Kembali ke Etika Publik

Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay

Ulil Abshar-Abdalla Saat ini, kita di Indonesia, tampaknya, memerlukan kembali apa yang dalam sosiologi agama disebut civil religion, atau katakan ”etika publik”. Ini bukan agama dalam pengertian agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, Baha’i, Konghucu, dan lainnya. Civil religion bermakna norma atau etika umum yang berlaku bagi semua masyarakat, fondasi moral, dan etis untuk seluruh rakyat Indonesia.

Mengapa kita perlu etika publik? Secara ”sosiologis”, yang berlaku tidak saja dalam konteks masyarakat Indonesia, tetapi bersifat umum.

Ini bermula dari kisah munculnya masyarakat modern. Agar berjalan tertib, masyarakat butuh norma dan etika. Tak ada masyarakat yang berdiri tegak tanpa norma atau etika. Dalam masyarakat tradisional pramodern, norma itu biasanya berbentuk adat, tradisi, atau custom. Sumbernya bermacam-macam: bisa adat kebiasaan, dongeng, fabel, atau wahyu.

Kini, masyarakat semacam itu mulai pudar, terutama di berbagai kawasan yang mengalami fenomena pengotaan (urbanisasi). Meski di sana adat dan tradisi masih berperan penting, pelan-pelan ”daya cengkeram”-nya mengendur. Sementara itu, kebutuhan masyarakat akan norma tak berubah. Ketika corak masyarakat tradisional mulai pudar, peran tradisi dan adat sebagai ”norma sosial” digantikan hukum. Karena itu, dalam masyarakat modern, negara selalu dipahami sebagai ”negara hukum” (recht staat).

Hukum dan tradisi

Perbedaan antara hukum dan tradisi amat jelas, hukum bersifat positif dan formal, sementara tradisi dan adat bersifat ”kultural-konsensual” dan substansial. Positif, karena hukum harus ditetapkan (enacted) melalui lembaga resmi (parlemen, misalnya). Sementara itu, ”hukum tradisi” (jika boleh memakai istilah itu) tidak mengalami enactment. Dia disepakati (konsensus budaya/kultural-konsensual) oleh masyarakat. Kesepakatan adalah kunci utama dalam hukum tradisi, sementara enactment adalah dasar hukum modern.

Hukum juga bersifat ”formal”. Artinya, ia tertulis dan mengikat semua individu yang menjadi subyek atau sasaran hukum, tak peduli ia sudah membaca, mempelajari, dan mengetahuinya atau tidak. Semua orang yang telah memenuhi syarat seperti ditentukan oleh hukum diandaikan sebagai ”subyek” yang terikat hukum itu. Sementara itu, hukum tradisi bersifat substansial karena jarang tertulis, dan semua orang tak dianggap sebagai ”subyek tradisi” jika belum menjalani proses ”inisiasi” dan sosialisasi dalam sebuah adat.

Kelemahan hukum modern adalah ia tidak ”menghunjam” ke dalam kesadaran budaya masyarakat. Ia hanya aturan formal yang tak terkait keinsafan batin individu dalam sebuah negara. Ini berbeda dengan hukum adat yang umumnya dilandasi keinsafan.

Saya tak menolak pentingnya hukum modern. Hukum dalam tiap masyarakat modern adalah conditio sine qua non. Hanya saja, belum cukup, masih diperlukan norma dan etika publik yang menghunjam ”keinsafan batin” masyarakat. Itulah yang dimaksud agama publik.

Apakah saya menganjurkan kembali ke Pendidikan Moral Pancasila (PMP) seperti dikenalkan Orde Baru? Ya dan tidak. Ya, dalam arti, dulu PMP berambisi membangun moral publik semacam itu. Tidak, karena prosesnya, menurut saya, kurang tepat: dipaksakan dari atas. Agama publik tak bisa disulap dengan cara seperti itu. Ia harus muncul dari bawah.

