Megawati ke Amerika

Gambar oleh Tania Dimas dari Pixabay

AKHIRNYA, PRESIDEN RI berangkat ke Amerika Serikat (AS) pada Senin, 17 September. Perjalanan ini semula tidak mengundang kontroversi. Namun, dengan terjadinya teror besar di New York dan Washington, DC, pekan lalu, muncul berbagai seruan agar Megawati menunda keberangkatannya ke negeri yang sedang terlanda bencana itu.

Tidak kurang dari Amien Rais, Ketua MPR, yang ikut mendukung seruan itu. Amerika sedang berduka dan berada dalam proses kepedihan yang dalam. Karena itu, menurut Amien, alangkah baiknya jika Megawati menghormati hal itu dan menunggu saat yang lebih baik untuk ke Gedung Putih.

Alasan demikian bisa dipahami. Tapi, buat saya, argumen bagi keberangkatan Megawati sebenarnya lebih kuat. Justru dengan kunjungan ini, Megawati dapat mewakili Indonesia untuk menyampaikan simpati secara langsung dan, lewat CNN, ABC, CBS, dan media semacamnya, dapat “bertamu” ke ruang-ruang keluarga di seantero penjuru Amerika untuk menyatakan betapa kita semua memahami kepedihan mereka.

Hal sederhana semacam itu, dalam konteks yang ada sekarang, pasti memiliki dampak strategis yang cukup penting, baik bagi kita maupun bagi Amerika sendiri. Suka atau tidak, di mata publik AS, peristiwa teror yang meminta korban ribuan jiwa dan meruntuhkan gedung kembar World Trade Center dan membakar sebagian sisi Pentagon itu dianggap berkaitan erat dengan kaum Islam fundamentalis. Anggapan ini bisa keliru, bisa benar. Namun, itulah kenyataan yang ada sekarang.

Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap terorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.

George W. Bush dapat menggunakan pertemuannya dengan Megawati untuk berseru bahwa masyarakat Islam, baik yang berada di Timur Tengah, Asia, maupun di Amerika sendiri, tidak perlu khawatir dengan tekad negeri adidaya yang dipimpinnya untuk mengejar serta menghancurkan kaum teroris hingga ke pelosok dunia mana pun.

Bagi kita dan bagi Megawati sendiri, hal yang sama pun dapat dilakukan, untuk mencapai tujuan yang berbeda. Inilah saat yang terbaik untuk menunjukkan sikap bersahabat kita terhadap masyarakat AS. Fokus Megawati dalam pertemuan dengan George W. Bush di Gedung Putih harus ditempatkan dalam kerangka itu. Soal bantuan dana, penjadwalan utang, isu kerjasama militer, agenda IMF dan Bank Dunia bisa diurus pada tingkat menteri.

Jika peristiwa teror 11 September tidak terjadi, fokus kunjungan Megawati tentu harus berbeda, yaitu sesuai dengan rencana semula yang lebih berhubungan dengan hal-hal terakhir tadi. Namun, konteks yang ada sekarang secara radikal sudah berubah, dan untuk itu tujuan kunjungan di akhir musin panas ini pun harus menyesuaikan diri.

Di beberapa kota yang dikunjungi Megawati dalam beberapa hari ini, pers AS pasti akan berusaha mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Di sinilah Presiden RI atau Menlu yang mewakilinya dapat menitipkan pesan bahwa bersama rakyat Amerika, Indonesia juga akan turut memerangi akar-akar terorisme dalam segala bentuknya.

Lewat pers AS, kita bisa menjelaskan bahwa di berbagai belahan dunia, salah satu akar politik yang paling dalam dari terorisme di zaman modern bukan hanya bersumber pada isu-isu keagamaan, tapi juga pada isu dan persoalan separatisme. Inggris, Spanyol, dan banyak negeri lainnya sudah mengalami hal itu. Dan Indonesia, pada saat ini, mungkin telah memasuki tahap sejarah yang menyedihkan, ketika aspirasi nasionalisme lokal cenderung berubah menjadi gerakan bersenjata yang selalu meminta korban warga tak berdosa.

Singkatnya, lewat pers AS dan lewat pertemuannya dengan George W. Bush, Megawati dapat menggunakan kunjungannya untuk mencapai dua tujuan utama: memperkuat komitmen AS pada keutuhan teritorial Indonesia, serta pada saat yang sama meminta dukungan politik yang lebih eksplisit agar kita bisa menghadapi akar-akar terorisme di negeri kita secara lebih tegas, kalau perlu dengan penggunaan kekuatan bersenjata secara penuh, seperti yang ingin dilakukan oleh AS di saat-saat mendatang, menyusul malapetaka di New York dan Washington, DC.

Tentu, tujuan strategis demikian bisa tercapai, bisa pula tidak. Kalau tercapai, Megawati akan kembali ke Jakarta dengan political capital yang lebih besar untuk menyelesaikan beberapa persoalan domestik yang mendesak, seperti yang terjadi di Aceh.

Kalau tidak, setidaknya Megawati sudah “menyapa” rakyat AS dan menyampaikan uluran simpati pada saat yang paling tepat. Biasanya, kenangan semacam ini akan bertahan lama, suatu hal yang tentu akan meneguhkan sekali lagi persahabatan kita dengan negeri pelopor demokrasi modern itu.

17 September 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.