Liberal Kiri, Sosialis Kanan

AKHIR-AKHIR INI terjadi semacam revitalisasi isu “kiri dan “kanan”. Dalam berbagai diskusi di forum publik dan media massa, polarisasi yang dibuat umumnya masih mengikuti pembagian klasik. Kaum sosialis dan ide-ide Marxis ditempatkan di kiri, sementara kaum liberal dan ide-ide liberalisme diletakkan di kanan.

Betulkah polarisasi seperti ini? Dalam beberapa hal, ya. Sebagaimana yang umum diketahui, dalam doktrin Marxisme asal-usul penindasan adalah pemilikan pribadi terhadap saranasarana produksi. Pemilikan inilah yang menjadi fondasi struktur masyarakat kapitalis. Agar masyarakat bisa lebih “baik”, struktur ini harus dibongkar, dihancurkan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah to start from the basic, yaitu menghilangkan hak milik pribadi. Karena itu, dalam Manifesto Marx (dan Engels) yang terkenal itu, pelenyapan pemilikan pribadi dianggap sebagai aksi sentral yang revolusioner.

Dalam perdebatan kaum kiri pada akhir abad ke-19 hingga beberapa saat sebelum runtuhnya Uni Soviet, pemihakan dan dukungan terhadap aksi seperti ini menjadi ukuran kekirian sebuah kelompok. Mereka yang ingin menghilangkan pemilikan pribadi secara total dan radikal biasanya disebut kaum komunis.

Mereka yang lebih moderat tetap ingin menghilangkan pemilikan pribadi, namun hanya terbatas pada sarana produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Metode perubahan kelompok kiri radikal adalah revolusi sosial, sedangkan metode kaum kiri moderat biasanya nasionalisasi. Kelompok moderat ini, jika mereka memperjuangkan nasionalisasi melalui parlemen, umumnya disebut sebagai kelompok sosdem (sosialis demokrat).

Jadi­polarisasi­di­atas­benar­sejauh­definisi­kiri­kita­kaitkan­ dengan isu pemilikan pribadi dan metode perubahan struktur masyarakat­ kapitalis.­ Tapi­ kita­ harus­ ingat,­ definisi­ semacam­ ini­ bukan­ satu­satunya­ definisi­ yang­ ada.­ Sejak­ di­ Parlemen­ Prancis abad ke-19, istilah kiri juga sering dikaitkan dengan pengertian “progresif’ dan “alternatif terhadap kekuatan dan struktur dominan”. Dalam pengertian seperti ini, polarisasi tadi bisa terbolak-balik: justru kaum sosialis dan ide-ide Marxis-lah yang menjadi kanan dan reaksioner.

Di negeri-negeri pasca-komunis pada dekade 1990 ini, misalnya, justru kaum sosialis dan komunis yang menganjurkan langkah-langkah “regresif”. Mereka menjadi pembela status quo dan pelindung dominasi kaum birokrat yang tersebar di berbagai industri milik negara. Kelompok ini, dengan kata lain, menjadi kaum reaksioner dalam arti kata sesungguhnya.

Sebaliknya, kaum liberal justru menjadi pendobrak struktur ekonomi “lama”. Mereka memperjuangkan terjadinya deregulasi dan privatisasi secara cepat dan serentak. Mereka berupaya menghilangkan basis kekuasaan kaum birokrat—kelompok yang oleh Milovan Djilas pada 1950-an disebut the new class itu—dan mendukung munculnya kekuatan pengusaha swasta yang mandiri­ dan­ efisien.­ Jadi,­ dalam­ konteks­ sistem­ pasca­­komunis,­ kaum liberal betul-betul menjadi kaum progresif dan oposisi alternatif. Liberalisme, dengan kata lain, menjadi kekuatan kiri radikal.

Di negeri lain, di Amerika misalnya, hal yang hampir sama terjadi walau dalam bentuk yang berbeda. Politikus paling radikal di Amerika saat ini adalah Newt Gingrich, juru bicara Kongres yang bekas profesor sejarah. Program ekonomi Gingrich ingin membalikkan arus besar “welfarisasi” yang menjadi arus dominan dalam kapitalisme Amerika sejak era Roosevelt pada 1930-an. Buat tokoh ini, problem Amerika hanya dapat diatasi jika mekanisme liberal, yaitu pasar bebas, berjalan seluasluasnya. Liberalisme, karena itu, ditempatkan sebagai kekuatan alternatif untuk mengubah sistem welfare state secara mendasar.

Bagaimana dengan kita? Apakah, misalnya, aktivis PRD yang kini banyak dibicarakan dan para teknokrat pro-pasar seperti Prof. Widjojo dapat diletakkan dalam polarisasi kiri-kanan seperti ini?

Dalam satu hal, jika kita menggunakan pembagian klasik, yaitu­definisi­kekirian­yang­dikaitkan­dengan­pemilikan­pribadi,­ dengan cukup jelas kita bisa berkata bahwa PRD kiri dan para teknokrat­ kanan.­ Tapi­ jika­ kita­ menggunakan­ definisi­ kiri­ yang­ berhubungan dengan progresivitas dan potensi sebagai alternatif terhadap tradisi dominan, maka soalnya agak lebih rumit.

Dalam hal ini kita harus ingat bahwa dalam tradisi pemikiran ekonomi-politik kita, ide-ide sosialis berakar sangat dalam. Umumnya tokoh utama pendiri bangsa kita berkiblat pada gagasan ekonomi sosialis, dengan berbagai variasinya. Hatta dan Sjahrir, misalnya, sangat dipengaruhi kaum sosdem di Eropa Barat (ide tentang koperasi bukanlah “milik” bangsa kita, melainkan digali dari tradisi sosialisme yang universal). Pengaruh pemikiran seperti ini dengan gampang terlihat jika kita membaca UUD 1945.

Karena dalamnya tradisi pemikiran sosialis, yang berkombinasi dengan semangat nasionalisme, tak heran jika dalam sejarah ekonomi kita justru negara dan birokrasilah yang berperan dominan. Mekanisme pasar dan peran swasta selalu bersifat pinggiran dan sangat dipandang secara negatif. Baru 10 tahun belakangan ini pendulum agak berbalik, dengan dilakukannya langkah-langkah deregulasi yang dimotori kaum teknokrat.

Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa justru Prof. Widjojo, dan bukan Budiman Sudjatmiko, yang sebenarnya sangat progresif dan kiri. Langkah-langkah yang telah dimotori Pak Widjojo, kalau dilaksanakan sungguh-sungguh, akan mengikis basis dominasi kaum birokrat dan merombak status quo kekuasaan ekonomi-politik.

Sebaliknya, ide-ide ekonomi yang tersirat di balik manifesto PRD, kalau dilaksanakan secara tuntas, akan mendesak meknisme pasar untuk makin berada di posisi pinggiran. Yang akan kita saksikan adalah revitalisasi birokrasi dalam kehidupan ekonomi kita. Artinya, dominasi kaum birokrat akan makin diperkukuh. Maka PRD, dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai kekuatan kanan yang “konservatif”.

 

28 September 1996

Kolom, GATRA, 28 September 1996

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles