Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis? (“Rejoinder” untuk Eep Saifulloh Fatah)

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

SKEPTISISME TERHADAP KONVENSI PARTAI GOLKAR sah-sah saja, bahkan baik dan perlu. Namun, sikap ini harus dilandasi pemahaman akurat atas fakta-fakta. Jika tidak, ia akan mudah terjerumus dalam sinisme berlebihan.

Tanggapan Eep (“Konvensi Partai Golkar Tidak Demokratis”, Kompas, 13/8/2003) patut disambut baik. Namun, beberapa kekeliruan dalam tanggapannya tentang hal-hal yang sederhana mengharuskan saya menjelaskan lagi mekanisme konvensi, berikut hal-hal yang belum sempat saya singgung.

Kejutan

Penjelasan Eep tentang voting block sebenarnya persis dengan yang telah saya katakan. Bedanya, Eep menganggap metode ini menyeragamkan aspirasi” pengurus partai, karena itu tidak demokratis.

Bagi saya, pada dirinya metode ini masih bersifat “netral”. Ia lazim digunakan dalam sistem pengumpulan suara pemilu di berbagai negara, disebut mekanisme frst-past-the-post. Hanya satu kandidat (atau lima kandidat, jika tahapnya masih prakonvensi) yang langsung mendapat skor tertentu yang telah ditetapkan, dan kandidat lain harus gigit jari.

Metode ini harus dilihat dalam konteks, yaitu hubungan skor yang ditetapkan dengan sumber-sumber suara lainnya dalam konvensi yang sama. Inilah yang dilewatkan Eep.

Dalam dua tahap konvensi tingkat nasional, misalnya, skor 18 yang dimiliki DPP kelihatan besar. Namun, skor yang dimiliki himpunan pengurus di provinsi adalah 90 karena masing-masing mendapat blok suara dengan skor 3, sementara skor suara bagi kabupaten dan kota adalah 416 (tanpa voting block).

Tanpa bantuan kalkulator pun kita mudah memahami, dalam konvensi tingkat nasional, hak suara terbanyak (mendekati 80 persen) dimiliki pengurus partai tingkat kabupaten dan kota. Karena itu, berbeda dari Eep, saya tetap berpendapat pusat gravitasi konvensi ada pada pengurus-pengurus di daerah, bukan di pusat.

Jika kita berbicara pada tingkat konvensi yang lebih rendah lagi, yaitu pada proses penentuan lima kandidat di daerah tingkat (dati) II yang akan berlangsung pada 1 September hingga 8 Oktober, cakupan konvensi ini akan jauh melebar, sebab ia langsung melibatkan kader Partai Golkar di tingkat kecamatan.

Di Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, ada 15 kecamatan. Pengurus DPD II mendapat voting block dengan skor 3, sementara tiap kecamatan mendapat suara 1, sama dengan jatah sayap-sayap partai yang ada di daerah ini. Jadi, total suara bagi pengurus kecamatan adalah 15, atau lima kali lebih besar ketimbang skor suara yang dimiliki oleh sekitar 50 orang pengurus di tingkat kabupaten.

Karena itu, buat saya, metode voting block justru mengecilkan peran struktur partai di tingkat atas. Ia membuka lebih banyak peluang bagi unsur-unsur ketakpastian dan kejutan dalam proses penentuan kandidat calon presiden di Partai Golkar.

Boneka?

Apabila dijumlah secara keseluruhan, akan ada setidaknya 20.000 kader partai di tingkat kabupaten, kota, serta kecamatan yang berpartisipasi dalam tahap awal seleksi lima nama kandidat. Siapa yang bisa menebak dan mengatur isi kepala kader dan pengurus yang demikian banyak dan tersebar dari Sabang hingga Merauke?

Bagi Eep, mungkin hal itu dapat dilakukan dengan mudah oleh “para pengemudi” di belakang layar. Betulkah itu?

Atau, jika kita persempit arena konvensi ini hanya pada tahap puncak enam bulan mendatang, betulkah 416 pengurus partai di dati II akan mudah diatur pengurus DPP? Seorang ventriloquist bergoyang kaki di Slipi, Kantor Pusat Partai Golkar, dan mengatur tokoh-tokoh daerah sebanyak itu bagaikan boneka-boneka manis?

