban politik.

Dari berbagai peristiwa ini, kami menyimpulkan bahwa 1996 adalah tahun di mana pergeseran dari liberalisasi ekonomi ke intervensi negara menjadi semakin jelas. Tentu saja ini tidak berarti bahwa prinsip-prinsip dasar manajemen makro-ekonomi yang bijaksana telah ditinggalkan atau bahwa pemerintah tidak lagi ingin mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menjadikan perekonomian lebih efisien. Namun, dilihat baik dari jumlah mau pun dari besarannya, sejak 1983 tidak pernah ada suatu masa di mana begitu banyak kebijakan nasionalis dan dirigis penting diadopsi hampir secara bersamaan. Apa yang men­je­las­kan pergeseran ini, dan mengapa hal ini menjadi semakin kuat ta­hun ini? Kekuatan dasar perekonomian Indonesia dan ke­kuatan ekspornya yang terus bertahan jelas merupakan sebab-sebab penting. Masa yang baik memunculkan kebijakan yang buruk—sebagaimana yang umum dikatakan para tek­no­krat—ber­arti bahwa hanya keadaan ekonomi yang sulit yang memaksa pe­merintah mengencangkan sabuknya. Faktor lain yang penting ada­lah kampanye pemilu yang akan datang, ketika Soeharto tam­pak ingin memiliki daya tarik populis bagi banyak pe­milih.

Mungkin juga ada sebab politik yang lebih luas bagi pergeseran kebijakan ini. Di puncak liberalisasi (sekitar 1986-88), orang-orang yang paling dipercaya Soeharto untuk menjalankan negeri ini adalah Jenderal L. B. Moerdani di bidang militer dan masalah-masalah politik, dan tim teknokrat yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro untuk masalah-masalah ekonomi. Moerdani memberikan semacam payung keamanan bagi para teknokrat ini. Dia sendiri memiliki kedekatan pribadi dengan para teknokrat ini, dan memiliki ide-ide yang sama dengan mereka dalam hal pembangunan. Namun, pada awal 1990-an, Soeharto menghancurkan aliansi ini. Moerdani disingkirkan dan digantikan oleh pejabat yang kurang asertif dan tidak banyak memiliki pendapat-pendapat yang kuat tentang masalah-masalah non-militer. Pada saat yang sama, presiden semakin sering mendengarkan gagasan-gagasan ekonomi nasionalis dan proteksionis Ginandjar Kartasasmita, kini kepala Bappenas, dan Menteri Riset dan Teknologi B. J. Habibie, yang mengepalai industri pesawat terbang dan industri-industri lain yang strategis milik negara. Ginandjar dan Habibie sekarang ini tampak sangat kuat dan mungkin tetap berpengaruh selama beberapa tahun ke depan, selama Soeharto masih berkuasa.

Hubungan Internasional

Posisi internasional Indonesia mengalami pukulan di tiga wilayah pada 1996. Pertama, baik Amerika Serikat dan Jepang mem­persoalkan Indonesia di WTO dalam hal mobil nasional tersebut. Kedua negara tersebut telah menunggu beberapa bulan sebelum mempersoalkan Indonesia di WTO, dan tindakan ter­sebut diharapkan tidak memengaruhi hubungan mereka de­ngan Indonesia. Meskipun demikian, reputasi pemerintahan Soeharto dalam hal komitmen yang kuat terhadap perdagangan bebas rusak. Apa yang lebih penting, paling tidak dalam kait­annya dengan pandangan tentang Indonesia yang dimiliki orang Amerika, adalah “Indo-gate”: skandal uang ratusan ribu dollar yang bermasalah, jika bukan ilegal, untuk membantu kampanye presiden Clinton oleh individu-individu yang memiliki hu­bungan dengan perusahaan-perusahaan Lippo Group yang berbasis di Indonesia. John Huang, mantan pejabat Lippo, dianggap terlibat dalam pengumpulan dana ilegal bagi Komite Nasional Demokratik pada saat bekerja di Departemen Perdagangan AS. Bos Lippo, Mochtar Riady, dituduh secara kotor berusaha untuk memengaruhi kebijakan pemerintah AS terhadap Cina, Vietnam, dan Indonesia. Persoalan ini mendapat lebih banyak publikasi di media AS ketimbang di Indonesia, di mana hubungan dekat antara para pengusaha dan pejabat pemerintah adalah sesuatu yang jamak, dan di mana Riady hanya merupakan salah satu dari banyak pengusaha Cina-Indonesia yang berhasil dan memiliki koneksi yang kuat.

Terakhir, Komite Hadiah Nobel mengejutkan dunia dengan menganugerahkan Hadiah Perdamaiannya kepada Uskup Katolik Timor Timur, Carlos Filipe Ximenes Belo, dan pejuang kebebasan Timor Timur yang diasingkan, Jose Ramos Horta. Para pejabat pemerintah Indonesia terkejut dan marah, ter­utama pada pilihan atas Horta, yang mereka cap sebagai seorang opor­tunis dan petualang politik. Belo, yang dielu-elukan di Timor Timur, diperlakukan secara lebih hormat baik oleh pemerintah maupun oleh media, yang umumnya bersikap bingung dan gamang terhadap hadiah tersebut. Y. B. Mangunwijaya, yang dikenal sebagai Romo Mangun, adalah seorang aktivis sosial terkemuka Indonesia dan sekaligus pendeta Katolik. Seperti Presiden Soeharto, dia juga seorang nasionalis Indonesia yang kuat dan mantan pejuang kemerdekaan anti-Belanda. Namun reaksinya terhadap hadiah Komite Nobel tersebut sangat berbeda dari sang presiden dan sebagian besar orang Indonesia yang berbicara di depan publik. “Semua ini merupakan hasil akhir dari sebuah strategi tragis yang dijalankan selama 21 tahun,” tulis Romo Mangun. “Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa ‘kemerdekaan adalah hak semua bangsa’... Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar. Ia juga harus memiliki jiwa yang besar.” viii

Februari 1997

i. Tabel hasil-hasil kelima pemilu Orde Baru tersebut bisa dilihat dalam R. William Liddle, "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation," Journal of Asian Studies, 55:3 (Agustus 1996), hlm. 626.

ii. Ia diberi surat keterangan bebas dari segala penyakit. Lihat Gatra 2:36 (20 Juli 1996), hlm. 21-28.

iii. Ringkasan yang akurat tentang peristiwa 27 Juli diberikan oleh Sidney Jones, "Human Rights in Indonesia," kesaksian di depan Senate Foreign Relations Committee, Subcommittee on East Asia and Pacific Affairs, September 18, 1996.

iv. Jumlah orang yang hilang kemudian berkurang menjadi 30, setelah adanya tekanan dari Sekretariat Negara. Gatra 2: 48 (12 Oktober 1996), hlm. 38.

v. Forum Keadilan 5:9 (12 Agustus 1996), hlm. 12-20, untuk mobilisasi para buruh yang di­la­kukan PRD; Forum Keadilan 5:19 (30 Desember 1996), untuk pengadilan tersebut.

vi. Rizal Mallarangeng, "Teori dan Kerusuhan di Dua Kota," Gatra 3:8 (11 Januari 1997), hlm. 29.

vii. Semua angka berasal dari Kompas, 30 Desember 1996, hlm. 17.

      viii.Y. B. Mangunwijaya, “Relung-Relung Renurig Oslo”, tidak diterbitkan, 15 Januari

     1997 (tersedia di Internet di: apakabar.clark.net).

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.