Namun, kalimat ”harus muncul dari bawah” juga tidak bisa diterima begitu saja at face value. Jika dikatakan ”harus muncul dari bawah”, bukan berarti menafikan pentingnya ”rekayasa” dalam tingkat tertentu. Sebagaimana agama publik tidak bisa dipaksakan dari atas, dia juga tidak bisa muncul alamiah dan spontan dari bawah. Harus ada usaha simultan: dari ”bawah” dan kemauan politik dari ”atas” untuk mendorong proses dari bawah itu.

Isi ”agama” publik Apa isi ”agama” publik itu? ”Agama” publik bukan agama seperti yang lazim kita kenal, juga tak akan menggantikannya. Bahkan, ”agama” publik atau etika publik harus mendasarkan pada etika yang sudah bersemai dalam agama-agama yang ada. Etika publik hanya bersifat artifisial jika tak berangkat dari tradisi moral yang ada di masyarakat. Namun, etika publik sekaligus ”melampaui” agama-agama itu.

Elemen paling pokok dalam agama publik adalah cinta tanah air atau patriotisme, dalam bentuk yang sehat, bukan patriotisme-jingoistik-chauvinistik. Semangat semacam itu kini amat diperlukan di tengah maraknya politik identitas di mana-mana. Etos paling penting di sini adalah: saya orang Indonesia sebelum yang lain. Bagian dari etos ini adalah mencintai bahasa Indonesia, dengan memakai bahasa nasional secara baik dan indah. Saya sebel melihat pidato elite politik, ormas, dan birokrat kita yang ”tumpul”, dengan bahasa rombeng, dan miskin citraan yang hidup. Kebiasaan ini menular ke mana-mana, termasuk di kalangan intelektual. Ini tentu membunuh kecintaan anak-anak kita pada bahasa Indonesia.

Elemen kedua terkait etos-etos yang dibutuhkan untuk tegaknya kultur demokrasi, seperti kesadaran tentang hak asasi manusia, kebebasan sipil, keadilan jender, menghormati keragaman budaya, transparansi, dan taat hukum. Etos amat penting lainnya adalah antikorupsi. Kesadaran tentang bahaya korupsi harus menjadi bagian sosialisasi dan proses pendewasaan anak-anak Indonesia.

Elemen ketiga banyak terkait etika sosial. Meski ini tampak ”truisme”, marilah kita sungguh-sungguh memikirkan kembali. Kita butuh etos-etos berikut ini: kecintaan pada ilmu, membaca, rajin kerja, jujur, hormat kepada orang lain, mengapresiasi orang cacat, membiasakan diri untuk mengucapkan ”terima kasih” pada orang lain (termasuk kepada sopir metro mini, misalnya), kebiasaan antre, membuang sampah di tempatnya, tak kencing di sembarang tempat, hemat listrik, hidup bersih, sehat, dan olahraga.

Ini semua adalah masalah yang tampaknya sepele, tetapi, believe me or not, menanamkan etos-etos itu tak sesederhana yang kita kira selama ini.

Problem kronis di kota-kota besar kita adalah sampah. Sudah saatnya kesadaran ekologis ditanamkan secara sistematis kepada anak-anak kita dengan cara menyadari pentingnya pengelolaan sampah yang baik.

Inilah ”agama” publik yang saya bayangkan. Kata kuncinya: etika publik tak akan muncul secara alamiah dan gratis; ia harus diajarkan kepada anak-anak secara sadar. Kita butuh ”jihad” untuk menanamkan etos-etos ini. Sebagai etika, ia bukan hukum formal yang diawasi polisi, melainkan nilai yang menghunjam ke dalam keinsafan batin anak-anak. Ia juga bukan tradisi karena tidak berlaku secara khusus pada masyarakat tertentu, tetapi lintas kelompok dan golongan.

Apakah usulan ini masuk akal?

Ulil Abshar-Abdalla
Mahasiswa PhD Universitas Harvard, Massachusetts, AS, dan Peneliti Freedom Institute, Jakarta

sumber: Artikel dimuat Jumat 29 Feb 2008 (OPION)

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.