Di situlah letak perbedaan mendasar antara saya dan Eep. Bagi saya, tak gampang mengatur kader dan aktivis partai di daerah. Jangankan seorang Akbar Tandjung, Megawati sekalipun, dengan posisinya sebagai ketua umum, presiden, dan putri Bung Karno, cukup kerepotan memaksakan keseragaman suara tokoh partainya di beberapa provinsi dan kabupaten.

Angin politik sekarang sedang bertiup ke daerah. Kandidat yang ingin menang harus membujuk, mendekati, dan melakukan dialog dengan tokoh dan aktivis partai di begitu banyak tempat yang berbeda. Tampaknya hal itu semakin disadari para kandidat yang bersaing dalam konvensi ini. Setiap minggu mereka kini rajin berkeliling ke seluruh penjuru angin, kadang dengan mengunjungi tiga provinsi dalam sehari.

Untuk apa mereka melakukan perjalanan yang melelahkan dan membutuhkan dana besar jika bukan untuk merebut dukungan dari daerah?

Yang harus kita dorong kini adalah agar proses yang baik seperti itu terus berlanjut, bukan sebaliknya. Kita berharap agar melaluinya akan lahir seorang calon pemimpin yang teruji dan sanggup berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang begitu beragam, di dalam dan di luar komunitas Partai Golkar.

Celah

Meski saya keberatan dengan cara pengungkapannya yang cenderung bersifat ad hominem, semangat yang terkandung di balik tanggapan Eep bisa saya pahami. Saya yakin dia dan kita semua merindukan dunia kepartaian yang lebih dinamis dan berakar.

Agar Konvensi Partai Golkar dapat semakin mendekati kaidah-kaidah yang demokratis, saya ingin menyinggung sebuah kelemahan yang belum disinggung Eep.

Dalam desain konvensi ini ada sebuah persoalan yang kelihatannya sederhana, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak segera diatasi. Pada buku panduan resmi yang dikeluarkan Panitia Konvensi Partai Golkar, halaman 23/f dan 26/c, tertera mekanisme pengambilan suara dilakukan “secara tertutup”.

Dengan cara ini, hanya Tuhan dan Mr X yang memasukkan daftar nama ke kotak suara yang mengerti apakah susunan nama yang ditulisnya sama dengan komposisi hasil konvensi di kabupaten atau provinsi yang diwakilinya.

Saya maklum, pencantuman aturan voting tertutup mungkin dilandasi niat baik, untuk mendorong agar anggota pengurus tidak takut pada atasannya guna melakukan pilihan berbeda. Akan tetapi, niat baik ini ternyata berakibat sebaliknya jika diaplikasikan dalam konteks konvensi secara keseluruhan, karena ia membuka celah bagi inkonsistensi suara dari unsur-unsur daerah ke pusat, melebarkan peluang bagi sikap saling curiga di antara sesama pengurus, serta dalam batas-batas tertentu memberi insentif bagi merebaknya politik uang. The road to hell is not always paved with bad intentions.

Sekarang belum terlambat untuk mengatasi kelemahan ini, dan sebenarnya ada beberapa cara sederhana untuk melakukannya. Pembagian formulir kertas suara dari pusat, turun ke daerah secara bertingkat, dan langsung diisi pada saat konvensi adalah salah satunya. Namun, masih ada beberapa cara lain yang bisa cukup efektif.

Di situlah tantangan bagi tokoh-tokoh Partai Golkar. Mereka sudah memulai langkah awal yang baik. Kini mereka harus meneruskan hingga ke konsekuensinya yang paling ujung. Di depan mereka terbentang sebuah peluang untuk membuktikan, partai mereka yang dulu terpuruk dan dikecam dari kiri dan kanan kini menjadi sebuah partai pelopor yang memberi contoh positif bagi partai-partai lain.

Apabila itu mereka lakukan, kaum yang kini skeptis, bahkan sinis sekalipun, mungkin akan berubah pikiran dan menjadi lebih fair serta realistis dalam melihat konvensi ini.

19 Agustus 2003

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.