Jendela Kesempatan Ketiga di Aceh

Dalam sebuah perjalanan ke Banda Aceh baru-baru ini, saya diingatkan tentang betapa rapuhnya keadaan politik di sana, sekitar dua setengah tahun setelah penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. Dan saya diingatkan pula bahwa para politikus lokal dan nasional sudah gagal dua kali untuk menciptakan sebuah Aceh yang modern, setia kepada sejarah dan identitas khasnya, serta terintegrasi penuh dalam kenegara-bangsaan Indonesia.

Kegagalan pertama terjadi pada 1953. Buat para pemimpin politik lokal dan nasional, sebuah jendela kesempatan telah dibuka lebar dengan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Di Aceh, para pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di bawah Daud Beureueh langsung berpihak kepada Republik dan menyumbang banyak kepada negara baru. Masyarakat Aceh berbangga hati, mulai merasa memiliki saham dalam sebuah usaha besar dan gemilang. Namun PUSA dikecewakan, setidaknya dalam versi mereka, ketika Presiden Soekarno mengingkari janjinya menetapkan status Aceh sebagai provinsi sendiri dan meleburkannya dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemberontakan Darul Islam menutup jendela ini.

Jendela kedua dibuka setelah Daud Beureueh turun dari gunung dan menyerahkan pasukannya kepada pemerintah pusat pada 1958. Ali Hasjmy kemudian dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi gubernur pertama Daerah Istimewa Aceh. Hasjmy adalah tokoh intelektual muda Aceh serta pengagum pergerakan nasional dan kepemimpinan Soekarno. Dari awal masa jabatannya, ia maklum bahwa label ”istimewa” tidak mengandung banyak makna. Ia bercerita ketika saya menjadi tetangganya di Banda Aceh pada akhir 1980-an. Namun dia terobsesi dengan satu visi: mendirikan dua universitas, umum dan agama, di satu kampus terpadu. Visi ini terwujud di Darussalam, Banda Aceh, tatkala Universitas Syiah Kuala dan Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri) Ar-Raniry mulai dibangun secara bersamaan pada akhir 1950-an.

Madjid Ibrahim juga memainkan peran penting dalam pembangunan Aceh modern pada kurun waktu itu. Sebagai seorang ekonom profesional, Madjid menciptakan ide Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk mengimbangi kekuasaan berlebihan yang konon dimiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Setelah berhasil di Aceh, ide Bappeda diambil alih oleh pemerintah Soeharto. Sayangnya, dalam penerapannya di provinsi lain, unsur kemandiriannya cenderung melemah. Madjid juga membimbing atau mengilhami banyak tokoh muda seperti Ibrahim Hasan, yang kelak menjadi Gubernur DI Aceh, dan Dayan Dawood, Rektor Universitas Syiah Kuala dan calon gubernur ketika ditembak mati pada 2001.

Jendela kesempatan kedua mulai tertutup pada 1977, ketika GAM menyerang kompleks Mobil Oil di Lhok Seumawe, dan ditutup rapat pada 1990, ketika pemerintah pusat menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer. Dilihat melalui kaca mata pasca-reformasi, pemberontakan Darul Islam serta GAM harus dianggap (setidaknya sebagian) sebagai reaksi terhadap dua hal: ingkar janji pemerintah Soekarno dan Soeharto serta kecenderungan keduanya untuk memutuskan segala hal dari pusat.

Apa yang bisa kita harapkan dari jendela kesempatan ketiga, yang dibuka ketika nota kesepahaman ditandatangani? Dari satu segi, orang Aceh dan orang Indonesia lain boleh membanggakan beberapa pencapaian, terutama pemilihan gubernur langsung yang diadakan tahun lalu. Sesuatu yang mustahil telah terwujud: Aceh tetap merupakan provinsi dalam negara kesatuan Indonesia sekaligus dipimpin oleh seorang gubernur GAM.

Dari segi lain, tantangannya juga masih banyak. Jasa-jasa Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk memulihkan ekonomi Aceh pasca-tsunami akan berakhir tahun depan, dengan dampak yang pasti besar. Pemilihan anggota DPRD akan diadakan tahun depan pula dengan sebuah unsur baru yang bisa mengundang konflik. Partai-partai lokal, yang baru diciptakan tahun ini, akan ikut bersaing dengan partai nasional untuk merebut kursi legislatif.

Pembunuhan sadis di Takengon, yang melibatkan unsur GAM dan bekas milisi anti-GAM, mempertajam kesimpulan banyak pengamat bahwa luka-luka lama masih gampang tergores. Berbagai kebijakan Badan Reintegrasi Aceh, yang seharusnya membantu korban perang, terkatung-katung. Lebih parah lagi bagi jangka panjang, pemerintah pusat dan Provinsi Aceh masih sama-sama meragukan dan mencurigai niat baik masing-masing.

Akhirulkata, yang paling memprihatinkan adalah implikasi perspektif jendela kesempatan tadi. Sejak 1945, para politikus lokal dan nasional diberi tiga kesempatan untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka secara damai. Dua kali jendela itu tertutup cepat, dengan konsekuensi yang mengerikan. Mudah-mudahan sejarah tidak akan terulang

R. William Liddle
Profesor ilmu politik Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

sumber: http://www.tempointeraktif.com

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.