Jalan Skotlandia Buat Aceh

MASALAH ACEH makin rumit. Kalau memang benar para pelaku rangkaian pengeboman di Jakarta belakangan ini terkait, langsung atau tidak, dengan gerakan separatisme di Tanah Rencong, maka kompleksitas masalah yang ada sekarang sudah berkembang dua atau tiga tingkat lebih tinggi.

Singkatnya, masalah Aceh akan berkembang sebagaimana yang sudah terjadi dalam hubungan antara Inggris dan Irlandia Utara, lengkap dengan rangkaian teror dan pengeboman yang terjadi terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masalah di Irlandia Utara ini sudah berumur hampir seabad, tapi sampai sekarang darah masih saja tumpah, sementara peluang perdamaian masih simpang-siur.

Sangatlah tragis kalau sejarah Aceh akan mengarah ke jalan buntu seperti itu, karena yang paling merugi justru rakyat Aceh sendiri.

Buat saya, cara terbaik bagi Aceh untuk menghindari kebuntuan sejarah demikian adalah dengan membanting setir dan memilih “Jalan Skotlandia”.

Orang Skot, seperti juga orang Irlandia dan orang Aceh, adalah pemuja independensi dan sangat bangga akan keagungan subkultur mereka. Orang Skot dan orang Irish punya sejarah panjang menentang hegemoni Inggris, negeri tetangga mereka yang lebih besar dan lebih kuat. Keduanya merasa tertindas, dan karena itu mereka membenci segala sesuatu yang berbau Inggris. Mereka ingin “merdeka”, dan dari satu generasi ke generasi lainnya mereka melawan dengan pedang. Film Braveheart, yang dibintangi Mel Gibson dan Sophie Marceau, dengan sangat bagus menggambarkan heroisme, sekaligus tragedi, orang Skot pada akhir abad ke-13 dalam melakukan perlawanan.

Walaupun memiliki tradisi perlawanan yang sama, pada awal abad ke-18 Skotlandia dan Irlandia kemudian memilih jalan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Orang Skot mengubah metode perjuangan, dan secara sadar memilih jalan unifikasi.­ Mereka­ memutuskan­ tradisi­ dan­ melupakan­ mimpi­ untuk membentuk negara sendiri. Mereka justru ingin memakai Inggris, yang waktu itu sedang berkembang pesat, untuk mencapai tujuan-tujuan besar “non-politis”, seperti pengembangan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Energi mereka yang besar mereka alihkan, dari energi perlawanan menjadi energi pembangunan.

Hasilnya? Ekonomi Skotlandia maju pesat. Dunia industri mereka meroket. James Watt, penemu mesin uap itu, adalah salah satu “produk” yang gemilang dari strategi perjuangan baru ini. Dalam soal kebudayaan dan keilmuan, hasilnya lebih dahsyat lagi.

Di bidang ilmu alam, lahir Lord Kelvin, salah satu motor ilmu­ fisika­ pasca­Newton.­ Dalam­ ilmu­ ekonomi,­ muncul­ Adam­ Smith, yang kerap dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi modern.­ Dalam­ filsafat­ dan­ pemikiran­ kebudayaan,­ lahir­ David­ Hume dan Adam Ferguson. Secara bersama-sama mereka membuat Mazhab Skotlandia, yang dikenal luas sebagai salah satu penyumbang terpenting dalam dunia pemikiran modern yang dampaknya masih terus terasa hingga kini di semua belahan dunia.

Pada akhir abad ke-18, universitas-universitas terkemuka di Edinburgh dan Glasgow, dua kota terbesar Skotlandia, menjadi perguruan-perguruan terbaik di Eropa. Dan pada zaman itu, banyak anak kaum aristokrat Inggris yang dikirim ke Skotlandia untuk mendapatkan pendidikan terbaik—sebuah bukti bahwa bangsa Skot sudah berhasil menaklukkan penakluk mereka, on their own terms.

Berbeda dengan orang Skot, orang Irlandia tetap setia pada tradisi dan cita-cita yang mereka warisi turun-temurun. Mereka tetap berjuang dan melawan. Hasilnya? Sebagian orang Irish di Selatan memang sudah berhasil membuat negara mereka sendiri yang terlepas dari kekuasaan Inggris. Tapi sebagian lagi, di Utara, masih terus berjuang dan menumpahkan darah hingga hari ini. Dan di Selatan ataupun di Utara, tidak pernah lahir seorang James Watt, atau Adam Smith, atau David Hume.

Orang Skot berhak untuk bertepuk dada sambil berkata, “Kami bangsa besar. Sebab, kami sudah menyumbang banyak bagi berkembangnya peradaban dunia.” Apa yang bisa dikatakan oleh orang Irish? Mungkin: “Kami bangsa tangguh. Sebab, kami telah menumpahkan banyak darah dan mempersembahkan anak-anak kami untuk menolak hegemoni Inggris.”

Saya kira kita tahu kebanggaan mana yang lebih bermakna. Kembali ke soal Aceh. Kalau suku bangsa yang terkenal keras dan tangguh di ujung barat Nusantara ini salah memilih jalan, yaitu Jalan Irlandia, bisa dibayangkan bahwa 50 tahun dari sekarang pun situasi yang ada di sana belum akan banyak berubah. Mudah-mudahan saya keliru, tapi dalam hal ini sejarah sudah cukup memberi pelajaran.

Karena itu, lebih baik Aceh banting setir. Lupakan soal pembentukan negara. Persetankan mimpi-mimpi Sultan Iskandar Muda untuk mempersatukan Sumatra. Lupakan semua itu. Dan mulai sekarang, Aceh, dengan 70 persen uang gas dan minyak yang bisa mereka miliki sendiri, bisa membangun rakyatnya dalam dunia ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Siapa tahu akan lahir James Watt dan Adam Smith dari Serambi Mekah.

8 Oktober 2000

Kolom, TEMPO, 8 Oktober 2000

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles