Masalah Kerjasama

Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay

KITA SEKARANG ini memasuki sebuah era yang dicirikan oleh internasionalisasi perekonomian domestik. Hampir setiap hal penting dalam perekonomian kita sekarang ini pada dasarnya bersifat global. Dalam keadaan baru ini, karena alasan-alasan yang akan segera saya jelaskan, kerjasama ekonomi di antara negara-negara besar, sampai tingkat tertentu, dikehendaki. Kerjasama ini mungkin sangat sulit diwujudkan. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Kindleberger, “Seperti demokrasi, kejujuran, dan pernikahan yang stabil, [kerjasama dalam kepemimpinan ekonomi] merupakan suatu hal yang lebih baik ketimbang pilihan-pilihan yang ada.”

Sejak 1970-an, hegemoni perekonomian Amerika Serikat (AS) menurun. Eropa, Jepang, dan kini NICs, serta banyak perusahaan multinasional dan entitas subnasional, telah muncul ke panggung utama ekonomi dunia. AS sekarang ini merupakan pengutang terbesar di dunia. Pada 1950-an, andil US. atas produk dunia adalah 40%, pada akhir 1980-an turun menjadi hanya sekitar 22%. Setelah Perang Dunia II, AS memproduksi 30% barang manufaktur dunia; pada akhir 1980-an menurun menjadi hanya 13% (Gilpin, 1987: 344). Sebagaimana yang dijelaskan Nye (1990), meskipun tidak ada negara yang mampu menggantikan AS sebagai pemimpin ekonomi dan politik dunia, menjadi semakin jelas bahwa AS sekarang ini tidak memiliki kemampuan ekonomi maupun kehendak politik untuk memimpin dunia sendirian, sebagaimana yang dilakukannya selama masa pasca-Perang.

Dalam keadaan seperti ini, kepemimpinan ekonomi dunia hanya bisa diwujudkan dengan kerjasma di antara negaranegara besar, yakni Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan tentu saja, AS (G5). Tanpa kepemimpinan kooperatif mereka di wilayah tertentu, stabilitas tatanan ekonomi liberal dunia kita akan sangat sulit dijaga, apalagi diperluas. Salah satu kunci paling penting dari pertumbuhan ekonomi dunia yang begitu besar selama tahun-tahun pasca-Perang adalah kepemimpinan AS. Amerika memberikan stabilitas dan likuiditas yang sangat dibutuhkan bagi penyesuaian ekonomi negara-negara yang tercabik oleh perang agar bisa memasuki era baru. AS juga mengawasi terjaganya tatanan ekonomi liberal dunia dengan memperkuat, misalnya, GATT, IMF, dan IBRD. Kini, dengan merosotnya kekuasaan AS, tinggal G5 yang bisa memberikan kepemimpinan.

Beberapa contoh bisa menjelaskan mengapa kepemimpinan kooperatif tersebut diperlukan dalam perekonomian baru dan global ini. Dalam dua dekade terakhir, Jepang dan NICs muncul sebagai pesaing besar Eropa dan AS. Untuk membendung aliran masuk produk-produk manufaktur yang lebih murah dari NICs, Eropa menjalankan mekanisme-mekanisme merkantilis serta neo-merkantilis. Dari 1980- 1983, misalnya, total impor manufaktur EEC yang terkena restriksi meningkat dari 11% menjadi 13% (Gilpin, 1987: 207).

Di AS, argumen-argumen neo-merkantilis juga dijalankan oleh banyak pemimpin kongres—terlepas dari retorika mereka tentang keunggulan perdagangan bebas, mereka mendukung proteksionisme non-tarif untuk melindungi industri-industri domestik yang gagal (Ray, 1988). Total impor manufaktur AS yang mengalami proteksi meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1980 hingga 1983, yakni dari 6% menjadi 13% (Gilpin, 1987: 207).

Jika kecenderungan proteksionisme di kedua sisi Atlantik ini terus meningkat hingga tak terkendali, perdagangan liberal dunia kita akan terancam, dan perang perdagangan sekali lagi akan muncul di hadapan kita.

Contoh yang lain dapat ditemukan jika kita melihat apa yang sedang terjadi dalam hubungan fskal dan moneter di antara negara-negara besar. Jika administrasi AS memutuskan untuk merangsang output dengan perluasan fskal, akibatnya hanya akan meningkatkan defsit AS jika Jepang dan Jerman tidak memutuskan untuk memperluas instrumen-instrumen fskal mereka. Jika ketiga negara ini bersama­sama memutuskan untuk memperluasnya, ketiganya akan menjadi lebih baik.

Jika Bundesbank memutuskan menaikkan suku bunga (seperti yang dilakukannya beberapa bulan yang lalu) untuk mengen­dalikan infasi dan mengkompensasi biaya unifkasi yang sangat besar, likuiditas yang lebih besar tentu saja akan mengalir ke Jerman. Namun Italia, Spanyol, Prancis, dan UK akan berteriak (seperti yang mereka lakukan satu atau dua hari setelah keputusan Bundesbank tersebut): jika mereka juga menaikkan suku bunga, persoalan utama mereka (pengangguran) akan menjadi lebih akut, namun jika mereka tetap mempertahankan suku bunga rendah, para investor fnansial akan meninggalkan negara mereka dan terbang ke Berlin atau Hamburg.

Pendeknya, hubungan moneter dalam perekonomian baru kita sangat terkait satu sama lain sehingga banyak negara, tanpa melakukan suatu kesalahan, bisa mendapatkan masalah ekonomi yang besar hanya karena keputusan moneter sebuah bank sentral. Di sini kerjasama berarti bahwa masing-masing pemerintahan setuju untuk tidak membahayakan dan menghancurkan stabilitas ekonomi satu sama lain dengan mengambil langkah moneter yang “egoistik”.

Jadi, kepemimpinan yang kooperatif sangat diinginkan.

Masalahnya: apakah hal itu bisa dijalankan? Apakah mungkin negara-negara besar tersebut bersepakat menyangkut beberapa hal mendasar, dan bertindak sesuai dengan kesepakatan tersebut? Agar berjalan, kerjasama menuntut dikesampingkannya keuntungan ekonomi jangka-pendek, jika perlu. Jika Jerman, misalnya, ingin mengeruk apapun keuntungan ekonomi yang ada di depan matanya, kerjasama tidak akan mungkin. Memang, kita masih harus melihat bagaimana, dalam watak politik dunia yang anarkis ini, pemerintah-pemerintah bisa mengedepankan kepentingan semua.

Selain itu, politik nasional, seperti yang dijelaskan oleh Alan Greenspan, “mengharuskan kerangka waktu pemenuhan yang jauh lebih pendek ketimbang yang diperlukan untuk... kerjasama untuk menyerahkan keuntungan ke suatu negara...”. (1988: 61). Karena itu, dorongan bagi masing-masing pemerintahan untuk bertindak sendiri sangat besar. Inilah yang menjelaskan mengapa kerjasama sejauh ini berjalan dengan baik hanya pada masa krisis, ketika pemerintah bisa dengan jelas melihat bahwa dalam jangka pendek, jika mereka tidak bertindak bersama, mereka semua terancam bahaya.

Selain itu, agar berjalan, kerjasama menuntut masing-masing pemerintahan bersepakat menyangkut sebuah model ekonomi dan juga menyangkut pemecahan persoalan bersama mereka. Jika Jepang dan AS melihat per­soalan defsit AS dengan cara yang berbeda, kerjasama tidak akan mungkin. Sayangnya, sejauh ini, hal inilah yang terjadi: Jepang beranggapan bahwa para konsumen AS tidak cukup menabung, sementara AS beranggapan bahwa Jepang terlalu banyak membeli produknya sendiri dan pada saat yang sama terlalu melindungi pasar domestiknya dari ekspor AS. Di sini kerjasama yang dijalankan oleh AS dan Jepang, jika jenis ketidaksepakatan tersebut terjadi, hanya akan menjadi selubung internasional.

Dengan demikian, kerjasama tidak mudah. Terlalu banyak rintangan bagi sebuah kerjasama yang efektif. Cooper dengan jelas menangkap poin ini ketika ia berkata bahwa “dunia menghabiskan 50 tahun untuk mencapai kerjasama internasional dalam sebuah wilayah yang sudah sangat jelas seperti kesehatan publik” (1988: 101). Berapa tahun yang kita perlukan untuk mewujudkan kerjasama dalam, misalnya, hubungan moneter, yang di mata sebagian besar orang jauh lebih tidak jelas dibanding kesehatan publik?

Daftar Rujukan

  1.  Cooper, Richard N. 1988, “Cooperation: Is It Desirable? Is It Likely?”, The Washington Quarterly, Spring 1988.

  2.  Feldstein, Martin ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.

  3.  Fischer, Stanley, 1988, “International Macroeconomic Policy Coordination”, dalam Feldstein, Martin, ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.

  4. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton Univ. Press.

  5. Greenspan, Alan, 1988, “Prospects for International Economic Cooperation”, dalam Feldstein, Martin, ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.

  6. Kindleberger, Charles P., 1981, “Dominance and Leadership in the International Economy”, International Studies Quarterly, Vol. 25, Juni.

  7. Nye, Joseph S., Jr., 1990, Bound to Lead, Basic Books.







Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.